Kosmologi Mitologi Batak

Mitologi Batak

0
53
Diagram Kosmologi Batak oleh Ch. Robin Simanullang, The Batak Institute
Lama Membaca: 6 menit

Leluhur Batak mewariskan mitologi tentang bagaimana Debata Mulajadi Nabolon (Allah Sang Khalik Maha Besar) menciptakan alam semesta dan manusia dalam suatu sistem keseimbangan (harmoni dan disharmoni) kosmos (makro-mikro kosmos) serta relasinya dengan Debata Mulajadi Nabolon (Sang Khalik Maha Besar). Bagi sebagian orang, mitologi itu dianggap hanya dongeng atau mitos belaka. Namun dalam buku ini, mitologi dimaknai merupakan kisah suci yang mendahului dan menginspirasi arah timbulnya filsafat (logika) dan menitiskan nilai-nilai yang secara empiris nyata dalam aktivitas kehidupan masyarakat Batak. Sebagaimana para filsuf mula-mula mengapresiasi dan menjadikan mitologi sebagai obyek penyelidikannya.

Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

Dalam Grolier Encyclopedia of Knowledge (1991) disebut, mitologi adalah cerita yang menceritakan secara imajinatif dan simbolis struktur total dan dasar yang menjadi sandaran budaya.[1] Arnold Joseph Toynbee (1957) dalam Christianity Among the Religions of the World mengatakan: “Ketika saya menggunakan kata “mitos,” tentu saja saya tidak bermaksud cerita-cerita dongeng atau hal-hal yang tidak benar. Saya menggunakan kata “mitos” dalam pengertian yang digunakan Plato, dan, bagaimanapun juga, itu adalah kata Yunani, jadi seorang filsuf Yunani berhak untuk menetapkan maknanya; dan Plato mengartikan “mitos” sebagai bentuk ekspresi yang digunakan seseorang ketika sumber daya intelek telah habis namun seseorang masih memiliki sesuatu yang sangat penting dan signifikan yang harus diungkapkannya dengan cara tertentu.”[2]

Secara khusus tentang mitologi dan kosmologi penciptaan, dalam Encyclopedia of Psychology and Religion diuraikan (digambarkan) bagaimana alam semesta muncul dan hubungan manusia dengan alam semesta, adalah artefak budaya yang mencerminkan kerangka teologis yang paling esensial. Karena mitos-mitos ini pada akhirnya adalah produk yang diproyeksikan dari pikiran manusia, mitos-mitos ini dapat dianggap mencerminkan dalam arti yang sangat nyata struktur sifat manusia pada tingkat yang paling dasar. Jadi dalam kosmologi peradaban kuno dan kontemporer kita melihat versi teori sifat manusia, deskripsi tentang bagaimana jiwa manusia telah muncul dan terstruktur.[3]

Dalam kerangka berpikir tersebut, berikut kita mendeskripsi Kosmologi (Kosmogoni) Mitologi Batak, terdiri dari:

  1. Makrokosmos yakni seluruh semesta dalam harmoni totalitas mikrokosmos dan unsur-unsurnya yang dikuasai Debata Mulajadi Nabolon dalam totalitas fungsionalnya.
  2. Mikrokosmos yakni harmoni totalitas unsur-unsur makrokosmos yang terdiri dari tiga atmosfir mikrokosmos dan unsur-unsurnya, yang masing-masing dikuasai (dikelola) tiga putera Debata Mulajadi Nabolon, sebagai totalitas Debata yang Esa dalam tiga unsur, (Debata na sada sitolu suhu) yakni Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan, Terdiri dari Tiga Mikrokosmos:
  • Mikrokosmos Atmosfir Banua Ginjang (Benua Atas) dan unsur-unsurnya terdiri dari 7 lapisan langit, mulai dari langit 1-5 dihuni roh-roh (tondi) manusia yang sudah meninggal sesuai tingkatan perbuatannya selama hidup (Begu, Sumangot dan Sombaon); yang juga senang muhibah ke tempatnya semasih hidup di Benua Tengah; Langit 6 tahta Debata Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan, dan putera-puterinya serta roh-roh manusia dewa/sakti; Langit 7 yang disebut Langit ni langitan, sebagai tahta Debata Mulajadi Nabolon (Allah Tinggi Sang Khalik Maha Besar) yang transenden, Sang Awal dan pencipta yang tidak bermula tidak berujung (na so marmula na so marujung); Secara keseluruhan Banua Atas dikuasai (dikelola) Debata Batara Guru yang juga disebut Ompu Bubi Nabolon dan Debata Idup, representasi Debata Panompa dohot Pamasumasu (Pencipta dan pemberi berkat).[4]
  • Mikrokosmos Atmosfir Banua Tonga (Benua Tengah) dan unsur-unsurnya terdiri dari: 1) Bumi sebagai pusat dan semua penghuninya, baik makhluk hidup (manusia, flora dan fauna) dan makhluk mati (gunung, batu, laut dan sebagainya); Bumi diciptakan Debata Mulajadi Nabolon melalui cucu kesayangannya Si Boru Deak Parujar, putri Debata Batara Guru; Semua makhluk hidup mempunyai tondi (roh) masing-masing; Makhluk mati juga mempunyai kekuatan jika dihuni oleh roh (begu, sumangot atau sombaon); 2) Matahari, dan Bulan serta bintang-bintang serbagai anak-anak Bulan, saling berkejaran timbul-tenggelam mengitari bumi (Mitos perkelahian Matahari dengan Bulan);[5] Tatkala matahari terbit (binsar) dari perut samudera purba (primordial), itulah siang hari, dan tak kala tenggelam ke perut samudera purba, itulah malam hari; lalu digantikan bulan dan bintang-bintang anak-anaknya terbit (poltak) dari perut samudera purba. Secara keseluruhan dikuasai (dkelola) Debata Soripada Sohaliapan, atau Debata Balasori, yang disebut juga Ompu Silaon Nabolon atau Sibaso Nabolon, representasi Debata Parorot (Pengasuh, Penyelenggara) yang dinamai juga Debata Asiasi (Pengasih) yang immanen.[6]
  • Mikrokosmos Atmosfir Banua Toru (Benua Bawah) dan unsur-unsurnya terdiri dari: 1) Perut Bumi di mana Raja Naga Padoha terikat saat dia mengganggu Si Boru Deak Parujar membentuk Bumi di atas Samudera Purba yang sunyi senyap gelap-gulita, dan hingga kini dia terkadang bergerak sehingga timbul gempa; Dia putera Debata Mangala Bulan penguasa Banua Toru; Perut Bumi juga sebagai tempat tubuh manusia yang sudah mati; 2) Samudera purba yang gelap gulita sebagai bagian dari atmosfir Banua Toru juga menjadi tempat: Begu Jadijadian (hantu buatan dan/atau peliharaan)), seperti Begu Ganjang (hantu suruhan pencabut nyawa); Begu Nurnur (pernyebab wabah, kolera), Begu Antuk atau Sorposorpo (penyebab penyakit tiba-tiba, struk), Begu Sorngot (penyebab wabah penyakit yang sulit sembuh, Covid-19); dan Pangulubalang (jin buatan dan suruhan penjaga kampung); begu na mate mangkar (roh orang yang mati tanpa keturunan), begu ibu yang mati melahirkan dan tanpa keturunan; Begu Jat, Sombaon dan Sibolis, yang semuanya senang melanglang buana ke Benua Tengah dan menjadi penyebab malapetaka; Berhadapan dengan Sumangot dan Sombaon leluhur yang menghuni Benua Atas Langit 1-5 dan juga senang datang muhibah ke Banua Tonga. Secara keseluruhan mikrokosmos atmosfir Banua Toru dikuasai (dikelola) Debata Mangala Bulan disebut juga Ompu Pane Nabolon, representasi Debata Pargogo jala Panguhum (Kekuatan dan Penghakiman); dalam hal tertentu disebut juga Saniang Naga, dewi air (Danau Toba dan laut), sumber mata air. Akhir zaman akan tiba tatkala Debata Mangala Bulan (Debata Penghakiman) merestui Naga Padoha bergerak dahsyat sehingga bumi runtuh ditelan Samudera Purba.[7]

Perihal penciptaan ketiga banua (Ginjang, Tonga dan Toru) tidak dijelaskan rinci dalam kosmogoni Batak namun dikisahkan keberadaannya, selain Banua Tonga (Benua Tengah atau Bumi). Banua Ginjang sudah ada sebelum penciptaan Bumi, dan Bumi diciptakan di ruang atas permukaan samudera primordial (purba) yang gelap gulita (Banua Toru). Perihal samudera primordial ini, H.R. Van Heekeren (1958) dalam The Bronze-Iron Age of Indonesia (Zaman Perunggu-Besi Indonesia) menyebut Masyarakat Batak juga percaya akan adanya pulau misterius di tengah samudra tempat orang mati berada: Pulau Abadi (the Isle of the Immortals).[8] Jadi artinya, Bumi dicipta di dalam ruang yang sudah ada sebelumnya; Mirip seperti Theogonia (bahasa Yunani: Θεογονία), puisi yang ditulis oleh Hesiodos sekitar abad 7-8 SM, perihal kelahiran para dewa dan penciptaan alam, merupakan kosmogoni mitologi Yunani yang pertama menceritakan bahwa keadaan awal alam semesta adalah Chaos, yakni kekosongan tak terbatas dan dari sanalah segalanya bermula. Theogonia juga menjelaskan mengenai pergantian kekuasaan para dewa, mulai dari Uranus, Kronos, sampai Zeus. Selain itu, juga disebutkan mengenai Titanomakhia, pertempuran Zeus dan Tifon, hukuman Prometheus, kotak Pandora, dan sebagainya.[9]

Theogonia adalah filsafat alam Hesiodik, bahasa Yunani tertua yang kita kenal, memiliki karakter yang sangat populer, bahwa ruang pasti sudah ada sebelum benda-benda di dalamnya, seperti situs bangunan di depan bangunan. Hesiodus mengisahkan bahwa kekacauan muncul sebagai sumber gelap dari semua kehidupan di dunia, yang tak dapat dijelaskan. Sehingga dipandang oleh Friedrich Gottlieb Welcker (1865) merupakan pemikiran yang sangat naif.[10]

Mitologi Batak layak dikomparasi dengan beberapa mitologi bangsa-bangsa di dunia, di antaranya mitologi Mesopotamia (Sumeria-Babylonia), Mesir, Ibrani, Yunani, Skandinavia, Amerika Utara dan Australia. Mitologi Batak ternyata pantas disejajarkan, bahkan punya kelebihan. Hanya saja manuskrip mitologi Batak tidak ditemukan, walaupun disebut pernah ada, di antaranya yang dinamai Pustaha Tumbaga Agong dan Tumbaga Holing dan ‘Pustaha Bangkara’ tetapi kemungkinan dihancurkan oleh pihak yang ingin memalsukan sejarah dan eksistensi Batak demi penjajahan. Namun, Batak mempunyai tradisi turiturian lisan dari setiap generasi.

Salah satu kelebihan Mitologi Batak yang paling menonjol dibandingkan dengan mitologi dunia lainnya adalah tentang keberadaan Debata Mulajadi Nabolon, sebagai Allah Tinggi (The High God) Sang Khalik Mahabesar yang tidak bermula dan tidak berujung (Na so marmula, na so marujung); Debata na Sada Si Tolu Suhu (Dewa Tinggi yang Esa dalam Tiga Unsur) atau (komparasi) Tritunggal, Trinitas atau Trimurti: Debata Batara Guru (re­presentasi Pencipta), Debata Soripada (Pengasih, Debata Asiasi) dan Debata Mangala Bulan (Kekuatan dan Penghakiman).

Dalam konsepsi monoteisme, ‘nyaris’ menyamai agama-agama dan kepercayaan besar dunia saat ini. Hanya, dalam Mitos Ritual (The Ritual Myth)-nya, — oleh pihak lain (di antaranya Kristen Protestan) – dipandang terjadi penghambatan dengan praktek penyembahan kepada Sumangot dan Sombaon yang juga dipandang berbagai pihak sebagai perwujudan munculnya banyak dewa-dewa lainnya. Hal itu muncul sebagai konsekuensi penghormatan orang Batak kepada orangtua dan leluhur sebagai Debata na ni ida (Allah yang kelihatan) dan raja sakti atau raja malim sebagai titisan Debata di bumi. Terutama, maraknya praktek hadatuon (kedukunan) yang sebagian besar muncul sebagai penyimpangan dari gagasan besar mitologi Batak.

Bersambung: Jenis Mitologi Batak

Advertisement

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak A Cultural Strategy, Jilid 1, Bab 2.1.1, Halaman 123-127.

 

Footnotes:

[1] Grolier, 1991: Encyclopedia of Knowledge, Volume 13. Danbury, Connecticut: Grolier Incorporated, p.171.

[2] Toynbee, Arnold Joseph, 1957. Christianity Among the Religions of the World. New York: Scribner, p. 17.

[3] Leeming, David A., Kathryn Madden, and Stanton Marlan (Eds.), 2010. Encyclopedia of Psychology and Religion. New York: Springer Science+Business Media, 956.

[4] Bandingkan: Tobing, Philip O Lumban, 1956: p.27-29; Tampubolon, Raja Patik, 1964 (2012: Cet3): Buku 1-2, h. 38-39 & 283; Sinaga, Anicetus B., Dr, 2014: h.80-81.

[5] Mitos Perkelahian Matahari dan Bulan (Turiturian Parbadaan ni Mataniari dohot Bulan). Secara singkat: Awalnya Matahari dan Bulan sama-sama punya anak (Bintang). Tapi karena Matahari dan 7 bintangnya sangat panas, sehingga manusia memohon kepada Debata Mulajadi Nabolon untuk meniadakan ke-7 anak Matahari tersebut. Debata Mulajadi Nabolon memerintahkan Batara Guru menghubungi putrinya penguasa Bulan, Si Boru Deak Parujar, supaya meniadakan anak-anak Matahari tersebut. Si Boru Deak Parujar memperdaya Matahari sehingga menelan semua anak-anaknya karena Bulan mengaku telah menelan semua anaknya, padahal hanya disembunyikannya. Matahari sadar telah diperdaya. Sejak itu Matahari dan Bulan menjadi berkejaran. (Turiturian Raja Kores Simanullang, 1959; Yang juga menjadi sumber utama Turiturian Mitologi Batak dalam buku ini).

[6] Bandingkan: Tobing, Philip O Lumban, 1956: p.27-29; Tampubolon, Raja Patik, 1964 (I-II): h. 40 & 284; Sinaga, Anicetus B., Dr, 2014: h.83-84.

[7] Bandingkan: Tobing, Philip O Lumban, 1956: p.27-29; Tampubolon, Raja Patik, 1964 (I-II): h. 40 & 284-285; Sinaga, Anicetus B., Dr, 2014: h.84-86.

[8] Heekeren, H. R. Van, 1958: The Bronze-Iron Age of Indonesia; Verhandelingen van Het Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel XXII; ’s-Grayenhage: Martinus Nijhoff, p.16.

[9] Hesiod; Welcker, Friedrich Gottlieb, 1865: Die hesiodische Theogonie : mit einem Versuch über die Hesiodische Poesie überhaupt, einer Einleitung und kritischen und exegetischen Anmerkungen zur Theogonie, Elberfeld: Verlag von R. L. Friderichs, s.25-56.

[10] Hesiod; Welcker, Friedrich Gottlieb, 1865: s.109-110.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments