Revitalisasi dan Implementasi Pancasila
[BERITA TOKOH] – Pancasila Sarasehan Nasional Pancasila – Yogyakarta 3/5/2011: Pancasila sebagai ideologi negara kini tengah mendapat ujian. Timbul pertanyaan apakah kita ini masih ber-Pancasila atau tidak? Bahkan sekarang kita sepertinya sudah kehilangan pemimpin yang Pancasilais.
Hal itu mengemuka dalam Sarasehan Nasional “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia” yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Kampus UGM, Yogyakarta, pada 2-3 Mei 2011. Tujuan utama sarasehan itu adalah adalah untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) nilai-nilai Pancasila sebagai pembudayaan kehidupan berkonstitusi (implementasi).
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD saat memberikan ceramah kunci dalam acara pembukaan Sarasehan Nasional 2011, itu menegaskan Pancasila, ideologi negara yang dibangun pada 1945 dengan kesepakatan seluruh pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak bisa dilanggar atas nama hak asasi dan demokrasi.
Memang semua warga negara, menurut Mahfud, mempunyai hak untuk menyampaikan pendapat dan memperjuangkan ide. Namun, setiap negara pasti mempunyai koridor dan batas yang tidak boleh dilewati dalam upaya tersebut.
Kini, menurut Ketua MK, pemahaman terhadap demokrasi hanya untuk melegitimasi kepentingan kelompoknya sendiri. “Ada pernyataan dari warga negara Indonesia: Atas nama demokrasi, apakah kami tidak berhak memperjuangkan berdirinya Khilafah dari Thailand sampai Australia?” ungkap Mahfud. Dia pun galau, bukankah ini subversif yang nyata terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara hanya karena atas nama demokrasi? Menurut Mahfud, Pancasila sebagai ideologi negara kini tengah mendapat ujian. Berbagai teror menyerang kehidupan berbangsa. Tidak hanya teror yang bersifat fisik berupa serangan-serangan bom yang menakutkan rakyat, tapi juga teror ideologis yang mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi yang sudah disepakati bersama.
Kini, menurut Ketua MK, pemahaman terhadap demokrasi hanya untuk melegitimasi kepentingan kelompoknya sendiri. “Ada pernyataan dari warga negara Indonesia: Atas nama demokrasi, apakah kami tidak berhak memperjuangkan berdirinya Khilafah dari Thailand sampai Australia?” ungkap Mahfud. Dia pun galau, bukankah ini subversif yang nyata terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara hanya karena atas nama demokrasi?
Selain itu, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), itu belakangan juga muncul tindakan kekerasan berlatar sektarinariasme. Dia mencontohkan fenomena Negara Islam Indonesia (NII). “Terlepas analisis konspiratif yang menyebut bahwa NII merupakan produk intelijen atau memang gerakan ideologi, fenomena ini sangat mengagetkan,” kata Mahfud.
Menurutnya, sikap tegas soal ideologi dan integritas teritori negara, wajib dilakukan. Dia menegaskan, konvensi internasional bahkan menyebut negara harus mengambil langkah-langkah untuk melawan dan mengatasi gangguan soal teritori dan ideologi meski dilakukan oleh orang bebas.
Mahfud menegaskan, Negara itu didirikan dan diberi otoritas berdasarkan teori apa pun. “Negara didirikan sebagai organisasi yang mempunyai wewenang untuk mengambil tindakan terhadap apa membahayakan dirinya,”ujarnya. Atas dasar inilah, menurutnya, pejabat negara seharusnya melakukan tindakan-tindakan konkret sesuai kewenangannya untuk mengatasi persoalan tersebut. Dia berharap agar pejabat tidak hanya memberikan komentar seperti yang dilakukan para pengamat.
Revitalisasi Pancasila
Mahfud meyakini kebangkitan Pancasila sebagai salah satu solusi masalah kebangsaan. Menurutnya, Pancasila selalu menjadi solusi saat terjadi kemelut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia memberi contoh, saat awal berdirinya negara, semua golongan menyepakati Pancasila sebagai titik temu perdebatan pendirian negara. Ujian kedua adalah keributan pada 1955, kemudian pada 1966, dan terakhir era reformasi pada 1998.
Menurut Mahfud MD, Pancasila sebagai ideologi itu kita sudah terima. “Pancasila itu adalah ideologi terbuka, yang setiap pemerintah bisa membuat kebijakan sesuai kondisi waktu itu yang sifatnya teknikal,” ujar Mahfud. Maka, dia menyarankan gagasan yang harus dikembangkan adalah revitalisasi Pancasila sebagai ideologi yang harus mengalir dalam setiap sendi-sendi berbangsa.
Dia berpandangan revitalisasi diperlukan untuk melihat, menafsirkan, dan mendalami kembali Pancasila secara utuh sebagai national guideline bagi seluruh perjalanan bangsa.
Mahfud mengungkapkan, dulu di zaman Orde Baru terdapat agenda seperti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang malah menjadi metode indoktrinasi, komunikasi asimetris, dan sebagai alat penguasa menjejalkan tafsir tunggalnya terhadap Pancasila.
Menurutnya, metode itu pada akhirnya terbukti kurang efektif dan justru men-down grade Pancasila. Dia memandang bahwa revitalisasi tentu tidak hanya menekankan aspek pengetahuan seperti pola penataran P4, tapi harus ditempuh metode internalisasi yang terpadu dengan pembangunan sistem dan kultur hukum.
Sebelumnya, Mahfud MD dalam jumpa pers di MK, Rabu (27/4) sore mengemukakan persoalan Pancasila sekarang mengemuka. “Ada pertanyaan, apakah kita ini masih ber-Pancasila atau tidak. Bahkan menurut seorang akademisi Komaruddin Hidayat sekarang kita kehilangan pemimpin yang Pancasilais,” kata Ketua MK itu.
Sementara itu, Rektor UGM Prof Sudjarwadi dalam pidato sambutannya menegaskan, pihaknya (UGM) dan MK sepakat melakukan kerja sama implementasi nilai-nilai Pancasila dalam penerapan konstitusi negara.
Pada kesempatan acara pembukaan sarasehan nasional itu juga dilangsungkan penandatanganan kerja sama pembudayaan Pancasila dan konstitusi melalui pendidikan, pelatihan, penelitian dan sosialisasi konstitusi. Naskah kerjasama itu ditandatangani Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar dan Rektor UGM Prof Sudjarwadi, disaksikan Ketua MK Mahfud MD.
Kebijakan Harus Jiwai Pancasila
Hakim Konstitusi Akil Mochtar yang tampil sebagai pembicara dalam Sarasehan Pancasila di Gedung Graha Sabha Pramana,UGM Yogyakarta (2/5/2011) itu mengatakan, Pancasila yang memiliki nilainilai luhur bangsa, telah memberikan arah atau guidelines tentang nilai-nilai filosofis yang harus terkandung dalam produk peraturan perundang-undangan.
Sebab, ungkapnya, meski penyusunan peraturan perundang-undangan oleh DPR dan pemerintah telah dilakukan dengan proses dan penahapan yang begitu ketat, kelemahan secara substansi dan tumpang tindih norma tidak terelakkan.
Karena itu, Akil Mochtar menekankan, kedua lembaga tersebut (DPR dan pemerintah) harus sangat memperhatikan Pancasila sebagai dasar hukum, yang menjadi panduan bagi seluruh proses peraturan perundangan. “Prinsip dasar yang harus diperhatikan adalah tidak berseberangan dengan cita-cita Proklamasi, dan bertujuan untuk terselenggaranya negara hukum yang sejahtera, adil, dan demokratis,” katanya.
Akil Mochtar menggarisbawai adanya beberapa pertimbangan pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan produk perundangan. Yaitu kondisi objektif kebutuhan saat ini dan lingkungan strategisnya untuk mencapai masa depan yang dicita-citakan; keanekaragaman budaya hukum dalam masyarakat; dan amanat cita-cita perjuangan bangsa yang terkandung dalam UUD 1945.
Menurutnya, produk legislasi harus memahami keanekaragaman suku, agama, ras dan golongan, dalam negara kepulauan yang terbentang luas. “Jika tidak, akan berdampak pada retaknya persatuan dan terhambatnya pembangunan,” Akil Mochtar mengingatkan.
Pandangan yang sama dikemukakan Fajrul Falaakh, pengajar hukum konstitusi UGM. Fajrul Falaakh mengemukakan ada beberapa hambatan untuk mewujudkan Pancasila dalam legislasi nasional. Di antaranya, Pancasila mengalami hegemoni pemaknaan saat pemerintahan Orde Baru, sehingga muncul pandangan untuk mencari pengganti, seolah Pancasila sudah tidak mencukupi. Di samping itu, kemudian ada liberalisasi politik yang membuka kesempatan untuk ikut mendefinisikan makna ber-Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Fajrul Falaakh mengemukakan, seiring menguatnya kesadaran politik masyarakat, muncul pertanyaan: apakah Pancasila dalam legislasi dewasa ini sudah menuju pemenuhan hak-hak rakyat akan keadilan sosial, hukum, dan politik? Bahkan, dia mengungkapkan bahwa masyarakat juga khawatir cita-cita dan prinsip kerakyatan ini terbajak kembali oleh pemerintah yang otoriter. Maka, menurutnya, untuk memastikannya, proses legislasi harus transparan dan akuntabel, didukung kompetensi dan kapasitas legislator atau membutuhkan profesionalisme dalam legislasi.
Namun, katanya, inilah persoalannya. “Kinerja DPR jadi sorotan karena jauh dari kualitas yang diharapkan. Perilaku para wakil rakyat tak terlatih mengartikulasikan aspirasi rakyat,” katanya.
Maka Fajrul pun berharap agar apa yang diamanatkan pada pundak MK yaitu proses judicial review untuk mengawal nilai-nilai Pancasila agar tetap terjaga dalam produk-produk legislasi, terutama undang-undang berdasarkan konstitusi.
Namun, Fajrul pun mengemukakan kegalauannya, bagaimana jika konstitusi tersebut tidak sesuai dengan Pancasila? “Pada hakikatnya negara memerlukan tempat dan cara lain untuk menjaga kepancasilaan legislasi, yaitu untuk menjaga kesesuaian pasal-pasal konstitusi terhadap Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Pasal-pasal konstitusi itu diterapkan MK untuk menguji UU, karena MK bertunduk pada supremasi konstitusi,” katanya.
Menurutnya, tempat untuk menjaga kesesuaian pasal-pasal konstitusi itu dengan Pancasila adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mekanismenya adalah amandemen konstitusi. Berita TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA