Perlukah Intelijen dalam Demokrasi?

Budi Gunawan Budi Gunawan Jejak Polisi Pembaharu Paradigma Think Win/Win: Budi Gunawan Berkhidmat Pusaran Aliran Air
 
0
51
Budi Gunawan Kepala BIN
Budi Gunawan saat memimpin BIN

Catatan Ch, Robin Simanullang | Apakah demokrasi dalam suatu negara memerlukan Intelijen? Atau, apakah negara demokrasi memerlukan Intelijen? Atau, apakah pemimpin sah negara demokrasi memerlukan Intelijen? Jawaban yang kita temukan: Demokrasi atau negara demokrasi (demokratis) dan (melalui) Pimpinan Negara (Presiden dan Kepala Negara) demokrasi yang sah selaku pengguna Intelijen, sangat membutuhan Intelijen. Dalam setiap negara (demokrasi), kemampuan untuk ‘melihat hingga ke balik tabir’ selalu menjadi hal yang sangat perlu dan penting.

Dengan intelijen yang baik (cerdas dan velox et exactus, serta mematuhi kerangka hukum dan konstitusi yang relevan) suatu negara (pemimpin negara) akan dapat bertindak secara lebih tepat dan terang benderang melintasi setiap rintangan dan ancaman dengan solusi yang terbaik. Kecuali Intelijen tidak berkemampuan profesional menyampaikan intelijen yang actionable dan konstitusional; dan/atau sang pemimpin yang berkuasa merasa tidak membutuhkannya, atau bahkan mengambil keputusan yang dipertanyakan secara konstitusional dan etika-moral (nilai-nilai dasar) suatu bangsa dan negara.

Ladislas Farago mengatakan, mengingat pentingnya peran spesialis sipil – bahkan warga negara yang berpengetahuan – dalam pekerjaan intelijen, maka kegiatan ini terbuka dan menjadi perhatian langsung bagi semua orang di semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mendesekretisasi dinas rahasia dan memperkenalkannya kepada masyarakat, seperti halnya kapal perang dibuka untuk inspeksi publik pada Hari Angkatan Laut. Dalam negara demokrasi dimana dinas rahasia berakar pada masyarakat di suatu negara, kerusakan terjadi akibat upaya untuk mengisolasi dinas tersebut, menyembunyikannya dalam misteri yang tidak dapat ditembus, dan dengan demikian memisahkannya dari orang-orang yang menjadi sandarannya dalam keadaan darurat. Di negara seperti Amerika Serikat — tentu juga Indonesia — terdapat tanggung jawab ganda yang menyatu dalam bidang intelijen. Mereka yang terlibat di dalamnya harus membuat masyarakat mengetahui tujuan, kepentingan, dan kebutuhan dinas rahasia, dan sebaliknya masyarakat harus menaruh perhatian pada pekerjaan dinas intelijen mereka, agar siap membantu ketika dibutuhkan.[1]

Seperti ketika Budi Gunawan memimpin BIN melakukan ‘keterbukaan’ dengan masyarakat dengan baik dalam kesadaran bahwa ‘tidak ada gunung es yang seluruhnya berada di atas air’. Baik melalui layanan dan interaksi sosial maupun melalui rilis hal-hal penting, diskusi dan kuliah umum di beberapa kampus dan event seperti kegiatan seni dan olahraga, yang mengakrabkan BIN di tengah masyarakat.

Seperti J. Edgar Hoover yang mempunyai kemampuan untuk mendirikan Biro Investigasi Federal di AS agar tetap berada dalam imajinasi populer. Hubungan erat antara masyarakat luas dan FBI telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi keduanya.[2]

Juga berbagai aktivitas kebijaksanaan pemerintah yang dipublikasi dalam perspektif intelijen (BIN) serta publikasi kegiatan tertentu yang dilakukan BIN sendiri. Seperti halnya kebijaksanaan pemerintah Inggris untuk mempublikasikan dan mempopulerkan kegiatan intelijen tertentu. Kebijakan ini berkembang dari kesadaran bahwa pemerintah membutuhkan kerja sama yang erat dari masyarakat untuk melakukan pekerjaan intelijen secara menyeluruh dan sukses. Suatu masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan, metode, dan kebutuhan badan intelijen tidak dapat diharapkan untuk memberikan dukungan yang diperlukan.[3]

Upaya yang sungguh-sungguh untuk mengenalkan masyarakat luas tentang kerja intelijen yang mendalam ini meluas ke semua cabangnya, baik secara ilmiah maupun yang bersifat politis, positif maupun negatif. Pihak berwenang Inggris tidak hanya mendorong agen-agen rahasia terkemuka untuk menerbitkan eksploitasi mereka untuk konsumsi umum, mereka tidak hanya bekerja sama dengan para penulis yang menyiapkan karya-karya tentang intelijen, mereka juga mempromosikan buku-buku semacam itu, termasuk fiksi mata-mata. Contoh yang menonjol adalah mendiang Alfred Duff Cooper (Lord Norwich), yang pernah menduduki posisi tinggi di dinas rahasia Inggris. Ia menceritakan karirnya dalam sebuah buku memoar yang brilian, kemudian mengembangkan materinya menjadi sebuah novel.[4] Seperti halnya kolom ini, sebagai bagian dari literasi yang mendekatkan intelijen dalam imajinasi populer masyarakat pembaca.

Efisiensi suatu badan intelijen bergantung pada beberapa hal: sikap pemerintah terhadap kegiatan tersebut dan posisi badan intelijen tersebut dalam tabel organisasi pemerintah, apa yang disebut dengan doktrin intelijen dalam organisasi tersebut, metode yang digunakan, dan alat yang digunakan. Namun pada analisa akhir, efisiensinya bergantung pada orang yang terlibat dalam layanan tersebut. Dinas rahasia adalah organisasi manusia; itu mewakili bentuk aktivitas intelektual yang tinggi. Di masa lalu, masyarakat cenderung menyerahkan solusi permasalahan nasional kepada tentara, suatu kecenderungan yang mendorong Georges Clemenceau untuk memperingatkan bahwa perang adalah masalah yang terlalu serius untuk dipercayakan kepada para jenderal. Dan, mungkin, perdamaian terlalu berharga untuk dipercayakan kepada para diplomat dan politisi saja.[5]

Bersambung : Paradoks Intelijen dan Demokrasi

 

Advertisement

Footnotes:

[1] Farago, Ladislas, 1972. Spymaster (Original Title: War of Wits), p.113.

[2] Farago, Ladislas, 1972. Spymaster (Original Title: War of Wits), p.113.

[3] Farago, Ladislas, 1972. Spymaster (Original Title: War of Wits), p.114.

[4] Farago, Ladislas, 1972. Spymaster (Original Title: War of Wits), p.114.

[5] Farago, Ladislas, 1972. Spymaster (Original Title: War of Wits), p.115.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini