Kepala Staf TNI AL ke-21
Tedjo
[ENSIKLOPEDI] Kepala Staf TNI Angkatan Laut ke-21 periode 2008-2009. Pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 20 September 1952, ini digantikan Laksamana Madya TNI Agus Suhartono pada 12 November 2009. Sebelumnya, Tedjo menggantikan Laksamana TNI AL Sumardjono yang menjabat Kasal 2007-2008.
Tedjo mengawali pendidikan militernya di Akademi Angkatan Laut (AAL) angkatan 21 tahun 1975. Kemudian, dia mengikuti pendidikan militer lainnya antara lain, Kursus Perwira Remaja (1976), Conversion Nomad (1978), Dik Penerbang ABRI (1978), Alih Pesud N-22 (1979), Sustar P-4 (1980), Captainci N-22 (1982), Alih Pesud C-47 (1983), Sus Flight Inst. (1984), Inst. FLT N-22 (1984), Alih Pesud C-212 (1984), Conversion C-47 (1984), Sus Prostis (1985), Diklapa-II (1986), Alih Pesud F-33-A (1987), Seskoal Angkatan 29 (1991-1992, Sesko ABRI Angkatan 25 (1998, dan KRA-34 Lemhanas (2001).
Karir militernya, diawali di Satuan Udara selama 14 tahun. Lalu, tahun 1982 bertugas di KRI, antara lain, sebagai Palaksa KRI Teluk Penyu (513), Satuan Amfibi Armatim, Komandan KRI Teluk Lampung (540) Satlinlamil Surabaya, Komandan KRI Teluk Semangka (512) Satfib Armatim, dan Komandan KRI Multatuli (561) Satfib Armatim.
Setelah itu bertugas sebagai Paban VI Binkuat Sopsal Kasal Mabesal, Komandan Satfib Armatim, Asrena Mako Armatim, Kapok Sahli A Kasal Bidang Wilnas, Komandan Guskamla Armabar, Kepala Staf Koarmatim, Wakil Komandan Seskoal, Sahli Tingkat III bidang HUbintek Mabes TNI, Staf Ahli Manajemen Nasional Lemhanas, Panglima Komando Armada RI Wilayah Barat (Koarmabar), Asisten Perencanaan Kasal, Dirjen Perencanaan Pertahanan Dephan, Komandan Sesko TNI.
Kemudian menjabat Kepala Staf Umum TNI, sampai akhirnya diangkat menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Laut, dilantik pada tanggal 1 Juli 2008 oleh Presiden RI, menggantikan Laksamana TNI Sumardjono yang memasuki masa pensiun. Lalu, pada pada tanggal 13 November 2009, Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno menyerahterimakan jabatan Kepala Staf TNI Angkatan Laut kepada Laksamana Madya Agus Suhartono.
***
Menjawab Tantangan di Samudera
Di bawah komandonya, Armada RI Kawasan Barat menuju visi TNI Angkatan Laut masa depan yang besar, kuat dan profesional. Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat (Armabar) yang satu ini seperti layaknya penampilan perwira militer yang lain: serius. Dengan lugas dan gamblang, ia menguraikan berbagai hal mengenai visi dan misi TNI Angkatan Laut (AL), khususnya Armabar.
Tetapi kesan serius itu luntur perlahan-lahan ketika pembicaraan mulai menghangat. Ternyata, Laksamana Muda TNI Tedjo Edhy Purdijatno, sang panglima komando, adalah orang yang penuh humor. Maka, obrolan Berita Indonesia dengannya pun menjadi lebih santai. Meski demikian, kesan sungguh-sungguh tetap terpancar dari wajahnya ketika ia menjelaskan berbagai persoalan yang dihadapi TNI AL, khususnya Armabar, dalam mengamankan perairan wilayah barat.
Beberapa pihak mengkritik ketidakmampuan TNI AL mengamankan perairan Indonesia yang dinilai memiliki tingkat kriminalitas tertinggi di dunia, khususnya Selat Malaka. Bahkan, kritik juga datang dari Biro Maritim Internasional (IMB).
Menurut perwira kelahiran Magelang 20 September 1952 ini, pernyataan IMB bahwa perairan Indonesia bagian barat itu sangat rawan tidak semuanya benar. Karena data yang dimiliki Armabar agak berbeda. Hasil operasi AL yang ada di sana cukup signifikan. Beberapa perompak berhasil ditangkap. Hal itu sudah disampaikan kepada IMB supaya balance. Apalagi mereka selalu mengatakan banyak terjadi perompakan.
Sebagai perwira yang kenyang pengalaman, Tedjo Edhy menganggap kritik adalah tantangan yang mesti dijawab dengan bekerja lebih baik lagi. Armabar dengan sekuat tenaga akan menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah perairannya.
Tedjo Edhy berharap armada TNI AL akan lebih diperkuat dan diperbesar, dengan jumlah kapal dan peralatan yang lebih banyak dan lebih moderen. Tidak dipungkiri bahwa jumlah armada Malaysia yang lebih besar dan moderen membuat mereka menyepelekan Indonesia. Tetapi terlalu naif jika keterbatasan armada menjadi penghalang bagi kinerja prajurit AL mengamankan wilayah NKRI. Karena itu, Armabar dengan seksama menempatkan personelnya di semua perbatasan wilayah perairan Indonesia.
Jumlah kapal yang dimiliki Armabar saat ini hanya 39. Sementara seluruh armada TNI AL ada 114 kapal. Idealnya, TNI AL memiliki 250-300 kapal. Sedangkan kebutuhan minimal Armabar sekitar 100 kapal. Tedjo Edhy mengaku tidak berniat menutup-nutupi hal ini. Kebutuhan kapal sangat penting bagi tugas TNI AL. Menurutnya, di tahun 1960-an, Armada TNI AL pernah menjadi armada terkuat di Asia.
“Bayangkan, jika Anda punya rumah dengan Satpam dan anjing herder,” katanya kepada kami. “Orang akan berpikir dua kali untuk menerobos masuk.” Menurutnya, dalam kasus Ambalat, jika RI punya AL yang kuat, Malaysia akan berpikir dua kali untuk menyerobot wilayah RI.
Minimal, menurutnya, TNI AL punya perimbangan kekuatan dengan negara tetangga. Karena itu, Tedjo Edhy menyambut baik rencana KSAL yang tengah mengupayakan penambahan jumlah kapal secara bertahap. TNI AL akan mencapai level Green Water Navy. Blueprint-nya direncanakan sampai 2024. Meski tidak bisa langsung menyamai Amerika Serikat atau Jepang yang levelnya sudah Blue Water Navy, tetapi level Green Water Navy itu akan segera direalisasikan.
Sikap demokratis
Kemudian, ia menanyakan pendapat kami soal militer yang kerap dianggap otoriter, ia pun meluruskan anggapan itu. Menurutnya, militer justru sebuah institusi yang paling demokratis. Dalam setiap pengambilan keputusan, seorang komandan akan memaparkan dulu pendapatnya dan menanyakan pendapat anak buahnya setelah itu. Jika disetujui, maka rencana itu dijalankan. Jika tidak, akan dicari yang terbaik.
Selama ini militer memang selalu dianggap eksklusif. Tetapi ia berharap, masyarakat tidak langsung under estimate. Jika tentara itu bersikap tegas, disiplin dan satu komando, itu memang harus. Karena tentara bertugas menjaga negara, baik kedaulatan bangsa maupun wilayahnya. Bagaimana mungkin sebuah institusi yang amburadul bisa menjaga negara dengan baik.
Tentang hal itu, ia punya kisah saat mengikuti sebuah kursus reguler di Lemhanas. Orang-orang sipil yang semula menganggap tentara itu kaku dan otoriter, setelah sekian bulan bersama-sama ikut kursus dengan tentara, akhirnya mengerti bahwa tentara justru sangat demokratis. “Mereka bilang, oh ternyata begitu ya,” katanya sambil tertawa kecil.
Suatu kali, dalam kursus itu ada sebuah permainan. Seluruh peserta dengan mata tertutup disuruh membentuk sebuah segi tiga sama sisi. Peserta sipil ribut saling memberi perintah, sehingga segitiga itu tidak pernah terbentuk. Disitu terlihat perbedaan sipil dan militer. Orang-orang sipil tidak mengenal apa yang disebut satu komando. Mereka semuanya ingin jadi pemimpin.
Tetapi bukan berarti Tedjo Edhy menganggap militer lebih baik daripada sipil. Buktinya, ia membantah anggapan bahwa kepala daerah yang berlatar belakang militer lebih baik dari kepala daerah yang berlatar belakang sipil. Menurutnya, baik sipil maupun militer sama baiknya. Masing-masing memiliki kebaikan dan kelemahan.
Sebagai ayah dari empat orang anak (tiga puteri dan satu putera), Tedjo Edhy sangat concern terhadap generasi muda. Ia menerima dengan tangan terbuka kunjungan para mahasiswa ke Markas Komando Armabar. Hanya ada satu yang disayangkannya. Menurutnya, generasi muda sekarang nyaris tidak lagi menghormati pemimpin bangsanya. Contohnya, mereka menyebut nama pemimpin langsung namanya. SBY, bukannya Bapak Presiden, Bapak SBY atau Bapak Bambang Yudhoyono. JK, bukan Bapak Wapres atau Bapak Jusuf Kalla.
Besar, kuat dan profesional
Menjadi bagian dari TNI AL merupakan kebanggaan tersendiri baginya. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sumber daya lautnya sangat besar dan terbarukan, tidak akan pernah habis. Ikan-ikan berlimpah tanpa perlu susah payah memelihara. Mereka bertelur di kawasan utara seperti Eropa dan Rusia, begitu akan besar, mereka berimigrasi ke arah selatan. Indonesia diuntungkan dan tinggal mengambil hasilnya saja. Tetapi, jika kita tidak bisa menjaganya, kekayaan laut akan dicuri oleh nelayan-nelayan asing.
Awalnya konsep TNI AL adalah kecil, efektif dan efisien. Namun kini konsep itu diubah menjadi besar, kuat dan profesional. Tedjo Edhy yang pernah menjabat sebagai Staf Ahli Manajemen Nasional di Lemhanas itu berharap visi AL yang besar, kuat dan profesional itu bisa melindungi seluruh wilayah NKRI. Jangan sampai sejengkal pun wilayah RI diambil oleh negara lain, termasuk wilayah lautnya. Untuk itu batas wilayah dengan negara tetangga yang belum ada batas lautnya harus segera ditetapkan.
Satu hal lagi yang paling penting, menurutnya, adalah kerja sama semua pihak terkait untuk mengamankan wilayah laut. Selama ini AL telah bekerja sama secara bilateral dengan negara-negara tetangga. Berbagai operasi bilateral selalu digelar di kawasan Selat Malaka. Demikian halnya kerja sama dengan berbagai institusi terkait seperti Bea Cukai dan Polri.
Kerjasama juga dijalin dalam menanggulangi ancaman terorisme. “Kita harus selalu waspada. Ingat nggak, waktu di DPR Kapolri bilang tidak ada terorisme, baru ngomong, langsung bleng ledakan di Kedubes Australia. Karena itu saya tidak mau ngomong masih ada atau tidaknya terorisme itu. Tetapi saya katakan bisa saja terjadi. Karena itu kita harus mewaspadai.”
Kerja sama yang baik diperlukan untuk menghadapi tantangan mengamankan wilayah NKRI. Karena itu, ia juga mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak lagi berpikir sektoral. Kita semua harus berpikir untuk kepentingan bangsa dan negara. e-ti | rh-sp