
Presiden Ir. Joko Widodo, yang akrab dipanggil Jokowi, dikenal sebagai pemimpin bersahaja, arif, jujur, dan petarung yang berpihak pada wong cilik (marhaenis) serta taat pada dasar negara dan konstitusi (ideologis nasionalis militan dan religius). Dia seorang kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP, nasionalis, marhaenis, Pancasilais) terbaik saat ini. Kader partai militan yang disebut Petugas Partai yang diwakafkan dan mendapat mandat dari rakyat (Pilpres 2014 dan 2019) untuk mengabdi sebagai Presiden Republik Indonesia Ke-7 dua periode (2014-2019 dan 2019-2024), setelah sebelumnya mengabdi sebagai Gubernur DKI Jakarta (2012-2014) dan Walikota Solo (2005-2012).
Dia melaksanakan penugasan partai dan amanah rakyat itu dengan sangat baik, bahkan fenomenal, baik sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, maupun sebagai Presiden RI. Terbukti dari hasil survei terbaru, sebagai Presiden, mendapat tingkat kepuasan publik mencapai 82%. Pemimpin yang mencapai tingkat kepuasan publik tertinggi di Indonesia sepanjang sejarah dan kepuasan publik tertinggi dunia saat ini. Sungguh seorang pemimpin fenomenal.
Maka tak heran bila keharuman nama Jokowi telah menjadi daya pikat tersendiri bagi sebagian kontestan Pilpres Februari 2014. Bagi Ganjar Pranowo, Capres PDI-Perjuangan yang juga diusung dan didukung PPP, Hanura dan Perindo, keharuman nama Jokowi tersebut adalah merupakan modal besar untuk memenangkan Pilpres dan Pileg 2024. Ditambah lagi nama baik Ganjar Pranowo yang tampil sebagai diri sendiri dan memiliki kesenyawaan dengan pribadi Jokowi serta dilahirkan dari rahim ideologi partai yang sama. Sehingga diyakini estafet kepemimpinan dari rahim yang sama akan berlanjut. Ganjar diyakini menjadi Presiden Ke-8 yang paling kesatria melanjutkan kepemimpinan Jokowi dengan akselerasi yang kian cepat.
Namun menariknya, Prabowo Subianto, Capres Partai Gerindra, yang dua kali Pilpres (2014 dan 2019) mempunyai visi jauh berbeda dari Jokowi dan dikalahkan Jokowi, melakukan berbagai manuver menempel nama besar Jokowi. Memuja-muji Jokowi dan tanpa malu menyebut akan melanjutkan visi dan program Jokowi. Prabowo dan timnya juga berusaha untuk menunjukkan bahwa (seolah) Jokowi lebih mendukungnya menjadi Presiden Ke-8 dibanding Ganjar Pranowo. Prabowo tidak hanya menempel Jokowi, melainkan juga berusaha mendekati dan merangkul keluarga Jokowi, bahkan juga bergerilya mendekati dan diisukan menyawer relawan Jokowi. Sehingga melahirkan anekdot: Lebih baik meninggalkan sahabat seperjuangan daripada kelaparan.
Sejauh ini, Prabowo tampak berhasil dalam manuvernya mengkapitalisasi ‘kedekatannya’ dengan Jokowi dan kedua putranya Gibran dan Kaesang. Juga berhasil menarik Golkar dan PAN, serta PBB dan Gelora untuk bergabung, dan menyebut nama koalisinya Koalisi Indonesia Maju, mendompleng nama Kabinet Indonesia Maju Jokowi. Yang berarti membubarkan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang sejak 2022 telah dideklarasikannya bersama PKB. Walaupun berakibat PKB hengkang bergabung dengan Nasdem dan segera mendeklarasikan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai Capres-Cawapres. Deklarasi Anies-Imin ini membuat Demokrat tersingkir dan kemudian bergabung mendukung Prabowo.
Manuver Prabowo dan Gerindra berpuncak dengan mengklaim Gibran akan menjadi Cawapres mendampingi Prabowo. Untuk tujuan ini, Gerindra pun ikut mengajukan gugatan batas usia minimum Capres/Cawapres ke Mahkamah Konstitusi, dari 40 tahun menjadi 35 tahun, supaya usia Gibran memenuhi syarat. Gibran sendiri mengaku sudah ditawari Prabowo menjadi Cawapres, walaupun Gibran menyebut bahwa dia sebagai kader PDIP menunggu arahan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Berbeda dengan Anies Baswedan, Capres Partai Nasdem yang sempat didukung Demokrat dan belakangan didukung dan diusung PKB dan PKS. Anies sejak awal berani tampil sebagai ‘antitesa’ Jokowi dengan visi Perubahan dan Persatuan. Dengan visi perubahan, Anies yakin akan memenangkan Pilpres 2024. Suatu keyakinan yang patut dihargai, walaupun berbagai hasil survei menunjukkan hal berbeda.
Kini, dengan manuver Prabowo tidak malu mengatakan akan melanjutkan visi dan program Jokowi, kendati pun dalam dua kali Pilpres sebelumnya dia mempunyai visi dan program berbeda, sejauh ini tampak berhasil mengecoh dan menarik perhatian sebagian pendukung Jokowi. Dengan manuver menyaru ‘senyawa’ dengan Jokowi tersebut, Prabowo dan timnya merasa yakin akan memenangkan Pilpres putaran kedua. Karena beberapa hasil survei memang mengindikasikan akan terjadi Pilpres putaran kedua antara Ganjar dan Prabowo yang akan dimenangkan Prabowo. Hasil survei yang tampak terlalu meremehkan Anies.
Menurut pengamatan Redaksi Tokoh Indonesia, klaim Prabowo dan timnya tersebut beralasan karena sikap Jokowi yang dalam beberapa kesempatan menunjukkan kedekatan dengan Prabowo. Kedekatan karena tugas itu dikapitalisasi Prabowo dan timnya sedemikian rupa sehingga terkesan Jokowi lebih menginginkan Prabowo jadi Presiden Ke-8 daripada Ganjar.
Beberapa pengamat politik juga menimpali manuver Prabowo tersebut. Sering dikesankan seolah-olah Jokowi tidak sejalan lagi dengan Ganjar dan Megawati Soekarnoputri. Sebutan petugas partai yang disematkan kepada Jokowi dikesankan membuat Jokowi tersinggung. Di satu sisi, jika Jokowi terlihat akur dengan Megawati, disebut Jokowi boneka Megawati. Di sisi lain, jika Jokowi mengambil kebijakan sebagai Presiden yang tidak selalu paralel dengan keinginan Megawati, misalnya pemberian tugas yang terlalu banyak kepada Luhut Binsar Panjaitan, disebut Jokowi melawan dan Megawati marah besar, hubungan keduanya menjadi panas-dingin. Kejadian politik terbaru, ketika Kaesang, putra bungsu Jokowi, diangkat jadi Ketua Umum PSI, dikesankan para pengamat pro Prabowo, Jokowi membelot dan Megawati marah besar.
Mereka lupa bahwa dinamika seperti itu adalah hal biasa dalam tradisi petugas partai PDIP. Petugas partai yang sudah diwakafkan menjadi pejabat negara harus menjalankan amanah sebagai pejabat negara. Megawati sendiri juga mengatakan bahwa dirinya sendiri adalah petugas partai yang diberi amanah menjadi Ketua Umum. Suatu hal yang perlu dicatat, ketika Megawati menjabat Presiden, Fraksi PDIP di DPR pernah menolak usulan pemerintah tentang utang kepada IMF. PDIP dengan prinsip politiknya, Pemerintah dengan prinsip pemerintahannya, dalam koridor ideologi Pancasila.
Maka (sementara), Ganjar dan PDIP tampak merasa yakin bahwa Jokowi dan keluarganya tidak akan berseberangan dalam Pilpres 2024. Hubungan Ganjar dan PDIP dengan Jokowi berlangsung sebagaimana mestinya. Setidaknya hal ini ditunjukkan kepada publik saat Rakernas IV PDIP di Jakarta, 23 September 2023.
Namun masih ada pengamat yang berpandangan bahwa Jokowi dalam Pilpres 2024 bermain dalam dua kaki. Opini ini dibangun sedemikian rupa untuk menguatkan manuver Prabowo yang tidak malu mengatakan akan melanjutkan visi dan program Jokowi. Bahkan bukan hanya pengamat, sebagian relawan Jokowi yang mengatakan tegak lurus kepada Jokowi justru berkecenderungan mendukung Prabowo. Seperti elit relawan Projo, contohnya.
Apakah mereka yang berpandangan Jokowi bermain dua kaki dan lebih berpihak Prabowo itu salah? Tidak mudah menyalahkannya. Hal ini hanya menuntut ketegasan Jokowi untuk mengatakan isi hati politiknya. Informasi A1 yang diperoleh Redaksi Tokoh Indonesia, Jokowi berempati kepada Prabowo yang siap menjadi pembantunya menjalankan visi Presiden Jokowi kendati sesungguhnya Prabowo memiliki visi berbeda. Oleh karena itu, Jokowi ingin menduetkan Ganjar dan Prabowo. Ganjar menjadi Capres dan Prabowo Cawapres. Bukan sebaliknya!
Jika duet Ganjar-Prabowo tidak bisa diwujudkan, keduanya akan bertarung dalam Pilpres 2024. Kemungkinan tiga pasangan, Ganjar dengan Cawapresnya, Prabowo dengan Cawapresnya, dan Anies dengan Muhaimin. Dalam keadaan ini Jokowi diyakini akan menunjukkan jatidirinya, apakah dia seorang kader militan kesatria atau bukan? Seorang kader pemenang atau pecundang?
Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang