Kepala Babi: Simbol Ketakutan Mereka

Kepala babi di meja redaksi bukan ancaman – itu pengakuan. Bukti bahwa kebenaran sedang tepat sasaran.
Ketika kepala babi dengan kedua telinganya terpotong dikirim ke kantor redaksi Tempo pada 19 Maret 2025, itu bukan sekadar insiden kriminal atau bentuk teror biasa. Itu adalah pesan yang bising, simbolik, dan vulgar – ditujukan bukan hanya kepada jurnalis Fransisca Christy Rosana (Cica), yang suaranya dikenal lewat siniar Bocor Alus Politik, melainkan kepada seluruh insan pers dan masyarakat luas yang bergantung pada informasi jujur.
Tindakan ini meniru gaya kekuasaan bayangan: diam, atau hadapi akibatnya. Dan sayangnya, dalam kasus yang sejelas ini, respons negara masih nyaris senyap. Tidak ada komando, tidak ada arah, tidak ada urgensi.
Mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Apa yang membuat seseorang begitu takut pada sebuah tulisan, hingga harus mengirim bagian tubuh hewan sebagai pesan?
Jawabannya sangat sederhana: karena tulisan itu benar.
Karena tulisan itu menyentuh sesuatu yang selama ini disembunyikan. Karena suara jurnalis itu menggoyahkan kenyamanan mereka yang hidup di balik bayang-bayang kekuasaan. Kepala babi bukan hanya simbol penghinaan. Ia adalah pengakuan diam-diam bahwa si peneror tak punya cara lain.
Ia tak mampu menyanggah. Tak mampu membantah dengan fakta. Maka ia memilih cara yang paling primitif: mengintimidasi dengan bau busuk dan simbol kematian.
Ironisnya, tindakan itu justru membuka mata banyak orang. Ia menunjukkan siapa yang sebenarnya takut. Dan semakin jelaslah: yang paling takut pada cahaya adalah mereka yang hidup dari gelap.
Mereka yang menyebar ketakutan, sesungguhnya sedang ketakutan. Ketakutan kehilangan kendali atas narasi. Ketakutan bahwa rakyat mulai tahu lebih banyak daripada yang mereka izinkan.
Penggunaan kepala babi bukanlah pilihan kebetulan. Potongan tubuh makhluk hidup ini tidak hanya menjijikkan secara visual, tapi membawa makna budaya dan psikologis yang dalam. Dalam banyak kebudayaan Indonesia, babi adalah simbol penting: di Batak, ia hadir dalam setiap upacara adat; di Papua, ia lambang status sosial dan kehormatan.
Namun di ruang politik urban – terutama di negeri mayoritas muslim seperti Indonesia – kepala babi bisa dimaknai sebagai bentuk penghinaan ekstrem. Lebih dari itu, ia adalah alat teror psikologis, yang dimaksudkan untuk memalukan, menakuti, dan membungkam.
Dalam sejarah kekuasaan global, kita tahu: kiriman kepala hewan, terutama kepala, sering digunakan oleh mafia, kartel, dan jaringan bayangan untuk menyampaikan satu pesan universal: “Diam, atau mati.” Dan kini, metode yang sama mulai menyusup ke dunia jurnalistik Indonesia – arena yang seharusnya menjadi benteng terakhir kebenaran.
Tempo bukan yang pertama. Jauh sebelum kepala babi masuk ke kantor redaksi, jurnalisme Indonesia telah lama bergumul dengan intimidasi, kekerasan, dan pembungkaman. Pada 2023, LBH Pers mencatat 87 serangan terhadap jurnalis, media, dan narasumber, dengan 126 korban individu dan organisasi. Pada 2024, AJI mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan pelaku terbesar berasal dari aparat kepolisian dan TNI.
Kita juga belum lupa peristiwa tragis sebelumnya: Bagaimana Fuad Muhammad Syafruddin – Udin – wartawan Bernas Yogyakarta, dipukuli hingga tewas setelah menulis soal korupsi di pemerintah daerah. Kita mengenang Ahmad Taufik, jurnalis Tempo, yang dipenjara karena menulis kritik terhadap penguasa Orde Baru. Pada 2003, Ersa Siregar, jurnalis RCTI, diculik dan dibunuh saat meliput konflik di Aceh – sebuah tragedi yang mencoreng nurani bangsa.
Bahkan setelah era reformasi, bayangan represi belum benar-benar hilang. Bambang Harymurti, pemimpin redaksi Tempo, sempat dijatuhi hukuman penjara karena memberitakan keterlibatan seorang tokoh kuat dalam kebakaran pasar Tanah Abang – putusan itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung, tapi aroma intimidasi tak pernah benar-benar sirna.
Dan kini, di tengah suasana protes mahasiswa yang memanas, jurnalis Kompas mendapat ancaman pembunuhan karena menulis soal kekerasan aparat. Di saat itulah kepala babi mendarat di Tempo – menandai bahwa intimidasi terhadap jurnalis kini kembali menjadi senjata politik.
Ini bukan insiden terpisah. Ini adalah pola. Sebuah pola kekerasan yang sistematis terhadap suara-suara yang mengganggu tatanan status quo. Dan ketika negara hanya diam – tidak segera menindak, tidak melindungi – maka ada yang salah dengan wajah kekuasaan hari ini.
Kecaman dari Komite Keselamatan Jurnalis, Dewan Pers, AJI, dan LBH Pers memang penting. Mereka bicara lantang, karena memang itu mandat moral mereka. Tapi mari kita jujur – suara-suara itu, betapapun nyaringnya, bukan pengambil keputusan.
Yang kita tunggu adalah suara dari mereka yang memegang tongkat kuasa: Presiden. Kapolri. Para pemimpin lembaga negara. Namun sampai hari ini, sikap mereka lebih banyak hadir dalam bentuk pernyataan normatif, bukan tindakan konkret. Dan dalam dunia nyata, diamnya negara bukanlah bentuk netralitas. Itu adalah keberpihakan terselubung kepada para pelaku intimidasi.
Jika negara hanya menonton, jika hukum hanya berdiri sebagai penonton pasif, maka negara sedang menyuburkan ketakutan. Membiarkan kekerasan tumbuh liar, menjalar dari satu ruang redaksi ke ruang berikutnya.
Dan jika kekuasaan lebih takut pada suara jurnalis daripada keberanian menegakkan hukum, maka kita patut bertanya: demokrasi macam apa yang sedang kita pertahankan?
Publik tak butuh lagi basa-basi. Kita butuh kejelasan. Tindakan. Hukum ditegakkan. Pelaku dicari, dihukum. Karena demokrasi tidak hidup dari janji – ia tumbuh dari keberanian menindak pelanggaran. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)