Dari Al-Zaytun, Revolusi Pendidikan Dimulai dengan Mencatat

0
44
Syaykh Panji Gumilang dan Prof. Sutrisna Wibawa
Syaykh Panji Gumilang dan Prof. Sutrisna Wibawa terlihat sedang mencatat di Pelatihan Pelaku Didik di Al-Zaytun, 1 Juni 2025
Lama Membaca: 3 menit

Di tengah maraknya pelatihan yang sekadar formalitas dan bersifat satu arah, Pelatihan Pelaku Didik di Kampus Al-Zaytun menawarkan pendekatan yang berbeda. Bukan hanya menyimak, peserta dituntut untuk mencatat. Bukan hanya hadir fisik, mereka diajak hadir dengan pikiran dan pena. Inilah pelatihan yang bukan sekadar “ikut” tapi benar-benar “melakoni”. Sebagaimana ditegaskan Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang, setiap sesi harus ditutup dengan satu hal yang sederhana namun mendalam: menulis.

Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)

“Tiap duduk, habis duduk, nulis. Tulisan saya jelek? Lebih jelek kalau tidak menulis,” tegas Syaykh Panji Gumilang dalam pidato pembukanya yang memantik semangat dan kesadaran intelektual para peserta.

Bagi Syaykh Panji Gumilang, aktivitas mencatat adalah bagian dari peradaban. Ia bukan sekadar dokumentasi, tetapi alat berpikir, alat merefleksi, dan jalan menuju kesimpulan. Dalam pidatonya, Syaykh menyampaikan bahwa setiap peserta pelatihan wajib membuat catatan tertulis dengan tangan, bukan lewat SMS atau gawai. Ia mengutip ayat Al-Qur’an: “Wal qalam wa maa yasthurun” (Demi pena dan apa yang dituliskan), sebagai dasar spiritual dari kebiasaan mencatat.

Setiap sesi harus menghasilkan catatan. Setiap catatan pekanan akan dikumpulkan dan dibukukan. Dan bukan berhenti di situ, catatan semesteran akan diolah, didalami, dan disimpulkan menjadi simpul-simpul pemikiran. Semua ini, kata Syaykh, kelak akan menjadi buku. Dengan demikian, pelatihan ini adalah juga upaya literasi dan produksi pengetahuan kolektif.

Tak kalah penting, Syaykh menginstruksikan bahwa catatan peserta harus disertai dengan foto terkini. Bukan sebagai hiasan, tetapi sebagai bukti keikutsertaan dan kejujuran. “Jangan foto yang dulu, foto yang sekarang,” tegasnya. Ia ingin memastikan bahwa tidak ada yang mengaku ikut pelatihan tanpa hadir sungguh-sungguh, baik secara fisik maupun intelektual.

Menariknya, semangat mencatat ini tidak hanya berlaku bagi peserta muda. Dalam pelatihan tersebut, terlihat pula para tokoh, pejabat pendidikan, akademisi, hingga Syaykh Panji Gumilang dan Umi Farida Al-Widad sendiri menulis di atas kertas dengan tekun. Barisan depan yang biasanya hanya simbolik, kali ini benar-benar ikut berpikir dan menulis.

Dalam suasana ini, pelatihan menjadi ruang kontemplasi, bukan hanya transmisi. Ia menjadi proses aktif, bukan pasif. Semua dituntut untuk menjadi subjek pembelajaran, bukan sekadar objek pendengar. Bahkan, peserta yang belum resmi menjadi santri Al-Zaytun pun diminta menulis: tentang apa yang mereka dapat, tentang niat mereka untuk masuk, bahkan jika masih enam tahun lagi.

Tujuan dari semua ini bukan sekadar administrasi atau laporan. Melainkan membentuk manusia pembelajar (pelaku didik) yang sadar, disiplin, dan mampu menangkap esensi dari setiap peristiwa dan gagasan. Ini adalah bentuk lain dari evaluasi, yang tidak menekan, tapi mendorong.

Syaykh menyebutkan pula bahwa nantinya akan ada pertanyaan dari panitia di akhir semester. Bukan ujian dalam arti konvensional, tapi pertanyaan reflektif yang memancing ingatan dan pemikiran. Bahkan, dalam gurauannya, ia menyebut ada peserta yang saking semangatnya sudah menyiapkan jawaban sebelum pertanyaannya keluar.

Advertisement

Pelatihan Pelaku Didik di Al-Zaytun memang bukan pelatihan biasa. Ia adalah bagian dari gerakan kebudayaan, gerakan intelektual, dan gerakan membangun etos pendidikan baru. Mencatat bukan tugas tambahan. Ia adalah inti dari proses belajar itu sendiri. Karena dalam tulisan, kata Syaykh, tersimpan peradaban.

Dengan mencatat, peserta bukan hanya mengingat. Mereka mengolah, mereka memilih mana yang bermakna. Dan di sanalah pendidikan bermula.

Lebih jauh, pelatihan ini merupakan bagian dari langkah besar menuju Novum Gradum, gagasan transformasi sistem pendidikan ala Al-Zaytun yang menggabungkan deduksi, induksi, dan dokumentasi. Dalam kerangka ini, kebiasaan mencatat bukan hanya instrumen teknis, tapi bagian integral dari cara berpikir ilmiah yang ingin dibangun.

Sistem ini tidak berdiri sendiri. Ia dijalankan secara berkelanjutan, menyentuh seluruh unsur ekosistem pendidikan. Tidak hanya guru, tetapi juga tenaga administrasi, kebersihan, keamanan, dan bahkan para santri serta wali santri. Dalam konteks pelatihan, semua stakeholder termasuk wali santri secara sukarela ikut berpatungan untuk menyiapkan kebutuhan konsumsi dan logistik peserta, menunjukkan bahwa semangat pendidikan ini bersifat kolektif dan inklusif.

Catatan yang dikumpulkan pun nantinya dirancang menjadi bahan evaluasi, publikasi, dan simpul-simpul pembelajaran. Bukan sekadar dokumentasi pasif, tetapi bahan untuk merumuskan strategi pendidikan jangka panjang. Sehingga pelatihan ini tidak berhenti pada kegiatan insidental, tetapi menyusun pijakan baru bagi pendidikan abad ke-21.

Dengan demikian, kebiasaan mencatat dalam Pelatihan Pelaku Didik bukan sekadar metode. Ia adalah simbol dari keseriusan, dari gerakan menuju revolusi pendidikan yang dirancang dan digerakkan dari Kampus Al-Zaytun. (Atur/TokohIndonesia.com)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments