Fenomena Sang Pelayan

[OPINI] – CATATAN KILAS – Kecerdasan kedaulatan rakyat telah menunjukkan sosoknya melindas ‘permainan kepentingan sempit elit politik yang cenderung menghalalkan segala cara’ dalam Pemilukada DKI Jakarta, baik dalam putaran pertama (11 Juli 2012) terutama putaran kedua (20 September 2012).
Di tengah kegalauan atas rendahnya kualitas demokrasi di Indonesia yang sarat manipulasi, politik uang dan fanatisme sempit, rakyat Jakarta bangkit mengaktualisasikan kedaulatannya dengan memilih pemimpinnya sesuai dengan nurani masing-masing. Isu SARA yang dimainkan para elit politik tertentu, ternyata tidak mempan bagi mayoritas warga ibukota. Demikian pula politik uang, tidak bisa lagi leluasa dimainkan untuk ‘membeli’ kedaulatan rakyat. Sebuah perubahan yang fenomenal.
Fenomena demokrasi yang amat menarik ini, dipicu oleh tampilnya sosok Joko Widodo (Jokowi) yang bersahaja, tulus, jujur dan merakyat serta telah terbukti sebagai pemimpin yang melayani (Walikota Solo). Berpasangan pula dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), seorang keturunan Tionghoa dan beragama Kristen, yang juga telah terbukti tampil sebagai pemimpin yang melayani (Bupati Belitung Timur). Pasangan ini menjadi fenomenal di tengah masih kentalnya permainan politik fanatisme sempit dan kepentingan sempit para (sebagian) elit politik (partai politik), yang sering kali memprovokasi rakyat dengan isu SARA dan fanatisme sempit.
Sebagian besar warga Jakarta tampaknya sudah muak dengan provokasi fanatisme sempit para elit politik tersebut. Warga Jakarta tak mau lagi digiring-giring elit politik dengan kepentingan dan fanatisme sempit. Warga Jakarta telah memilih pimpinannya (gubernur) dengan mengandalkan nuraninya masing-masing.
Namun, sebagian besar warga Jakarta tampaknya sudah muak dengan provokasi fanatisme sempit para elit politik tersebut. Warga Jakarta tak mau lagi digiring-giring elit politik dengan kepentingan dan fanatisme sempit. Warga Jakarta telah memilih pimpinannya (gubernur) dengan mengandalkan nuraninya masing-masing. Terbukti, sesuai hitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei, Pemilukada Jakarta putaran kedua, warga Jakarta telah memilih pasangan fenomenal ini (Jokowi-Basuki) menjadi gubernur dan wakil gubernur periode 2012-2017. Pasangan ini mengalahkan pasangan petahana Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli (Foke – Nara) dengan selisih sekitar 7%.
Enam lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat menghasilkan perolehan suara untuk kedua pasangan pada putaran kedua Pemilukada DKI Jakarta sebagai berikut: 1) LSI-TV One: Jokowi-Ahok 53,68% dan Foke-Nara 46,32%; 2) Indo Barometer-Metro TV: Jokowi-Ahok 54,11% dan Foke-Nara 45,89%; 3) LSI-SCTV: Jokowi-Ahok 53,81 persen dan Foke-Nara 46,19 persen; 4) Kom-pas: Jokowi-Ahok 52,97 % dan Foke-Nara 47,03%; 5) INES: Jokowi-Ahok 57,39% dan Foke-Nara 42,61%; dan 6) MNC Media-SMRC: Jokowi-Ahok 52,63% dan Foke-Nara 47,37%.
Kemudian hasil perhitungan suara resmi yang dilakukan KPU Provinsi DKI Jakarta secara berjenjang dari tingkat kelurahan, kecamatan, kota dan kabupaten, hingga tingkat provinsi, Jumat (28/9/2012) di Hotel Borobudur, Jakarta, Jokowi-Basuki berhasil memenangi putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2012 dengan perolehan suara sebanyak 2.472.130 atau 53,82 persen, mengalahkan Foke-Nara yang memperoleh suara 2.120.815 atau 46,18 persen. Jokowi-Basuki unggul lima wilayah kota, dan Foke-Nara hanya unggul di Kepulauan Seribu.
Berikut rincian perolehan suara resmi kedua pasang calon gubernur dan wakil gubernur Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki) dalam putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2012: Jakarta Barat Foke-Nara: 474.298 vs Jokowi-Basuki: 577.232; Jakarta Timur Foke-Nara: 611.366 vs Jokowi-Basuki: 695.220; Jakarta Pusat Foke-Nara: 249.427 vs Jokowi-Basuki: 256.529; Jakarta Utara Foke-Nara: 300.188 vs Jokowi-Basuki: 432.714; Jakarta Selatan Foke-Nara: 476.742 vs Jokowi-Basuki: 507.257; Kepulauan Seribu Foke-Nara: 8.794 vs Jokowi-Basuki: 3.178.
Mengapa warga Jakarta memilih Jokowi – Ahok?
Menurut pengamatan saya, ada beberapa faktor: Pertama, banyak orang menyebut pasangan Jokowi-Ahok ini keluar dari pakem. Pasangan yang extraordinary, fenomenal. Jika biasanya penetapan duet kandidat dilatari pertimbangan etnis, suku, agama, dan sipil-militer (pakem), pasangan ini telah keluar dari pakem. Pasangan Jokowi-Basuki ini lebih dilandasi pertimbangan jejak rekam (track record) kepemimpinannya. Hal ini juga tercermin dari proses pencalonan pasangan ini. Jokowi yang memang kader PDI Perjuangan tidak pernah mengajukan diri (mendaftarkan diri) untuk dicalonkan. Melainkan mekanisme partai yang menugaskan dan mencalonkannya. Begitu pula proses pencalonan Basuki. Dia adalah kader Golkar yang sedang menjabat Anggota DPR-RI, tetapi dicari, dipinang dan dicalonkan Partai Gerindra untuk mendampingi Jokowi. Jadi keduanya dipastikan dicalonkan tanpa mahar politik.
Kedua, justru yang paling penarik adalah komitmen mereka untuk mengabdikan diri, dengan orientasi pelayanan bukan kekuasaan, tanpa beban kepentingan. Pemimpin yang mendengarkan rakyat, berdialog dengan masyarakat (dialog publik sebanyak-banyaknya) kendati dengan konsekuensi dikritik dan dicaci-maki. Track record keduanya, terutama Jokowi, telah terbukti sebagai seorang pemimpin yang melayani. Mereka tampil bersahaja sebagai pelayan. Gaya kepemimpinan mereka bagaikan oase di tengah retorika para pejabat (penguasa) yang hanya berpidato menyebut diri sebagai pelayan masyarakat, tetapi prakteknya menancapkan cengkeraman kekuasaan. Maka, kepemimpinan yang malayani yang ditampilkan Jokowi-Ahok ini, mendobrak tampilan berkuasa dari para pejabat (dalam kontek ini Gubernur DKI Jakarta) sebelumnya.
Dalam kaitan gubernur yang melayani ini, saya sependapat dengan budayawan Ridwan Saidi dalam dialog di sebuah stasiun televisi yang berpesan agar Jokowi tetaplah tampil sebagai diri sendiri. Para gubernur terdahulu boleh didengar, tetapi janganlah menjadi seperti mereka. Sejauh ini, Ali Sadikin adalah Gubernur DKI Jakarta terhebat, tetapi pada zamannya dia amat berkuasa. Banyak warga yang takut dituduh PKI jika kemauan gubernur pada era itu tidak dituruti. Kemudian, disusul oleh Sutiyoso, Gubernur Jakarta di masa paling sulit, lalu dia tampil dengan tegas dan berani mengambil risiko. Dia handal dengan kepemimpinan bergaya militer (berani, tegas) di tengah euforia kebebasan. Selebihnya, gubernur lainnya tampil sebagai pejabat biasa, birokrat yang berkuasa sesuai SOP. Sejauh ini, belum ada Gubernur di Jakarta (Indonesia) yang mau merendahkan diri menjadi pelayan, lebih daripada menjadi (sebagai) pejabat.
Kini, Jokowi-Ahok menyatakan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur yang pelayan. Hal itu tidak hanya diucapkan, tetapi telah mereka buktikan di Solo dan Belitung Timur serta mereka perlihatkan ketika mengunjungi warga hingga ke gang-gang sempit selama kampanye di Jakarta. Rakyat pun percaya. Fenomena Sang Pelayan tersebut memunculkan ekspektasi warga sedemikian kuat akan memiliki gubernur dan wakil gubernur yang melayani, melayani dan melayani, jauh berbeda dari gubernur dan wakil gubernur sebelumnya.
Ketiga, rakyat percaya integritas calon gubernur dan wakil gubernur ini. Mereka dinilai jujur, bersih dari korupsi yang hingga kini masih menjadi momok yang memelaratkan rakyat. Keduanya memiliki jejak rekam sebagai pemimpin muda, bernyali, memiliki integritas kepemimpin berstandar tinggi; perpaduan antara profesionalisme, kreativitas dan integritas. Berani mengeksekusi program sesulit apapun. Pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan publik. Berani bersih, transparan dan profesional. (Ditegaskan: “Kalau ada yang lebih bersih dan lebih transparan daripada kami, ya jangan pilih kami”). Mereka pemimpin bersahaja, yang memiliki jiwa sederhana dan tidak koruptif. Pemimpin tanpa interes kepentingan pribadi dan kelompok, bekerja tanpa beban, tidak membawa ‘gerbong’. Pemimpin yang tidak memiliki kepentingan politik atau ekonomi kelompok di belakangnya. Pemimpin yang berani membeberkan harta kekayaannya.
Keempat, keduanya berkomitmen bekerja dengan speed tinggi, berani bekerja fokus di lapangan, tidak hanya perintah dari belakang meja. Pemimpin yang memiliki etos kerja tinggi, satu jam di kantor dan sisanya di lapangan.
Kelima, pasangan Jokowi-Basuki ini berkomitmen mengakselerasi pembangunan Jakarta yang dimulai dari kampung-kampung kumuh, bukan dari jalan-jalan protokol. Sehingga warga punya harapan, pasangan ini akan membawa harapan baru dalam mengakselerasi gerak pembangunan yang segera menjadikan Jakarta sebagai kota modern yang tertata rapi, layak huni dan manusiawi. Yang oleh duet Jokowi-Basuki (JB) menyebutnya sebagai Jakarta Baru (JB), yang mereka tuangkan dalam Visi, Misi dan Program. Warga punya harapan bahwa pasangan ini memiliki kualitas kepemimpinan yang sanggup menata kota dan menyejahterakan warganya, memberikan peluang ekonomi kerakyatan dengan luas, membangun tanpa menyakiti, menjamin tidak akan melakukan penggusuran terhadap pedagang kaki lima, tetapi akan memberi ruang dan fasilitas kepada pedagang kaki lima (fakta ekonomi rakyat) dengan membangun shelter dan tempat khusus pedagang kaki lima, membangun mal PKL dan pasar PKL, serta memfungsikan Satpol PP untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja, dan pedagang kaki lima. Juga menjamin membenahi pasar tradisional.
Keenam, menjamin pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis kepada warga kurang mampu. Menjamin pendidikan gratis sampai SMA dengan sistem kartu; ada kartu platinum, gold dan silver untuk tingkatan pemberian fasilitas gratis, mulai dari uang sekolah, seragam, pakaian, hingga transportasi; Juga akan melibatkan sekolah swasta dan para guru. Memberikan Kartu Kesehatan Jakarta (kartu pemeliharaan kesehatan masyarakat kalangan bawah hingga menengah, yang biayanya ditanggung pemda DKI, bukan asuransi, dan masyarakat tidak perlu SKTM, yang juga melibatkan RS swasta.
Jakarta Baru
Pasangan yang merupakan perpaduan antara profesionalisme, kreativitas dan integritas ini telah merumuskan visi, misi dan program untuk membenahi Jakarta menjadi Jakarta Baru (JB) yang cukup memikat warga Jakarta mengapa lebih pantas memilih Jokowi-Basuki. Apa visi Jakarta Baru (JB) yang digagas Jokowi-Basuki (JB), pasangan Cagub dan Cawagub DKI Jakarta yang diusung PDI Perjuangan dan Partai gerindra ini? Jakarta Baru, adalah kota modern yang tertata rapi, menjadi tempat hunian yang layak dan manusiawi, memiliki masyarakat yang berkebudayaan, dan dengan pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.
Visi JB itu dijabarkan dalam lima Misi Jakarta Baru yakni: 1) Mewujudkan Jakarta sebagai kota modern yang tertata rapi serta konsisten dengan Rencana Tata Ruang Wilayah; 2) Menjadikan Jakarta sebagai kota yang bebas dari masalah-masalah menahun seperti macet, banjir, pemukiman kumuh, sampah dan lain-lain; 3) Menjamin ketersediaan hunian dan ruang publik yang layak serta terjangkau bagi warga kota; 4) Membangun budaya masyarakat perkotaan yang toleran, tetapi juga sekaligus memiliki kesadaran dalam memelihara kota; 5) Membangun pemerintahan yang bersih dan transparan serta berorientasi pada pelayanan publik.
Jokowi-Basuki (JB) sangat menyadari bahwa persoalan di DKI Jakarta tidak sederhana, bahkan sangat rumit dan kompleks. Mereka sangat mengenal Ibukota Jakarta sebagai sebuah kota besar, masuk 10 teratas kota-kota besar di dunia. Luasnya 66.000 hektar, memiliki 9,6 juta penduduk di malam hari dan 12 juta di siang hari. Bahkan jika digabung dengan kota satelit di sekitarnya, Jakarta Raya, merupakan sebuah megapolitan dengan lebih dari 20 juta penduduk.
Jakarta memiliki kepadatan rata-rata 15.000 jiwa per km2. Namun dari hasil observasi JB, di berbagai slum area kepadatan itu hampir mencapai 70 ribu jiwa per km2. Maka, dengan tata ruang, pola pemukiman, dan infrastruktur transportasi yang ada saat ini, jelas mengurus Jakarta bukan perkara gampang. Namun bagi JB sebagai pemimpin (calon gubernur dan wakil gubernur terpilih) untuk menyelesaikannya, mereka tidak mau terjebak dalam benang kusut persoalan dengan langkah awal menyederhanakan cara berpikir. Bukan menyederhanakan dan menganggap remeh persoalan tetapi menyederhanakan pola pikir.
JB bahkan mengajak publik untuk sama-sama memahami bahwa Jakarta memiliki seluruh potensi dan sumberdaya untuk menjadi kota terbaik dan kebanggaan di Indonesia dan di Asia Tenggara. Di Jakarta terdapat banyak ahli dan pakar di bidang tata kota, ahli transportasi, pakar dalam hal pemukiman, drainase, lingkungan, dan lain-lain. Jakarta juga memiliki dana yang cukup. Dalam kalkulasi JB, selama 5 (lima) tahun, Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 akan memiliki anggaran lebih dari 180 triliun rupiah. Namun semua potensi ini tidak akan bisa didayagunakan jika Jakarta tidak memiliki manajer kota (gubernur) yang tepat, yang tidak berpikir rumit-rumit, tetapi yang mampu melihat persoalan ini secara sederhana.
JB sangat menyadari bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta itu bukan hanya sekadar pemimpin politik, melainkan seorang manager kota. Baik Jokowi maupun Basuki telah membuktikan diri sebagai manager kota dan kabupaten selama menjabat Walikota Solo dan Bupati Belitung Timur. Keduanya telah membuktikan bahwa tugas utama seorang manajer kota (wilayah) itu cuma satu, yaitu to govern, memerintah, dalam makna mampu mengeluarkan kebijakan publik (public policy) yakni kebijakan dalam rangka kebutuhan publik.
JB melihat bahwa Jakarta hari ini bukannya tidak berkembang dan maju. Jakarta tetap tumbuh dan semakin berkembang. Namun sayang, arahnya bukan sebagai tempat hunian yang nyaman bagi warga. Dalam pandangan JB, Jakarta hari ini tumbuh mirip seperti di zaman VOC tahun 1730 • awal 1800-an, yaitu sekadar memenuhi kebutuhan dan keserakahan kapital, bukan untuk menciptakan tempat tinggal yang layak, nyaman, dan manusiawi bagi warganya.
Oleh sebab itu, JB menegaskan, tugas utama Gubernur ke depan adalah membalik orientasi pembangunan kota, dari sekadar memenuhi kepentingan kapital menjadi berorientasi kepada pemenuhan kepentingan publik. Sebab, ketika pembangunan kota berorientasi kepada pemenuhan kepentingan publik dimana kota ini menjadi lebih nyaman, bebas macet dan banjir, maka bisnis bisa tumbuh subur dan menguntungkan. Ketika Jakarta bebas macet, berarti ada 45 triliun kekayaan publik yang tidak hilang sia-sia di jalan raya, dan itu juga berarti peluang besar untuk tumbuhnya berbagai bisnis yang sehat di Jakarta.
Jadi dalam pandangan JB, macet, banjir, problem tata ruang, sampah, dan lain-lain itu sebenarnya hanya symptom, gejala-gejala yang tampak di permukaan, sementara penyebab utamanya tersembunyi jauh di dasar gunung es. Menurut JB, kegagalan berbagai daerah dalam memajukan dan sekaligus memakmurkan warganya itu adalah belenggu konflik kepentingan ekonomi politik Kepala Daerah. Dengan demikian, meskipun memiliki visi yang bagus, misi yang luar biasa, namun jika si Kepala Daerah terikat dengan belenggu ekonomi politik dengan pihak lain, dia tidak merdeka dalam menjalankan gagasannya. Seringkali, ini yang menyebabkan orientasi pembangunan itu terbalik, bukan melayani keperluan mayoritas warga, malah memenuhi kepentingan segelintir warga saja. Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA