Tatkala Jokowi Petugas Partai

Ada saat yang hebat tatkala Jokowi masih dengan bersahaja, tulus dan militan menempatkan diri sebagai petugas partai. Tatkala lawan politiknya mengejek dan merendahkan posisinya sebagai petugas partai dengan sebutan Boneka Megawati dan julukan menghina lainnya, tapi fakta menunjukkan, sungguh hebat, dalam posisi itu Jokowi mengukir berbagai prestasi gemilang yang ‘mencengangkan’ mata dunia.
Sejak Jokowi yang secara politik belum siapa-siapa diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi Walikota Solo (2005-2012), daerah yang sangat kental sebagai ‘kandang banteng’; Kemudian dengan kesahajaannya, Jokowi terpilih menjabat Gubernur DKI Jakarta (2012-2014). Lalu, masih kental bersahaja sebagai petugas partai PDIP, Jokowi terpilih menjadi Presiden RI 2014-2019 setelah menaklukkan Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad, dalam Pilpres 2014.
Saat menjabat Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden RI periode pertama, Jokowi mengukir prestasi gemilang dalam berbagai sektor yang amat fenomenal. Secara umum standar pelayanan publik meningkat tajam, antara lain yang spektakuler: orang miskin berhak sakit, walaupun belum dalam standar pelayanan terbaik. Saking fenomenalnya, kendati baru dua tahun menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sebagai kader (petugas partai) PDIP berhasil mengalahkan Prabowo dalam Pilpres 2014.
Kemenangan yang tidak semata-mata karena kehebatan prestasi gemilang Jokowi, tetapi juga mungkin karena faktor keinginan publik mencegah Prabowo jangan sampai menjadi Presiden, yang dibenak publik rekam jejaknya terngiang terlibat dalam penculikan dan pelanggaran HAM berat. Walaupun harus diakui, faktor kesahajaan dan prestasi gemilang Jokowi adalah modal kemenangan utama.
Saat menjabat Presiden periode pertama, dengan tudingan miring dari pihak pendukung Prabowo: Jokowi boneka Megawati; Jokowi dengan visi-misi dan program Nawacita (rumusan think tank PDIP), mengukir berbagai prestasi gemilang, antara lain di bidang akselerasi infrastruktur yang amat spektakuler, yang juga mencengangkan mata dunia; kendati selalu dicibir oleh Prabowo dan pendukungnya: Rakyat tak makan infrastruktur!
Kemudian, masih dalam kesan kesahajaan sebagai petugas partai, Jokowi terpilih lagi menjabat Presiden RI periode kedua (2019-2024), juga mengalahkan Prabowo yang mencibir Jokowi dan mengusung sentimen keagamaan sempit makin tajam dalam Pilpres 2019. Prabowo terkesan sangat sulit menerima kekalahannya, hingga ada ‘lakon’ hormat Presiden. Tapi Prabowo yang amat ambisius berkuasa, konon menurut informasi telik ‘disadarkan’ oleh Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan untuk menerima kenyataan dengan mengajaknya bergabung dalam pemerintahan. Presiden Jokowi menawarkannya Menteri Pertahanan.
Prabowo segera menangkap peluang. Dia segera tampil ‘sempurna’ sebagai bawahan (pembantu) Presiden Jokowi. Prabowo menyimpan visi-misinya, dengan tampil sebagai Menhan yang tidak punya visi-misi selain visi-misi Presiden Jokowi. Prabowo dengan piawai berlakon seperti mengabdikan dirinya kepada Jokowi. Presiden Jokowi pun tampak menikmatinya dan merasa tersanjung. Begitu juga para menteri dari partai politik yang bergabung berkoalisi dalam pemerintahan Jokowi periode keduanya. Terkesan oleh publik, Prabowo dan beberapa menteri parpol lainnya menyanjung dan memperlakukan Jokowi laksana raja Jawa kecil.
Sanjungan itu, tampaknya sangat dinikmati Jokowi, bahkan membuatnya terlena. Di tengah suasana itu, terjadi pandemi Covid-19, dan berhasil diatasi. Lalu, mulai ada keinginan memperpanjang masa jabatan Presiden akibat pandemi Covid-19 itu. Disusul usul jabatan Presiden 3 periode. Para pimpinan dan elit parpol yang menyanjung-nyanjung Jokowi itu mendukung dan menyuarakannya. Tapi Megawati dan PDIP menolaknya dengan alasan tidak sesuai konstitusi.
Sajak saat itu, Presiden Jokowi tampak mulai berubah walaupun belum begitu nyata, masih bersandiwara. Jokowi pun menyatakan diri cawe-cawe dalam rangka Pilpres. Narasi Presiden Jokowi merasa tersinggung disebut sebagai petugas partai, mulai disuarakan keluarga Jokowi sendiri. Jokowi pun mulai tampil sebagai diri sendiri, seorang Presiden yang berkuasa penuh. Lost Control. Dia tidak rela lagi dalam kesahajaan sebagai petugas partai; yang bagi PDIP, petugas partai itu adalah petugas rakyat yang mengabdi kepada rakyat, bangsa dan negara sesuai konstitusi. Perubahan penampilan Presiden Jokowi itu kemudian disuarakan ulama cendekia dalam karya sastranya: Republik Rasa Kerajaan.
Di tengah suasana itu, Megawati dan PDIP mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai Capres. Jokowi masih ikut menghadiri deklarasi Ganjar itu. Namun di sisi lain, Jokowi tampil lebih sering memamerkan kuasa dan kebersamaannya dengan Prabowo, yang diikuti sebagian relawannya sebagai tanda-tanda dukungannya kepada Prabowo. Drama politik itu berpuncak pada deklarasi Gibran sebagai Cawapres pendamping Prabowo, setelah Mahkamah Konstitusi mengubah Undang-Undang syarat Capres-Cawapres. Presiden Jokowi pun menyatakan merestui dan mendukungnya, kendati MKMK menyatakan ada pelanggaran etik berat dengan menghukum memberhentikan Anwar Usman (paman Gibran dan adik ipar Jokowi) dari jabatan Ketua MK. Mahkamah Konstitusi pun diplesetkan oleh civil society dan mahasiswa sebagai Mahkamah Keluarga.
Kini Jokowi telah berubah. Dia meninggalkan Megawati dan PDIP yang membesarkannya; juga tentu meninggalkan visi Nawacita-nya. Sebagian besar pendukungnya pun merasa kecewa karena ditinggal begitu saja. Para pendukungnya tidak berubah, tapi Jokowilah yang berubah. Jokowi kini bersatu dengan para penghinanya. Bersatu mendukung Prabowo untuk memenangkan Pilpres 2024. Hal yang sejak Pilpres 2014 tidak diinginkan sebagian besar pendukungnya.
Apa alasan esensial (ideologis) Jokowi berubah, belum pernah dijelaskan oleh Jokowi sendiri. Sehingga banyak orang menduga-duga, akibat kecanduan kekuasaan dan ingin membangun kerajaan dinasti politik.
Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang
Saya sejak 2014 setia mendukung PK Jokowi sampai saat ini,,, namun setelah PK Jokowi memberikan dukungan pada PK Prabowo ,,, sebagai rakyat pemegang keputusan untuk menentukan pilihan saya tetap hormati PK Jokowi namun saya mendukung PK Ganjar Pranowo di pilpres 2024 nanti,,, karena dari dulu saya tdk mau mendukung PK Prabowo,,,,