Ganjil Genap Pro Si Kaya

[BERITA TOKOH] – BERITA KOTA – Salah satu kebijakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang pro orang-orang kaya adalah akan diterapkannya nomor polisi ganjil-genap dalam upaya mengurai kemacetan lalulintas Jakarta. Kebijakan itu dinilai sangat prematur karena tidak didukung sarana transportasi umum yang memadai.
Tidak selamanya Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta berpihak kepada kelompok masyarakat kecil dan menengah bawah. Kali ini, penguasa Jakarta tersebut, secara jelas, mengutamakan kepentingan orang-orang kaya. Jokowi bersikukuh akan melaksanakan kebijakan kendaraan bernomor polisi ganjil-genap untuk mengurai kemacetan lalulintas Jakarta pada Juni 2013 setelah diundur dari rencana semula pada Maret 2013.
Kebijakan ganjil-genap ala Jokowi itu akan membatasi kendaraan bermotor (mobil) memasuki jalan-jalan di wilayah Jakarta berdasarkan nomor polisi ganjil-genap yang ditandai dengan pemberian stiker. Akan diatur hari-hari tertentu untuk ganjil-genap tersebut. Misalnya, hari Senin hanya kendaraan bernomor polisi ganjil yang bisa melintas di Jakarta. Selasa, genap dan seterusnya.
Kebijakan ini dinilai sangat prematur, tidak realistis dan sangat berpihak kepada orang-orang kaya, karena sama sekali belum didukung dengan sarana transportasi umum yang memadai.
Kenapa kebijakan ganjil-genap ini dinilai berpihak kepada orang kaya dan mengorbankan orang kecil dan menengah bawah? Karena kebijakan ini hanya akan sangat menyulitkan kelompok masyarakat menengah bawah (pekerja) dan akan menguntungkan orang-orang kaya. Sebab orang-orang kaya akan menguasai lalulintas Jakarta. Bagi orang kaya, membeli dua-tiga-empat mobil, minimal dua (ganjil dan genap) untuk setiap anggota keluarga bukan hal sulit. Mereka tidak mungkin beralih menggunakan transportasi umum, apalagi dalam kondisi kurang memadai (manusiawi) seperti sekarang.
Kebijakan ini hanya berdampak kepada kelompok menengah bawah, pemilik kendaraan ‘butut’ dan/atau ber-cc 1500 yang terpaksa membeli kendaraan karena tidak memadainya kendaraan umum. Sebagian mereka kemungkinan akan memaksakan diri mencicil mobil bekas atau baru agar bisa memiliki mobil bernomor polisi ganjil dan genap. Atau terpaksa melanggar hukum dengan memalsukan nomor polisi atau stiker ganjil-genap.
Kenapa kebijakan ganjil-genap ini dinilai berpihak kepada orang kaya dan mengorbankan orang kecil dan menengah bawah. Karena kebijakan ini hanya akan sangat menyulitkan kelompok masyarakat menengah bawah (pekerja) dan akan menguntungkan orang-orang kaya. Sebab orang-orang kaya akan menguasai lalulintas Jakarta. Bagi orang kaya, membeli dua-tiga-empat mobil, minimal dua (ganjil dan genap) untuk setiap anggota keluarga bukan hal sulit.
Selama sarana transportasi umum belum memadai, kebijakan ganjil-genap ini tidak akan efektif mengurai kemacetan lalulintas Jakarta. Justru akan memicu pembelian mobil bekas dan baru semakin banyak. Paling tidak akan mendorong para orang kaya memiliki dua mobil untuk setiap anggota keluarga. Dan, merekalah yang berselancar menikmati kebijakan ini. Sementara sebagian besar kelompok menengah bawah (pekerja) akan terpaksa menderita menggunakan kendaraan umum yang belum manusiawi.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit memerkirakan akan ada 2 juta orang yang terkena dampak. “Kita tidak hanya bicara di Jakarta, tetapi di Jabodetabek. Kita bicara sekitar 4,5 juta (orang) perjalanan yang masuk setiap hari. Dengan kebijakan ini, akan ada 2 juta orang yang terkena dampak,” kata Danang.
Danang menilai, perkembangan pertumbuhan moda transportasi di Jakarta, khususnya untuk mendukung kebijakan ganjil-genap, belum mampu menampung dampak kebijakan itu, baik dilihat dari segi penambahan rute maupun sarana transportasi yang tersedia. Menurutnya, paling tidak dibutuhkan sekitar 10.000 bus baru on top dari sekarang untuk bisa mengakomodasi 2 juta orang itu. Makanya, Danang menyarankan supaya mengevaluasi betul program ganjil-genap itu sebelum dijalankan.
Danang meminta Pemprov DKI untuk meninjau kebijakan itu dari segi mobilitas masyarakat Jakarta, apakah kebijakan tersebut berimplikasi terhadap mobilitas masyarakat, hak asasi dalam berkendara, dan perekonomian Jakarta khususnya.Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane juga mengatakan kebijakan Jokowi soal ganjil-genap itu sangat tak realistis. Neta mengatakan, seharusnya Jokowi membenahi dulu angkutan umum yang sangat tidak memadai. Menurutnya, pelayanan busway saja masih sangat buruk, selain berjubel, di atas jam 21.00, busway tidak berhenti di semua halte.
Maka, Neta mendesak agar Polda Metro Jaya tidak mendukung gagasan ganjil-genap tersebut karena sangat tidak realistis dan akan merugikan rakyat. Menurut Neta, bukan langkah seperti itu yang mesti diambil oleh Pemprov DKI. “Justru yang mesti lebih diperhatikan adalah mengenai pertumbuhan kendaraan bermotor dan tidak adanya langkah pengendalian produksi kendaraan bermotor itu sendiri yang jumlahnya terus meningkat,” kata Neta.
Menurut Neta, terjadinya kemacetan parah di Jakarta adalah akibat tidak jelasnya konsep pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat, untuk mengendalikan jumlah kendaraan bermotor. Bahkan, pemerintah cenderung berpihak kepada kepentingan asing dalam mengumbar produksi kendaraan bermotor. Di sisi lain, pemerintah tidak peduli dengan keberadaan angkutan umum (massal). “Jokowi harusnya mengetahui bahwa ketidaknyamanan angkutan umumlah yang membuat warga Jakarta terpaksa mengandalkan kendaraan pribadi (mobil atau motor),” ujar Neta.
Gubernur Jokowi dengan santai menanggapi pro kontra mengenai kebijakan sistem ganjil genap ini. Menurutnya, sebuah kebijakan selalu ada yang pro dan kontra. Dia menegaskan, untuk mengatasi kemacetan Jakarta butuh kebijakan radikal. Salah satunya adalah menggunakan sistem ganjil genap untuk kendaraan seperti mobil. Jokowi membantah kebijakan ini akan menelan Rp62 miliar tahun ini. Majalah Berita Indonesia – BERINDO – Edisi 87 – Maret 2013 | rbh