Demokrasi Bukan Klub Anggota

Ketika Demokrasi Hendak Digembok dari Dalam dengan Dalih Legal Standing

0
28
Dalih Legal Standing
Revisi Undang-Undang TNI bukan urusan internal. Ini urusan semua orang.
Lama Membaca: 4 menit

Batas demokrasi mestinya ditentukan oleh akal sehat dan kepedulian, bukan oleh aturan administratif yang menyaring siapa yang berhak bertanya. Kalau suara warga dikecilkan hanya karena tak berseragam atau tak punya jabatan, pantaskah kita diam? Demokrasi ini milik siapa, sebenarnya?

Demokrasi tidak membatasi siapa yang boleh peduli. Seperti halnya sinar matahari tak hanya untuk yang duduk di barisan depan, sistem ini seharusnya memberi tempat bagi siapa pun yang ingin menjaga arah perjalanan negara. Tapi sekarang, ruang itu mulai dipersempit, bukan oleh alasan substansi, melainkan oleh aturan administratif.

Inilah yang terjadi dalam perdebatan soal revisi Undang-Undang TNI. Ketika mahasiswa, aktivis, ibu rumah tangga, dan pekerja sipil mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, negara memberi jawaban administratif: mereka dianggap tidak punya “legal standing”. Tidak berkapasitas. Tidak terdampak langsung. Maka, tidak punya hak untuk bertanya.

Pertanyaannya, sejak kapan kesadaran warga tentang arah negara dianggap tidak sah? Sejak kapan demokrasi berubah menjadi klub tertutup, di mana kepedulian tak cukup jika tak disertai status formal?

Pemerintah dan DPR menyampaikan pandangan yang terdengar rapi: hanya mereka yang terdampak langsung oleh sebuah undang-undang yang sah untuk menggugatnya. Mahasiswa bukan calon prajurit. Ibu rumah tangga bukan pegawai kementerian. Aktivis bukan birokrat pertahanan. Maka, mereka tak masuk hitungan.

Supratman Andi Agtas, Menteri Hukum dan HAM, menyampaikan di sidang MK, “Para pemohon perkara 81 yang merupakan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat serta para pemohon lainnya yang berprofesi sebagai mahasiswa, aktivis, ibu rumah tangga, tidak memiliki pertautan langsung karena para pemohon bukan merupakan prajurit aktif dan bukan siswa sekolah kedinasan militer serta tidak mendaftar sebagai calon prajurit Tentara Nasional Indonesia.

Senada dengan itu, Utut Adianto dari DPR menegaskan: “Para pemohon tidak memiliki pertautan langsung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 karena tidak berkapasitas sebagai TNI aktif, calon prajurit TNI, bukan pegawai di instansi sipil yang berpotensi dirugikan dengan meluasnya jabatan sipil yang memungkinkan untuk dijabat oleh TNI, melainkan mahasiswa, pelajar, karyawan swasta, dan mengurus rumah tangga.”

Tapi di balik argumen hukum itu, ada pola yang lebih dalam: menyaring demokrasi lewat prosedur. Menentukan siapa yang boleh peduli, dan siapa yang sebaiknya diam. Bukan karena mereka keliru, tapi karena mereka dianggap berada di luar sistem.

Padahal, yang digugat bukan sekadar susunan pasal, tapi arah kebijakan yang memengaruhi wajah demokrasi ke depan. Revisi UU TNI memberi ruang lebih besar bagi militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil, memperluas peran tanpa batas pengawasan sipil yang jelas. Ini bukan sekadar soal internal militer, tapi soal siapa yang memegang kendali dalam institusi-institusi publik yang semestinya netral dan terbuka.

Dengan kata lain, ini bukan urusan internal. Ini urusan semua orang.

Advertisement

Para pemohon memang tidak punya seragam, tapi mereka punya ingatan. Mereka tahu apa yang terjadi ketika militer tidak dibatasi ruang geraknya. Mereka paham bahwa kekuasaan tanpa pengawasan bukan hanya berbahaya, tapi juga sulit dikoreksi ketika sudah berjalan terlalu jauh.

Mereka bersuara bukan karena merasa dirugikan secara personal, tapi karena melihat pola yang berulang: militer masuk ke jabatan sipil, pembahasan undang-undang dilakukan tertutup, suara publik dianggap gaduh. Mereka tahu, sejarah kelam Orde Baru tak pernah benar-benar menghilang, ia hanya menunggu celah untuk kembali dalam bentuk yang lebih halus.

Kita masih ingat bagaimana di Unsoed, mahasiswa menaburkan kotoran kambing di depan markas Kodim sebagai simbol protes atas revisi UU TNI. Mereka dipanggil, diminta klarifikasi. Di Unud, kerja sama kampus dan Kodam resmi diteken, membawa militer ke dalam ruang pendidikan sipil. Ini bukan lagi teori. Ini kejadian yang menyusup ke ruang-ruang yang mestinya dijaga netral.

Itulah sebabnya suara mereka justru penting karena datang dari luar lingkar kekuasaan. Mereka tidak terikat posisi atau kepentingan jabatan. Mereka melihat dari kejauhan, dan justru karena itu bisa membaca arah dengan lebih jernih.

Mengatakan mereka tak punya legal standing adalah menutup pintu demokrasi dengan alasan tata letak. Padahal, dalam rumah demokrasi, yang mengetuk pintu tak seharusnya ditanya dulu dari ruangan mana mereka datang.

Di tengah nada penolakan dari eksekutif dan legislatif, Mahkamah Konstitusi masih menyisakan ruang dengar. Hakim Arief Hidayat menyampaikan secara terbuka, “Permohonan ini memang banyak dari kalangan aktivis generasi muda. Itu menunjukkan, dalam pengertian saya, kepedulian mereka terhadap kehidupan negara hukum yang demokratis. Jadi tidak perlu diberi catatan-catatan khusus negatif, tapi ini positif. Adanya kesadaran hukum di kalangan generasi muda sehingga berjalannya negara hukum yang demokratis berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mulai dari sedikit demi sedikit terbentuk.”

Pernyataan ini bukan hanya catatan pinggir. Ia menjadi penegas: bahwa suara warga, seberapa pun kecil dan informalnya, tetap layak didengar. Bukan karena mereka punya status, tapi karena mereka punya kepedulian.

Meskipun sebagian permohonan ditolak karena alasan formil, perhatian Mahkamah terhadap substansi gugatan menunjukkan bahwa hukum tidak boleh terputus dari kesadaran kolektif. Bahwa undang-undang bukan hanya milik mereka yang menyusunnya, tapi milik semua orang yang hidup di bawahnya.

Legal standing memang penting sebagai instrumen hukum. Tapi ia tidak boleh jadi alat untuk membungkam. Ia tak boleh menjadi pagar yang hanya mengizinkan “anggota resmi” masuk, sementara yang lain diminta menunggu di luar, meski rumah itu adalah milik bersama.

Karena ketika warga mulai dilarang bertanya soal arah kekuasaan, maka yang sedang dikerjakan bukan penegakan hukum, tapi pengaturan opini. Ketika suara publik disaring dengan dasar “terdampak langsung”, maka demokrasi berubah menjadi sistem eksklusif, di mana kebijakan hanya boleh dikritik oleh mereka yang sudah masuk terlalu dalam untuk bisa bebas bicara.

Ironisnya, justru mereka yang tak punya posisi formal itulah yang paling jernih dalam mengingat. Dan demokrasi tidak tumbuh dari kepatuhan administratif, melainkan dari keberanian untuk mengingat dan bertanya.

Revisi UU TNI bukan urusan sempit tentang birokrasi. Ia menyentuh garis batas yang disusun pascareformasi bahwa militer dikembalikan ke barak, dan sipil memimpin ruang publik. Garis itu kini mulai kabur. Tidak dengan gebrakan, tapi dengan sunyi. Dengan kerja sama. Dengan pembiaran.

Ketika militer mulai masuk ke jabatan-jabatan sipil tanpa mekanisme yang transparan, ketika kampus menjalin kerja sama senyap dengan institusi bersenjata, ketika mahasiswa yang protes justru dipanggil aparat, dan ketika sidang pembahasan undang-undang dilakukan di hotel mewah yang jauh dari mata publik, semua itu bukan kebetulan. Itu pola.

Dan ketika publik mencoba membunyikan alarm, lalu diberi tahu bahwa mereka tak punya hak bersuara karena tak terdampak langsung, itulah saat demokrasi sedang digembok dari dalam.

Menjaga rumah tak harus dari ruang tengah. Kadang mereka yang berdiri di beranda, di lorong, bahkan di luar pagar, adalah penjaga paling jujur. Karena mereka tidak sedang duduk di kursi kekuasaan, tapi berdiri sebagai warga yang punya ingatan dan keprihatinan.

Ketika negara mulai menentukan siapa yang boleh menggugat, siapa yang boleh bicara, siapa yang boleh peduli, maka kita sedang menyaksikan demokrasi yang dibentuk ulang bukan berdasarkan nilai, tapi berdasarkan seleksi.

Dan pertanyaan akhirnya sederhana: apakah kita mau menjadi warga dalam sistem yang hanya mengizinkan sebagian kecil untuk berpikir dan bersuara?

Mahkamah boleh menolak sebagian permohonan. Tapi sejarah akan mencatat siapa yang tetap mengetuk, meski tak dianggap punya tiket.

Karena dalam demokrasi, yang tidak punya jabatan tapi punya keberanian untuk bertanya, seringkali adalah penjaga yang paling setia. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

Menurut Anda, siapa yang seharusnya boleh menggugat kebijakan publik di Mahkamah Konstitusi?
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments