Konseptor Harga Dasar Gabah
Saleh Afiff
[ENSIKLOPEDI] Mantan Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) Saleh Afiff meninggal dunia dalam usia 75 tahun sekitar pukul 20.00 WIB, Senin 28 Juni 2005 setelah beberapa saat dirawat di RS Pusat Pertamina Jakarta. Konseptor harga dasar gabah kelahiran Cirebon, 31 Oktober 1930, itu dibawa ke RS Pertamina setelah mengalami gangguan pernapasan Minggu sore.
Jenazah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, itu disemayamkan di rumah duka di Jalan Patra Kuningan VII No 2, Jakarta Selatan dan dimakamkan di TMP Kalibata, Selasa 29 Juni 2005. Sekitar pukul 19.00 Senin 28/6, mantan Presiden Soeharto dan keluarga datang melayat.
Pada 1967, bersama Leon A Mears, Saleh Afiff mengusulkan rumusan kebijakan harga dasar gabah untuk merangsang peningkatan produksi dan kontrol harga gabah. Konsep itu diterapkan pemerintah pada 1976.
Saleh Afif juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara merangkap Wakil Ketua Bappenas, Kabinet Pembangunan IV. Kemudian dipercaya menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Kabinet Pembangunan V.
Dia dikenal sebagai sosok yang bersahaja. Dia memang dibesarkan dalam keluarga bersahaja. Ayahnya, Ali Afiff, seorang pedagang eceran buku-buku agama Islam di Cirebon. Dia anak keenam dari delapan bersaudara.
Semasa kecil, dia tidak pernah membayangkan kelak akan menjadi seorang petinggi negara, menjadi menteri. Dia hanya berusaha rajin belajar. Pendidikan dasar ditamatkannya di kota kelahirannya Cirebon tahun 1943. Di kota yang sama dia menyelesaikan pendidikan SMP tahun 1947. Kemudian melanjut ke SMA di Bandung, tamat tahun 1950.
Sejak kecil, dia memang gemar membaca. Selain membaca buku-buku agama dan ilmiah, dia juga gemar membaca Taipan dan Shogun. Selepas SMA dia pun diterima di FE-UI (1950). Sembilan tahun dia menyelesaikan gelar sarjana. Dia satu angkatan deng Emil Salim.
Awalnya dia masuk pada masalah pemsaran dan ekonomi pertanian adalah ketia menjadi asisten peneliti di Lembaga Ekonomi UI. Ia amendapat tugas dari Prof Dr Widjojo Nitisastro yang menjabat direktur lembaga itu. Dia pun memndapat kesempatan kuliah bidang pemasaran di Universitas California, Berkeley, AS dan berhasil meraih gelar Master of Business Administration (MBA), 1961.
Enam tahun kemudian, penggemar musik klasik ringan ciptaan Johann Strauss, ini juga meraih gelar doktor (PhD) bidang ekonomi pertanian dari Universitas Oregon, AS. tsl
***
Perginya Pembela Petani
Tajuk Kompas 30/6/2005: Salah satu topik yang hangat dibicarakan dalam pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia di Cancun, Meksiko, tahun lalu adalah isu pertanian.
Negara-negara maju selalu menuntut diterapkannya liberalisasi dalam perdagangan dunia. Namun, ketika masuk ke sektor pertanian, mereka pun sering ragu untuk melakukannya.
Itulah yang membuat orang seperti Rini MS Soewandi, ketika menjabat menteri perdagangan dan perindustrian, sering kali kesal. Perdagangan bebas yang didengung-dengungkan negara-negara maju itu hanya berlaku untuk sesuatu yang menguntungkan mereka saja.
Negeri seperti Selandia Baru, misalnya, ketika diminta untuk menghapus subsidi pertanian, justru yang pertama lari. Mereka berpendapat bahwa hal itu tidaklah mungkin dilakukan segera. Kalaupun harus melakukan penghapusan subsidi, mereka membutuhkan sosialisasi minimal 15 tahun untuk meyakinkan sekitar 20.000 petani negeri itu untuk bisa menerimanya.
Isu ini menjadi relevan untuk diangkat karena, hari Selasa, kita baru kehilangan seorang ahli ekonomi yang dikenal sangat konsisten membela para petani. Di kalangan para ekonom, Prof Dr Saleh Afiff dihargai karena ia selalu memerhatikan kesejahteraan petani.
Prof Afiff tidak memperjuangkan sikapnya itu dengan perlawanan frontal, apalagi dengan berteriak-teriak. Almarhum ikut di dalam tim perumus kebijakan ekonomi dan memperjuangkan pemikirannya dari dalam.
Sikap seperti itulah yang sekarang sangat dibutuhkan. Bukan hanya karena sudah terlalu banyak ingar-bingar yang sering kali hanya membingungkan masyarakat, tetapi persoalan besar yang dihadapi bangsa ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan bicara.
Pemikiran yang bernas seperti sering dilontarkan Prof Afiff sangat dibutuhkan, apalagi dalam upaya kita untuk merevitalisasi sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan. Tidak mungkin program itu bisa terealisasi, apalagi tidak dirumuskan dengan konsep yang matang dan dilaksanakan dengan konsekuen.
Kita tidak cukup lagi sekadar ikut globalisasi tanpa memberikan manfaat apa-apa bagi kehidupan bangsa dan negara. Kita harus bisa memanfaatkan dan bahkan memenangi globalisasi itu.
Kunci untuk melakukan itu tidak bisa lain kecuali dengan bekerja keras. Menemukan inovasi-inovasi yang memungkinkan kita bisa meningkatkan produktivitas.
Satu hal lagi yang juga sering diingatkan Prof Afiff adalah kepedulian, keberpihakan. Sebab, pada akhirnya semua kebijakan pembangunan itu harus mampu menyejahterakan seluruh rakyat, tidak ketinggalan memperbaiki kehidupan para petani.
Selama ini sering kali kita terjebak dalam slogan globalisasi. Karena tidak mau dicap ketinggalan zaman, kita menerapkan perdagangan bebas dengan sebebasbebasnya, tanpa memedulikan di mana kondisi bangsa sebenarnya berada. Akibatnya, kita hanya menjadi korban dan bahkan dibuat tidak berdaya.
TI