Opini Lainnya
Kasus suap di Mahkamah Agung yang melibatkan Hakim Agung dan pejabat struktural telah mencoreng kemuliaan lembaga tinggi negara ini. Praktik korupsi yang merajalela, mulai dari pertemuan gelap di lapangan golf hingga perdagangan perkara, telah menggantikan semboyan “In the name of God and Justice” menjadi “In the name of Good and Friendship.” Krisis etika dan moralitas ini menuntut reformasi mendalam dan penegakan sistem pengawasan yang ketat untuk memulihkan kepercayaan publik dan mengembalikan wibawa lembaga kehakiman.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Pembicaraan mengenai kasus di Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) seharusnya mencerminkan kemuliaan lembaga tinggi negara yang memegang kekuasaan kehakiman di Republik Indonesia. Sayangnya, yang sering muncul ke permukaan adalah hal-hal negatif, seperti kasus suap yang melibatkan Hakim Agung dan pejabat struktural MA terkait penanganan perkara, baik dalam tingkat Kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK).
Pengamatan penulis dalam praktik menunjukkan bahwa kalimat “In the name of God and Justice” telah bergeser menjadi “In the name of Good and Friendship,” yang sangat memalukan. Bahkan, fakta yang tidak terbantahkan adalah terjadinya “perdagangan perkara” antara oknum Penasihat Hukum (PH) dan oknum Hakim Agung (HA) melalui staf atau panitera perkara.
Diduga bahwa awal mula “perdagangan perkara” ini berawal dari kebiasaan bertemu muka di lapangan golf antara oknum PH dan oknum HA. Kebiasaan ini melanggar etika hakim dan PH, baik secara sengaja maupun tidak. Namun, tidak semua pertemuan tersebut masuk dalam wilayah pelanggaran etika dan norma yang berlaku.
Tampaknya, kebiasaan bertemu muka tersebut tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran etika profesi, dan tidak ada teguran dari organisasi PH maupun Pimpinan MA perihal pertemuan tersebut. Pertemuan itu seharusnya diletakkan pada prinsip kepantasan (billijkheid) perilaku.
Masalah utama penyebab keadaan ini terletak pada pengetahuan dan pengalaman, baik sebagai calon advokat maupun calon hakim, serta pengalaman praktik setelah menjadi advokat dan hakim. Dalam sistem manajemen yang buruk, seorang hakim yang baik pun akan tergerus menjadi hakim yang buruk, terutama tanpa adanya pengetatan sistem pengawasan dalam manajemen administrasi hukum. Hal ini merupakan faktor internal di dalam K dan L.
Sistem pengawasan yang bersifat sentral dan sangat strategis dalam proses pelaksanaan manajemen administrasi kepegawaian berbeda dengan profesi advokat yang aktivitasnya diatur dalam UU tersendiri, yaitu UU Advokat termasuk kode etiknya. Kemandirian advokat sering diterjemahkan sebagai kebebasan untuk berbuat sesuatu tanpa batas, meskipun tidak semua advokat bersikap demikian. Namun, sifat ini tidak mendapat perhatian serius dari pimpinan organisasi advokat.
Berbeda dengan sistem manajemen dalam organisasi advokat, di dalam struktur MA sebagai organisasi lembaga tinggi dan satu-satunya kekuasaan kehakiman tertinggi di negeri ini, telah dibentuk Inspektorat Pengawasan atau Badan Pengawasan MA setingkat pejabat tinggi eselon 1 dalam struktur birokrasi Aparatur Sipil Negara, yang telah diikat dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung.
Faktor lain yang memengaruhi keajegan manajemen administrasi peradilan termasuk administrasi manajemen perkara adalah keinginan para pencari keadilan (justiabelen) untuk selalu menang dalam perkara, kadang-kadang dengan cara yang tidak terpuji. Dalam konteks ini, kewajiban advokat adalah menasihati kliennya agar tidak “memaksa” PH menggunakan cara tidak terpuji seperti suap atau gratifikasi.
Namun, dalam praktik hukum, kejujuran sekalipun suatu keniscayaan dan terpuji, sering kali dianggap sebagai sikap bodoh dan diremehkan, terutama dalam kasus di mana klien hanya ingin memenangkan perkara dengan cara yang tidak terpuji melalui suap dan gratifikasi. Pilihan hidup atau mati dalam praktik hukum inilah yang menjadi momok menakutkan bagi advokat dalam menghadapi masa depan kehidupannya, sekaligus pemicu kuat untuk melanggar norma dan etika profesi.
Dalam keadaan seperti itu, benar apa yang dikatakan ahli hukum terkenal von Ihering pada akhir abad ke-19 bahwa hukum adalah seni (art) bagaimana memainkan frasa sehingga yang seharusnya menang dalam perkara menjadi kalah, atau sebaliknya. Dalam konteks Indonesia, almarhum Sahetapy pernah berkata bahwa “Ikan tidak akan busuk dari kepalanya”, suatu kiasan yang menggambarkan betapa seorang pemimpin yang kuat dan berwibawa akan berpengaruh terhadap bawahannya. Bahkan, KUHP sering diplesetkan menjadi “Kasih Uang Habis Perkara.”
Dalam konflik kepentingan berhukum, satu-satunya dewi penyelamat adalah HAKIM. Karena HAKIM dilambangkan sebagai Dewi pemegang timbangan keadilan dan penentu siapa yang menang atau kalah dalam perkara. Namun, sangat memprihatinkan bahwa lambang Dewi Keadilan dan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam praktik telah berubah menjadi “Demi Keadilan dan Keuangan Yang Maha Esa,” yang hanya berlaku untuk advokat dan hakim tertentu saja.
Keadaan buruk dalam praktik hukum merupakan fakta yang terjadi di depan kita semua selama kurang lebih 20 tahun. Berkaca dari kenyataan tersebut, jelas bahwa masyarakat hukum kita tengah dalam keadaan sakit, bukan fisik tetapi moralitas. Tidak ada dokter penyembuh dan tidak ada panutan yang patut diandalkan untuk menyelesaikan masalah moralitas hukum di Indonesia.
Di sisi lain, seharusnya ada sikap batin dan niat baik dari penyelenggara negara di bidang hukum, termasuk advokat, untuk bersama-sama bergotong-royong dan seia-sekata membangun sistem penegakan hukum yang bersih dan berwibawa menuju cita-cita kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di muka hukum (Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945).
Kekuatan peraturan perundang-undangan telah memadai dan lebih dari cukup sebagai dasar hukum bagi praktisi hukum dalam berperilaku, termasuk hakim. Perubahan atau pembentukan UU baru dalam hal menjalankan prinsip dan norma kekuasaan kehakiman tidak diperlukan lagi, melainkan sistem pengawasan yang perlu dibenahi terhadap kinerja aparatur hukum, termasuk advokat. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK