PKS itu Berkeringat

[OPINI] – CATATAN KILAS – Belajar Demokrasi – Sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam rapat paripurna DPR, Jumat (30/3/2012), menolak kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi dengan tetap mempertahankan Pasal 7 Ayat (6) Undang-Undang APBN 2012, menjadi berita hangat dalam pekan ini.
Pasalnya, PKS sebagai salah satu partai koalisi yang tergabung dalam Sektetariat Gabungan (Setgab) partai pendukung pemerintah, memilih berseberangan dengan pemerintah dan Setgab partai pendukung pemerintah lainnya (Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP dan PKB). Sehingga PKS dianggap nakal, tidak etis, pembelot, pengkhianat dan macam-macam, dan didesak supaya keluar dari koalisi. Tiga menterinya seharusnya tahu diri mengundurkan diri, atau dipecat saja.
Lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Setgab mengundang dan memimpin rapat ketua-ketua partai koalisi yang tergabung dalam Setgab di Cikeas, Jawa Barat, Selasa (3/4/2012) malam, tanpa mengikutsertakan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Hal tersebut mengundang berbagai komentar, reaksi dan indikasi bahwa PKS telah mulai disingkirkan. Komentar para kader Partai Demokrat yang bernada menyudutkan PKS secara keras, juga ditimpali para petinggi partai anggota Setgab lainnya. Namun, Presiden SBY sendiri belum bicara sepatah kata pun tentang posisi PKS dalam koalisi. Hanya, Sekretaris Setgab Syarifuddin Hasan, seusai rapat Setgab di Cikeas tersebut mengemukakan bahwa kontrak dengan PKS sudah berakhir. PKS dikeluarkan dari koalisi.
Mari hargai perbedaan pendapat (perbedaan pandangan) atas kebenaran yang diyakini demi kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, Presiden SBY dan para kader PD, ikut punya andil mencerdaskan kehidupan demokratisasi di negeri ini. Bukan hanya lagaknya demokrat (atau partainya demokrat), tetapi tindakannya titisan Orde Baru (masa kejayaan Golkar) yang menabukan perbedaan pendapat.
Anehnya, pernyataan Syarifuddin Hasan (kader Demokrat) itu ditimpali Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical). Ical mengatakan PKS dinilai melanggar kesepakatan sebagai anggota koalisi yang mendukung pemerintahan SBY-Boediono. Walaupun Ical juga mengatakan belum ada keputusan terkait sanksi terhadap PKS, tapi Ical menegaskan: “Memang ada tiga butir kesepakatan yang dilanggar PKS. Benar seperti kata Pak Syarifuddin Hasan, kontrak dengan PKS sudah berakhir.” [1]
Masih banyak komentar miring tentang sikap PKS tersebut. Apalagi setelah kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan rapat kabinet terbatas bidang perekonomian di kantor Presiden Jakarta, Rabu (4/4/2012), sore, tanpa mengundang Menteri Pertanian (Mentan) Suswono (PKS).[2] Hal ini dianggap sebagai langkah pengkondisian penyingkiran PKS dari kabinet dan koalisi.
**
Saya mencatat beberapa hal perihal sikap politik PKS tersebut dan reaksi atau konsekuensi yang mengikutinya. Pertama, PKS memperlihatkan suatu sikap politik yang jelas dalam era demokrasi saat ini bahwa berkoalisi dengan pemerintah bersama partai pendukung pemerintah lainnya, bukan berarti harus selalu membeo sebagai tukang stempel, seperti dipraktekkan dalam 30-an tahun kejayaan Golkar pada masa pemerintahan Orde Baru.
Bagi saya, sikap politik seperti yang ditunjukkan PKS ini, adalah suatu sikap pembelajaran demokrasi yang amat cerdas (mencerdaskan). Suatu proses pembelajaran yang harus terus diasah dalam proses pendewasaan berdemokrasi. Memang, bisa dimaklumi, bahwa dalam proses demokrasi ala Golkar pada masa lalu (orde baru) yang tampaknya masih menitis juga ke beberapa partai (Golkar dan Demokrat dan lainnya) saat ini, sikap politik seperti itu (termasuk sikap politik oposisi) masih dianggap nakal, tidak etis, pembangkang dan pengkhianat. Titisan ini terlihat jelas dari sikap dan reaksi mereka terhadap sikap PKS tersebut, apalagi terhadap sikap partai oposisi (PDI-P, Gerindra dan Hanura).
Hal ini adalah suatu pembelajaran bahwa suatu partai harus memiliki sikap yang jelas tentang kebenaran tujuan menyejahterakan rakyat yang diyakininya. Kendatipun dia masuk dalam koalisi pemerintah. Sebagai partai yang mengusung moral (dakwah), saya memandang PKS (dalam konteks ini) lebih mengutamakan hakikat perjuangannya (kesejahteraan rakyat) daripada sekadar pragmatisme politik mempertahankan kekuasaan (tiga menteri dalam kabinet). Walaupun berpartai adalah untuk berkuasa, tetapi harus memiliki sikap yang jelas tentang kebenaran tujuan menyejahterakan rakyat yang diyakininya. Itulah etika politik! Bukan malah membeo dianggap beretika.
Kedua, PKS itu adalah partai yang berkeringat dalam pemilu presiden yang memenangkan SBY-Boediono. Dalam hal ini, PKS bukanlah partai yang tiba-tiba ikut gabung dalam koalisi untuk membagi (menikmati) kekuasaan. Saya yakin, Presiden SBY sangat merasakan keringat PKS tersebut. Walaupun ada pengalaman, bagaimana Yusril Ihza Mahendra (PBB) akhirnya disingkirkan. Padahal, tanpa PBB (Yusril), SBY tidak punya kesempatan jadi Capres 2004, yang mengantarnya jadi Presiden. Dalam kaitan ini, memang ada adagium yang menyatakan bahwa dalam politik tidak ada sahabat abadi, yang ada (abadi) hanya kepentingan.
Hanya saja, sangatlah lebih elok jika petinggi partai-partai koalisi pemerinah lainnya, apalagi partai yang tidak ikut berkeringat memenangkan SBY-Boediono, bisa menahan diri. Jangan malah tidak punya rasa malu menuding PKS sebagai pengkhianat dan mendesak agar didepak dari koalisi.
Saya sangat memaklumi jika Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring (mantan Presiden PKS) merasa geram karena partainya dikatakan pengkhianat oleh kader partai lain soal penolakan PKS terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak tersebut. “PKS tidak membelot. Perlu diperhatikan kalau teman-teman PKS ini, masa iya memperingatkan pemerintah tidak boleh?” kata Tifatul seusai menghadiri acara wisuda Universitas Nasional di Jakarta Convention Centre, Senayan Jakarta, Minggu (1/4/2012).
Tifatul menjelaskan bahwa sebagai mitra anggota koalisi, PKS bukanlah partai yang tiba-tiba mendapat hadiah dari partai penguasa saat ini. “Kami ini berkeringat, kami ini punya saham. Perjanjian kurang lebih seperti itu. Jadi kalau mengingatkan sesuatu yang baik untuk pemerintah dan disuarakan rakyat, itu sesuatu yang wajar. Presiden saja tidak berkata itu kepada PKS,” katanya. Itu sebabnya, dia mengimbau agar partai koalisi lainnya dapat mengerti hak perbedaan pendapat. Dia juga meminta agar partai lain tidak lagi melontarkan pernyataan-pernyatan kasar dan tidak mendidik demokrasi.
Ketiga, PKS itu dilamar oleh SBY untuk mendukungnya meraih kursi presiden dan untuk bersama dalam pemerintahan. Tampaknya hal ini banyak dilupakan oleh kader Demokrat dan partai koalisi yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan partai pendukung pemerintah lainnya. Sehingga, mereka melontarkan desakan agar PKS didepak dari Setgab.
Perihal ini, Ketua DPP Bidang Advokasi Hukum dan HAM PKS Aboe Bakar Al Habsy menyampaikan tanggapan yang patut diperhatikan. Dia mengingatkan bahwa perjanjian koalisi PKS dengan Presiden, bukan dengan Setgab. PKS juga dilamar oleh Presiden untuk bergabung dengan koalisi. Aboe Bakar pun memberi analogi: “Misalkan anak Anda dilamar seseorang, kemudian dilanjutkan akad nikah. Beberapa waktu kemudian, pembantu mantu Anda ngomong mau menalak anak Anda. Apakah Anda akan menanggapinya?”
Dalam hal ini, menurut Aboe Bakar yang juga anggota Komisi III DPR itu, ada dua kemungkinan. Yakni, pertama, mungkin pembantu itu sedang mencari muka atau perhatian; Kedua, mungkin juga mantu Anda ini tipe orang yang terima bersih, tak mau kotor tangannya atau tak bertanggung jawab. “Masak pas ngelamar berani ngomong langsung. Giliran mau talak diwakilin ke pembantu. Ini kan enggak tepat. Ketimbang berspekulasi, bukankah lebih baik kita tunggu saja mantu Anda sendiri yang ngomong,” ujar Aboe Bakar. Dia bermaksud bilang, jika PKS mau dikeluarkan dari koalisi pemerintah, silakan Presiden SBY yang sampaikan secara jantan.
Keempat, dilema dan risiko Presiden SBY jika PKS didepak dari koalisi pemerintah. Banyak pengamat, apalagi para politisi, berspekulasi bahwa kali ini Presiden SBY yang biasanya kurang berani mengambil risiko akan mengambil tindakan tegas mencopot tiga menteri dari PKS (Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, Menteri Pertanian Suswono, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring). Sebab, bukan kali ini saja PKS ‘membangkang’ atas kehendak pemerintah, juga tentang mega skandal Bank Century dan mafia pajak.
Saya memandang, hal ini bukan soal berani atau tidak beraninya Presiden mengambil risiko. Saya yakin, Presiden SBY bukanlah penakut. Risiko apapun dia akan ambil, tetapi dengan pertimbangan rasional, tidak emosional dan terburu-buru.
Jika mengikuti ‘kemarahan hatinya’ kepada PKS, saya kira beliau sudah berkeinginan mencopot tiga menteri tersebut. Pada reshuffle kabinet lalu, beliau sudah membuktikan mencopot satu menteri dari PKS yakni Suharna Surapranata dari jabatan Menteri Riset dan Teknologi. Pada saat itu, tak mustahil, jika PKS sebenarnya sudah tidak merasa puas lagi bergabung dalam koalisi. Tapi mereka menahan diri.
Maka, kini pun mereka tampaknya menunggu dan siap untuk didepak dari koalisi dan kabinet. Tetapi mereka tidak mungkin mengundurkan diri secara tiba-tiba. Proses pengondisian agar PKS dan menterinya gerah yang sudah dimulai, belum cukup untuk memaksa mereka mengundurkan diri. Mereka memilih menunggu didepak dan dilecehkan. Ini adalah strategi politik yang sudah jamak dilakukan oleh politikus. Sebagaimana dipraktekkan SBY (walau tidak persis sama) saat menjabat Menkopolkam pada pemerintahan Presiden Megawati.
Maka, ini adalah dilema buat Presiden SBY. Sebagai Presiden yang sangat fokus pada pencitraan, mungkinkah beliau mau melakukan ‘kesalahan’ seperti yang dilakukan Presiden Megawati menyikapi manuvernya (SBY) sebagai Menkopolkam dulu?
Kemungkinan ini bisa saja terjadi, apalagi bila Presiden SBY terprovokasi oleh para petinggi PD dan partai koalisi lainnya (khususnya Golkar), sebagaimana Presiden megawati terprovokasi oleh petinggi PDIP Taufiq Kiemas dulu. Jika akhirnya, PKS didepak, itu berarti Presiden SBY telah siap mengahadapi risiko, PKS bergabung menjadi partai oposisi, penyeimbang, atau apa pun namanya.
Kelima, jika PKS didepak, partai koalisi lainnya akan menangguk dari air keruh. Posisi tawar partai koalisi lainnya, terutama Golkar, akan semakin tinggi. Konsekuensinya, beban kerja politik Demokrat bukan tambah ringan, malah akan tambah berat. Maka, kondisi ini bukanlah hitungan politik yang gampang buat Presiden SBY.
Sehubungan dengan itu, alangkah lebih bijak jika Presiden SBY dan para kader Partai Demokrat jangan terpancing atau terprovokasi untuk menerapkan politik titisan Orde Baru yang menganggap perbedaan pendapat sebagai hal yang kurang etis, pembangkang, pembelot dan pengkhianat. Seyogyanya, sesuai nama partai yang didirikannya, demokrat, sangatlah bijak jika Presiden SBY dan para kader PD lainnya tampil sebagai orang-orang demokrat.
Mari hargai perbedaan pendapat (perbedaan pandangan) atas kebenaran yang diyakini demi kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, Presiden SBY dan para kader PD, ikut punya andil mencerdaskan kehidupan demokratisasi di negeri ini. Bukan hanya lagaknya demokrat (atau partainya demokrat), tetapi tindakannya titisan Orde Baru (masa kejayaan Golkar) yang menabukan perbedaan pendapat. Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com |
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Footnote:
[1] Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) kepada pers sebelum melantik Pengurus DPP Gerakan Perempuan MKGR di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Rabu (4/4/2012).
[2] Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam ketika dikonfirmasi wartawan mengatakan Menteri Pertanian Suswono memang tidak diundang hadir dalam rapat kabinet yang membahas tindak lanjut disahkannya UU APBN-P 2012 itu.