Ahok dan Seni Politik

[OPINI] – CATATAN KILAS – Politik adalah seni kemungkinan (the art of possibilities). Dalam berpolitik (seni kemungkinan) itu ada visi dan misi yang diperjuangkan melalui seni diplomasi, negosiasi, koalisi dan kampanye yakni seni untuk meyakinkan, memengaruhi, mengubah pilihan dan dukungan. Catatan Kilas: Ch. Robin Simanullang
Dalam konteks Pilgub DKI 2017, Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sebagai petahana, diperhadapkan pada dua arus dukungan potensial yakni relawan Teman Ahok dan PDI-Perjuangan yang sebenarnya sama-sama ingin mengusung Ahok kembali memimpin Jakarta.
Teman Ahok telah mengumpulkan tujuh ratusan ribu KTP dan menyatakan sanggup mengumpulkan sejuta KTP untuk mengusung Ahok dan pasangannya dari jalur independen. Sementara PDI-P merupakan satu-satunya partai di DPRD DKI yang bisa secara mandiri mengusung pasangan calon karena memiliki 28 kursi, enam kursi lebih banyak dari syarat 22 kursi, menyatakan siap mendukung Ahok dan pasangannya dari jalur partai.
Teman Ahok mendesak supaya Ahok segera menentukan pilihan. Sementara PDI-P mengisyaratkan bersabar mengikuti mekanisme partai. Ahok diperhadapkan dua pilihan pelik yang menuntut kemampuan seni berpolitik (the art of possibilities). Apakah Ahok mampu mengelola dua kutub potensi pendukungnya dengan seni kemungkinan (seni politik), kemungkinan ketiga, win-win solution?
Pemimpin politik (dalam konteks the art of possibilities) itu memiliki kemampuan seni untuk memenangkan semua pihak, kendati dalam kontestasi senyatanya ada yang menang dan kalah, tetapi dengan seni berpolitik itu semua pihak merasakannya sebagai win-win solution. Masing-masing merasa ditempatkan pada posisi yang sepantasnya.
Dalam konteks ini politik tidak sekadar kompetisi dan pertarungan (political game). Apalagi, antara teman Ahok dan PDI Perjuangan sesungguhnya ada kesamaan tujuan yakni mengusung Ahok untuk terpilih kembali menjadi Gubernur DKI 2017-2022. Hanya proses teknisnya saja yang berbeda, yakni jalur independen atau jalur partai.
Tapi sayang, sejauh ini, Ahok belum menunjukkan kemahiran berpolitik sebagai the art of possibilities itu. Karena hanya dalam proses sekali pertemuan dengan Teman Ahok, Minggu (6/3/2016) malam, Ahok telah menentukan pilihan memenuhi desakan Teman Ahok dengan memilih pasangan Heru Budi Hartono, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI, sebagai calon wakil gubernur. Pilihan itu dia jatuhkan setelah Djarot Saiful Hidayat, yang saat ini menjabat Wakil Gubernur, menyatakan tidak mau keluar dari partai (PDI Perjuangan) yang disyaratkan Teman Ahok untuk diusung dari jalur independen.
Pilihan Ahok ini sangat mempersempit kemungkinan PDI Perjuangan akan tetap mendukung Ahok-Heru. Kendati Ahok merasa sangat dekat dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Akan berbeda kemungkinannya, seandainya Ahok lebih bijak menempuh risiko tetap menggandeng Djarot Saiful Hidayat kendati belum (tidak) mendapat restu dari PDI Perjuangan dan jangan memaksa Djarot keluar dari PDI Perjuangan.
Kondisi ini, tidak hanya mempersulit kemenangan Ahok-Heru dalam Pilgub Februari 2017, tetapi juga mempersulit PDI Perjuangan untuk tetap mendukung Ahok-Heru (Ibarat burung dalam genggaman, sengaja dilepas); Atau justru memaksa PDI-P untuk mengusung calonnya sendiri dengan atau tanpa berkoalisi dengan partai lain yang akan menjadi pesaing Ahok-Heru. Atau, bahkan kemungkinan terburuk, dukungan KTP yang dikumpulkan Teman Ahok gagal memenuhi syarat dalam verifikasi KPU. Perihal kemungkinan terburuk ini, Ahok kelihatannya pasrah (kehilangan spirit petarung).
Kondisi ini amat menguntungkan para pesaing Ahok. Apalagi jika muncul pasangan calon yang punya potensi dan kemampuan seni politik mumpuni untuk meraih kemenangan atas dukungan koalisi partai-partai politik, termasuk PDI Perjuangan.
Namun, kemungkinan PDI Perjuangan akan tetap mendukung Ahok-Djarot dalam konteks berpolitik sebagai the art of possibilities, masih celah terbuka kendati amat sempit.
Catatan Kilas: Ch. Robin Simanullang | Opini TokohIndonesia.com | Tokoh.id