Opini Lainnya
Setelah 78 tahun merdeka, Indonesia masih bergelut dengan krisis hukum yang mendalam, di mana kualitas dan moralitas aparatur hukum belum menunjukkan perbaikan signifikan. Hukum yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru seringkali mencerminkan permusuhan dan dendam, bukan persaudaraan. Praktik pengadilan menjadi arena pembantaian nilai-nilai keadilan, lebih menguntungkan mereka yang kuat secara ekonomi dan sosial. Kolaborasi antara segelintir oknum aparat hukum dan kekuasaan memperparah situasi, meninggalkan rakyat kecil dalam ketidakpastian dan kezaliman. Dalam kondisi chaotisme hukum ini, kita kehilangan pedoman perilaku dan pemimpin teladan, menjerumuskan bangsa ke dalam jurang anomali hukum.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Dengan bertambahnya usia kemerdekaan Indonesia yang kini telah mencapai 78 tahun, berbagai peristiwa terkait pengaturan norma undang-undang dan penegakan hukum belum menunjukkan peningkatan yang signifikan baik dari segi kualitas maupun moralitas aparatur hukumnya. Masalah kualitas hukum (baca: Undang-undang), baik dari aspek substansi, struktur, dan kultur hukum, tidak mencerminkan kebaikan secara filosofis, etis, yuridis, maupun sosiologis.
Aspek substansi hukum masih belum mencerminkan pemikiran utuh mengenai rasa nasionalisme yang seharusnya mewarnai wajah hukum Indonesia. Yang tampak hanyalah tambal-sulam dari kompleksitas hukum Barat yang berpihak pada filosofi persaingan antara individu atau kelompok. Hal ini sering berujung pada munculnya perasaan dendam berkepanjangan antara sesama anak bangsa Indonesia.
Hukum yang diberi label Undang-Undang Republik Indonesia belum terbukti secara nyata mampu menghasilkan rasa aman, nyaman, dan damai bagi para pemakainya. Perilaku para pihak yang terlibat dalam proses hukum lebih menonjolkan permusuhan daripada persaudaraan, sehingga musyawarah dan mufakat tampak mustahil terjadi di antara mereka.
Situasi sosial dan hukum ini semakin diperburuk oleh tangan-tangan kekuasaan melalui oknum aparatur penegak hukum yang tidak amanah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya berdasarkan undang-undang. Mereka tampaknya berpikir bahwa hukum adalah mereka, dan merekalah yang menjadi hakim atas orang-orang yang berurusan dengan hukum. Dalam kondisi sosial dan hukum seperti ini, bagaimana jadinya fungsi dan peranan Lembaga Pengadilan?
Dalam praktiknya, Lembaga Pengadilan justru menjadi tempat pembantaian nilai-nilai kepastian dan keadilan, sehingga kemanfaatan tidak pernah dirasakan oleh pencari keadilan yang lemah secara sosial-ekonomi. Semakin banyak orang yang berteriak mencari kepastian dan keadilan, semakin deras arus kezaliman dalam berhukum, dan keadaan ini sangat dirasakan oleh kalangan kaum lemah secara sosial ekonomi (the powerless), namun tidak bagi kalangan kaum kuat (the powerful).
Dampak dari krisis hukum ini dalam praktik telah dicarikan solusi yang tampaknya win-win solution, tetapi justru menjerumuskan ke jurang kehinaan dan kemelaratan secara sosial ekonomi. Adanya perampasan hak dan kebebasan berpikir serta menyatakan pendapat secara kritis dan legal dan diputarbalikkan menjadi dasar untuk menjadikan seseorang sebagai calon tersangka, oleh dan dengan hukum.
Tangisan dan jeritan memilukan terhadap praktik hukum yang menyedihkan seakan tertutup oleh kemenangan pihak-pihak tertentu yang berkolaborasi dengan segelintir oknum aparatur hukum. Oknum-oknum ini menjadi hamba sahaya uang dan kedudukan, lupa akan sumpah jabatan yang telah diucapkan dan terhipnotis oleh gemerlapnya uang kertas rupiah dan dollar.
Situasi sosial dan hukum kini telah memasuki masa yang disebut chaotisme hukum, dengan kata lain, kita telah kehilangan pedoman perilaku dan pemimpin teladan dalam bidang hukum, yang memunculkan anomali hukum. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK