Arsitek Ekonomi Orba yang Masih Cemerlang
Widjojo Nitisastro
[ENSIKLOPEDI] Orde Baru boleh tumbang. Tapi nama Profesor Widjojo Nitisastro – arsitek ekonomi Orde Baru –tetap cemerlang. Sempat sejenak tenggelam pada masa pemerintahan transisi Habibie, tapi bangkit lagi pada era Gus Dur dan Megawati. Ia masih saja diminta untuk ikut menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Ketika Gus Dur menjabat Presiden, Widjojo diminta untuk ‘memimpin’ Tim Ekonomi Indonesia pada pertemuan Paris Club pertengahan April 2000. Misi tim ini adalah membicarakan penjadualan kembali pembayaran utang RI, untuk priode April 2000 hingga Maret 2002 senilai 5,9 milyar AS. Permintaan tim ini disetujui kelompok donor yang beranggotakan 19 negara itu.
Ekonom Mohammad Sadli Profesor memuji peranan Widjojo Nitisastro dalam keberhasilan tim itu. Menurut Sadlli, 95 persen kerja delegasi Indonesia adalah arahan Widjojo.
Widjojo dan Sadli sering berdiskusi. Ia mengaku pernah berdiskusi dengan Prof Sadli tentang kunci keberhasilan mengurangi utang negara-negara berkembang. Saat masih menjadi Menko Ekuin, Widjojo mendapatkan tugas memperjuangkan pengurangan utang negara-negara Selatan. Prof Sadli membantunya melakukan lobi tingkat tinggi untuk mengegolkan upaya itu. Hasilnya, negara-negara maju dan juga Bank Dunia serta IMF akhirnya menyetujui untuk mengurangi beban utang negara-negara berkembang.
Widjojo mengaku tanya apa kuncinya. Sadli ternyata memberikan gambaran seperti halnya pertandingan Piala Dunia saat Senegal mengalahkan Perancis. “Senegal bisa mengalahkan Perancis, karena hampir semua pemainnya bermain di Liga Perancis. Itu artinya, if you want to beat them, join them,” ” jelas Widjojo, saat diminta memberi sambutan pada peringatan ulang tahun ke-80 Prof M Sadli di Bentara Budaya Jakarta, Senin (10/6/02) siang.
Nama Widjojo, yang tadinya dikira sudah akan tenggelam seiring tumbangnya Orde Baru, tiba-tiba melambung kembali, terutama setelah menjadi Ketua Tim Asistensi Ekonomi Pemerintahan Gus Dur. Tampilnya ia sebagai Ketua Tim Asistensi ini memang agak mengejutkan. Padahal sebelumnya, Widjojo — bersama Prof. Ali Wardhana — pernah menolak untuk menjadi anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). “Kami menyampaikan terima kasih atas kepercayaan tersebut. Tetapi, kami berdua ini sudah tua, Pak Ali Wardhana sudah 71 tahun, saya sudah 72 tahun. Kami akan membantu, tetapi tidak sebagai anggota,” kata Widjojo waktu itu, sebagaimana dikutip Kompas, 3 Nopember 1999 lalu.
Sebelumnya, pada 1997, ketika krisis moneter mulai menggerogoti Indonesia, Presiden Soeharto pernah pula menugaskan Widjojo untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan krisis moneter yang melanda Indonesia sejak beberapa bulan belakangan. Sejumlah keputusan yang berkaitan dengan perkembangan moneter akhir-akhir ini akan dikordinasikan Prof. Widjojo Nitisastro,” kata Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad ketika menjelaskan hasil sidang kabinet bersama Menpen Hartono dan Gubernur BI Soedradjat Jiwandono di Bina Graha, ketika itu (9 Oktober 1997).
Widjojo memang sangat andal dalam bidang eknonomi. Sejak awal orde baru ia telah dipercaya sebagai orang yang turut memikirkan dan bertanggungjawab terhadap perekonomian Indonesia. Tak heran kalau ada yang menyebut dirinya sebagai “arsitek utama” perekonomian orde baru. Majalah Newsweek menyebut Widjojo sebagai orang “yang tak diragukan lagi punya dampak individual terbesar dalam perekonomian Indonesia.”
Pada usianya yang relatif sangat muda, 39 tahun, ia telah dipercaya sebagai ketua tim penasehat ekonomi presiden (1966). Kemudian, beberapa kali ia duduk sebagai menteri kabinet pada posisi yang sesuai dengan bidang tugasnya, yakni ekonomi. Dari tahun 1971 sampai 1973 ia menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Kemudian secara berturut-turut, dari tahun 1973 sampai 1983, ia dipercayakan sebagai Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas.
Menurut beberapa kalangan, mantan Presiden Soeharto sangat percaya pada Widjojo. Loyalitas Widjojo agaknya adalah jawaban mengapa Presiden selalu memanggilnya pada saat kritis. Dan loyalitas itu pula yang tampaknya yang membuat Widjojo dicintai anak buahnya. Mereka masih tetap memberi laporan kepadanya, meskipun ia tidak lagi menjadi menteri.
Meskipun begitu, ia juga pernah dikecam. Tahun 1970, sebuah majalah kaum “Kiri Baru” Amerika, menyebutnya sebagai tokoh gerombolan “Mafia Berkeley”. Maksudnya, ia disebut sebagai antek Amerika karena dididik di kampus Berkeley AS. Setahun kemudian, kecaman itupun sempat “dicuatkan” kembali (beberapa) koran di Indonesia. Di situ digambarkan bahwa Widjojo telah menyusun suatu strategi pembangunan yang kurang lebih telah menyerahkan kedaulatan ekonomi Indonesia ke tangan Barat. Tetapi Widjojo tidak terlalu ambil pusing terhadap cemoohan itu.
Ekonom terkemuka Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang juga seniornya, mempunyai kesan mendalam tentang Widjojo. Hal itu diungkapkan setelah Soemitro dan Widjojo menerima penghargaan Piagam Hatta dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tahun 1985 silam. ”Sebagai kakak, saya merasa bangga mempunyai adik yang tampil sebagai arsitek orde baru, di mana saya ikut sebagai satria pendamping dan peserta team,” kata Sumitro, yang sepuluh tahun lebih tua dari Widjojo, seperti dikutip TEMPO edisi 2 Februari 1985. Pemberian penghargaan kepada Widjojo itu karena ia dinilai telah membuktikan dirinya, sebagai perencana yang tangguh, sekaligus pelaksana rencana yang konsisten.
Jauh sebelumnya ketika masih menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), bersama seorang ahli dari Canada Prof. Dr. Nathan Keyfiz, Widjojo dengan gemilang menulis sebuah buku, yang menjadi salah satu buku yang amat populer di kalangan mahasiswa ekonomi pada tahun 1950-an. Buku itu berjudul “Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia”. Tak tanggung-tanggung, Mohammad Hatta (alm.) dengan bangga memberi kata pengantarnya. Di situ Hatta menulis: ”Seorang putra Indonesia dengan pengetahuannya mengenai masalah tanah airnya, telah dapat bekerja sama dengan ahli statistik bangsa Canada. Mengolah buah pemikirannya yang cukup padat dan menuangkannya dalam buku yang berbobot.”
Widjojo berasal dari keluarga pensiunan penilik sekolah dasar. Ayahnya, seorang aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra), yang menggerakkan Rukun Tani. Beberapa saudaranya, menolak bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda dan menjadi guru Taman Siswa.
Tidak banyak informasi mengenai masa kecilnya. Yang jelas, ketika pecah Revolusi Kemerdekaan di Surabaya, ia baru duduk di kelas I SMT (tingkat SMA). Pada tahun 1945 Widjojo bergabung dengan pasukan pelajar yang kemudian dikenal sebagai TRIP. Seorang teman dekatnya, Pansa Tampubolon — pendeta Advent yang kini bekerja di sebuah grup penerbitan — bercerita tentang kegigihan Widjojo. Katanya, ”Widjojo anak pemberani. Bertempur dengan granat di tangan, ia nyaris gugur di daerah Ngaglik dan Gunung Sari Surabaya.”
Usai perang, Widjojo sempat mengajar di SMP selama tiga tahun. Kemudian ia kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia dan mengkhususkan diri pada bidang demografi. Berkat kecerdasan dan kegigihannya, ia lulus dari FE UI dengan predikat cum laude. Kemudian saat mengambil gelar doktor ekonomi di Universitas Berkeley, California, AS, 1961, Widjojo muncul sebagai sarjana paling menonjol. Dan sejak itu kariernya melesat.
Pada awal tahun 1980-an, namanya sempat pula mencuat sebagai bakal calon wakil presiden periode 1983-1988. Ia dicalonkan Forum Studi dan Komunikasi (Fosko), suatu organisasi beranggotakan bekas aktivis angkatan 66. Tapi hal itu serta merta dibantah Widjojo. “Saya merasa tidak memiliki kemampuan untuk jabatan wakil presiden,” kata peraih Penghargaan Kependudukan 1992 ini, suatu kali (TEMPO, 5 Februari 1983).
Tahun 1984, Widjojo menerima penghargaan dari Universitas Berkeley, California, AS, yakni Elise Walter Haas Award. Perhargaan tradisi tahunan universitas tersebut diberikan kepada bekas mahasiswa asing yang jasa-jasanya dianggap menonjol. Dan Widjojo merupakan orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan ini.
Widjojo memang seorang pekerja keras. “Biasa membawa pekerjaan ke rumah, dan tidak jarang menyelesaikannya sampai malam,” kata Sulendra, sekretaris pribadinya sejak tahun 1971 suatu kali. Dan prestasi-prestasinya merupakan buah ketekunan dan kerja keras itu.
Bahkan, konsep Widjojo – yang kerap disebut pers sebagai Widjojonomics – terbukti telah menumbuhkan ekonomi Indonesia dengan pesat. Yang paling menonjol dalam konsep itu adalah prinsip kehati-hatian yang “sangat” (prudent). Dan konsep itu sempat pula mendapat “tandingan” dari grup Habibie – yang oleh pers disebut sebagai Habibienomics.
Munculnya grup Habibie ini telah mengakibatkan terjadinya pergeseran konsep ekonomi. Konsep itu, tidak sejalan dengan konsep Widjojo, sehingga perkembangan ekonomi Indonesia seperti terputus (tidak nyambung bahkan nyaris bertolak belakang). Pergeseran yang tidak serasi ini bermuara pada terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang ditandai tumbangnya orde baru.
Maka ketika Habibie menjabat Presiden, nama Widjojo sempat tenggelam. Namun setelah, pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR dan Gus Dur terpilih menggantikannya, nama Widjojo bangkit kembali. Tokoh Indonesia dari Tempo Interaktif dan berbagai sumber