
[ENSIKLOPEDI] Keberaniannya mendobrak fanatisme kedaerahan lewat tarian kreasinya membuat namanya melegenda di dunia seni tari. Peraih penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma 2011 ini mampu memadukan seni tari Minang dengan pencak silat, alunan biola, bahkan mengawinkannya dengan unsur tari dari daerah lain. Menurut pemahat, pelukis dan sastrawan ini, kesenian merupakan manifestasi pribadi.
Huriah Adam lahir dari pasangan Syeh Adam Balai-Balai dan Fatimah di sebuah rumah sederhana, yang terletak di desa Balai- Balai, Padang Panjang pada 6 Oktober 1936. Namanya diambil dari bahasa Arab yang berarti “kemerdekaan”. Di kemudian hari makna tersebut memang benar-benar menjelma dalam dirinya dimana Huriah Adam dikenal sebagai seniman pencari kemerdekaan yang menjalani dan memperjuangkan kemandiriannya di tengah tatanan masyarakat Minangkabau yang masih ketat mengikat ruang gerak kaumnya.
Huriah dibesarkan dalam lingkungan keluarga agamis namun amat mencintai kesenian. Bakat seni yang mengalir dalam dirinya berasal dari sang ayah, Syech Adam, ulama pendiri Madrasah Irsyadin Naas (MIN) Padang Panjang yang mempunyai minat besar dan usaha yang nyata untuk mengembangkan kesenian di daerahnya. Kegiatan berkesenian bahkan kemudian menjadi ciri keluarga Adam.
Tiga dari empat saudara kandung Huriah Adam, yaitu Bustanil Arifin, Irsjad, dan Achyar, memilih mendalami dunia musik. Sementara Huriah secara khusus menekuni seni tari, di samping bidang seni lainnya seperti seni lukis dan pahat. Bagi Huriah, pengabdiannya di jalur seni tak terlepas dari peran ayahnya yang jeli menangkap bakat anak ke 4 dari 6 bersaudara ini. Meskipun seorang guru agama, tetapi ayah Huriah tidak pernah memaksakan keenam anaknya agar menekuni agama saja.
Syech Adam mengarahkan Huriah kecil pada bakatnya di dunia tari. Misalnya saja ketika Huriah akan tampil memamerkan kebolehannya menari di depan umum untuk yang pertama kalinya, sang ayah memberikan semangat pada Huriah yang ketika itu masih berusia empat tahun. Bisa dibilang, saat itu Huriah seakan mendobrak norma tabu yang masih dipegang erat masyarakat Minang demi mengembangkan dunia seni tari.
Ayah Huriah tak hanya memperkenalkan kesenian sejak dini pada anak-kandungnya melainkan juga pada siswa-siswinya di MIN. Sekolah Islam yang cukup terkenal terkenal di Padang Panjang itu dilengkapi dengan pentas dan alat-alat musik. Bahkan, selain menjadi guru agama, Syech Adam juga mengajar kesenian. Guru silat dan tari juga secara khusus didatangkan untuk menambah wawasan seni dan budaya para anak didiknya.
Di kampung halamannya, Huriah mulai mengasah bakat seninya melalui kegiatan tari sejak duduk di sekolah rakyat. Di samping sekolah formal, Huriah secara khusus belajar silat dan tari tradisi Minangkabau selama tiga tahun pada Datuk Tumanggung atau yang lebih populer dengan panggilan Pakiah Nandung yang waktu itu sudah berusia 85 tahun. Dari guru silat dan tari tradisional yang terkenal di Luhak Nan Tigo itu, Huriah mendapat semacam gelar diploma yang menyatakan bahwa ia telah mencapai nilai terbaik selama pengalaman mengajarnya. Diterangkannya, Huriah merupakan salah seorang penari yang telah mahir tari Sewah, Sijundai, Alang Bentan, Adau-adau dan Pado-Pado, di samping juga Tari Adok, Tari Padang, Tari Piring, Tari Sibadindin dan tari Gelombang.
Setelah tiga tahun berguru pada Pakiah Nandung, Huriah kemudian mengembangkan bakatnya di Gedung Kebudayaan Sumatra pimpinan Angku Muhammad Sjafei yang juga dikenal sebagai pendiri I.N.S. Kayutanam. Di lembaga itulah, Huriah mengenal kesenian lebih luas. Tak hanya dunia tari di bawah bimbingan Syofyan Naan, namun juga bidang seni lainnya yakni seni lukis di bawah asuhan Nurdin, seni musik khususnya biola pada Ramudin, serta Syahbuddin yang mengajarkan seni pahat. Di saat yang bersamaan, Huriah mulai banyak menggali kekayaan tari Minang yang gerakannya diadaptasi dari gerakan silat, baru kemudian dikembangkannya di Pusat Kebudayaan di Padang panjang sekitar tahun 1947 dan 1958.
Di sela-sela kurun waktu itu, tepatnya pada 1955, Huriah sempat hijrah ke Yogyakarta guna memperdalam ilmu seninya di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Namun sebelum sempat menamatkan studinya, Huriah kembali ke tanah kelahirannya kemudian menikah dengan guru biolanya, Ramudin, pada 1 Januari 1957. Tak seperti kuliahnya yang terhenti di tengah jalan, kegiatan berkesenian Huriah terus berlanjut setelah ia melepas masa lajang. Huriah bahkan masih setia menekuni dunia seni meski telah dikaruniai lima anak.
Baginya, pendidikan yang diterima dari bangku sekolah menjadi pelengkap pendidikan yang diterimanya di rumah tangga sehingga kemampuannya sebagai seniman dan koreografer tari pun kian matang. Terlebih setelah menikah, ia selalu mendapat dorongan semangat dari sang suami yang bertindak sebagai pengganti ayahandanya.
Sekitar awal tahun 1958, Huriah mendirikan grup tarinya yang pertama. Mereka kemudian mendapat undangan tampil di Bukittinggi. Beragam tarian pun mulai diciptakan dengan mengadaptasi gerak pokok tari dan pencak Minang asli yang kemudian diberi sentuhan baru seperti menambah iringan biola sebagai selingan rebab. Tak jarang, Huriah juga memadukan tarian Minang dengan unsur tari dari daerah lain, seperti tari Jawa, Bali, atau Palembang sehingga terciptalah tari nasional.
Menurut Huriah, tari tradisional Minang pada dasarnya ada dua ragam, yakni ragam pesisir lemah gemulai seperti tari Payung, tari Saputangan, dan tari Salendang, serta ragam tari darek yang lincah dan kuat, seperti tari Piring, tari Sewah, tari Alang Bentan, dan tari Ulu Ambek. Di Minangkabau, setiap kampung mempunyai tari dan lagu masing-masing. Misalnya tari Adau-Adau, tari Pado-Pado, tari Sewah, dan Tari Piring. Semuanya diselidikinya, dijadikan bahan studi kemudian diambil sebagai unsur-unsur pokok lalu diasimilasikan dengan daerah lain yang mungkin menambah variasi. Ssetelah itu diolah dalam laboratorium kesenian, menjadi suatu tari dengan tema cerita rakyat, umpama Malin Deman, Sabai Nan Aluih, dan Cindua Mato.
Berkat tarian hasil kreasinya, nama Huriah Adam mulai mencuat di percaturan dunia kesenian khususnya tari tradisional. Meskipun bersifat tradisional, Huriah selalu berusaha mengolah tarian ciptaannya agar mudah dimengerti. Sehingga siapa pun yang menyaksikannya tak hanya terpukau dengan gerakan-gerakan yang indah melainkan juga dapat menangkap pesan yang hendak disampaikan masing-masing tarian. Tampilan tarian tradisional yang awalnya terkesan membosankan pun berhasil disulap Huriah menjadi lebih modern dan atraktif.
Selanjutnya di tahun 1959 hingga 1968, Huriah menjadi anggota dari URRIL kodam III Sumatera Barat. Di sini ia juga membentuk sebuah grup tari. Pada masa pertikaian PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), Huriah dan grupnya sering dikirim ke berbagai daerah untuk mengadakan pertunjukan. Tercatat selama menjadi anggota URRIL, Huriah dan kawan-kawannya telah menampilkan 112 kali pertunjukan di berbagai daerah selama masa perang saudara. Hal tersebut terbilang luar biasa, lantaran masyarakat Minang saat itu masih menganggap tabu wanita yang begitu bebas menyiarkan tari-tarian di depan umum. Namun Huriah tak terlalu menggubris hal itu, ia tetap konsisten mempopulerkan tarian daerah sebagai salah satu warisan budaya bangsa. Karyanya bahkan mendapat apresiasi pejabat tinggi di masa itu antara lain Presiden Soekarno, Jenderal Ahmad Yani, serta keluarga Adam Malik.
Pada tahun 1963, Huriah dkk mendapat undangan sebagai delegasi kesenian Sumatera Barat untuk tampil di Jakarta dalam ajang pesta kesenian bertaraf internasional, Ganefo. Sayang, setelah mempersiapkan diri dengan berlatih selama beberapa bulan, panitia acara tersebut tiba-tiba membatalkan keikutsertaan rombongan Huriah lewat telegram. Mendapati kenyataan itu, tentu saja Huriah kecewa. Beruntung masih ada Rustam Anwar, seorang pengusaha dan pencinta seni, yang bersedia memberangkatkan Huriah dan timnya ke Jakarta. Setelah pamitan dengan Gubernur Sumatera Barat, Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa, rombongan berangkat ke Jakarta dengan menumpang di dek kapal Koanmaru.
Di luar dugaan, setelah lolos proses seleksi, tim kesenian Sumatera Barat langsung terpilih untuk tampil dalam Indonesia Cultural Evening di Istana Olah Raga Bung Karno, Jakarta, yang merupakan bagian dari Ganefo. Sukses yang dicapai timnya pada ajang bertaraf internasional tersebut, membawa tim tari Huriah mendapat tawaran syuting selama seharian penuh dari PFN (Perusahaan Film Negara). Film tersebut kemudian dipertunjukkan pada New York Fair tahun 1964.
Berkat tarian hasil kreasinya, nama Huriah Adam mulai mencuat di percaturan dunia kesenian khususnya tari tradisional. Meskipun bersifat tradisional, Huriah selalu berusaha mengolah tarian ciptaannya agar mudah dimengerti.
Usai tampil di Ganefo, grup tari Huriah mulai sering dilibatkan dalam berbagai kontes kesenian, antara lain bersama misi kesenian Jepang di Gedung Megaria, serta bersama misi kesenian Yugoslavia di Gedung Bank Indonesia. Saat tampil di ajang bergengsi itu, tim Huriah biasanya tampil mempertunjukkan tiga tarian andalannya, yaitu tari Sandang Pangan, tari Nina Bobok dan tari Nelayan. Sebenarnya, masih banyak permintaan untuk tampil dari beberapa kalangan di Jakarta, namun tim tari Huriah memutuskan untuk pulang ke Sumatera Barat guna mempersiapkan diri dalam acara penyambutan tamu-tamu peserta Ganefo yang akan berkunjung ke daerah-daerah.
Pertengahan dekade 1960-an, atau tak lama setelah G30S/PKI berhasil dilumpuhkan, Huriah Adam dan rekan-rekannya dipojokkan oleh segelintir orang yang digerakkan oleh sejumlah partai yang tidak berhasil menarik tim Huriah. Akibatnya, Huriah sempat terkucil selama beberapa waktu. Meski demikian, ia masih terus berkarya meski bukan sebagai penari. Dalam kurun waktu itu, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah sebagai pelukis.
Pada tahun 1968, Huriah dan keluarga memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Tiga tahun kemudian, bersama rekan-rekan dari berbagai latar belakang tari, Huriah Adam mendirikan Bengkel Tari Taman Ismail Marzuki. Setahun sebelumnya, yakni pada 1970, Huriah berkesempatan untuk mengikuti Expo yang diadakan di Osaka, Jepang. Sebelum berangkat, rombongan kesenian Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Letkol Sampurno, Kepala Direktorat Kesenian, Ditjen Kebudayaan, Departemen P dan K, terlebih dahulu menghadap Presiden Soeharto di Istana Negara untuk memohon doa restu.
Sekitar 800 tarian tradisional Indonesia dipertunjukkan oleh 63 orang penari, termasuk Huriah Adam yang tampil dengan tarian dan biola kesayangannya. Tari Payung ciptaannya bahkan terpilih sebagai salah satu sajian Pavilion Indonesia. Selain mendapat pengalaman dari ajang itu, Huriah juga mendapatkan banyak gagasan baru dari Sardono W Kusumo, seorang maestro di bidang tari yang diakuinya sebagai guru. Menurut Sardono, penampilan Huriah merupakan pantulan dari kepercayaan diri yang kuat. Sementara untuk pribadinya, Sardono menilai Huriah termasuk orang yang radikal dan sanggup berdiri dalam kesenian itu sendiri.
Selain membawa pesan pembaruan dunia tari, Huriah juga menuangkan pemikirannya menyangkut perkembangan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam tiap karyanya. Sebagai koreografer, tari tak hanya wadahnya dalam berekspresi, namun sekaligus menjadi media baginya untuk menyampaikan hasil pikir dan kepeduliannya terhadap nasib bangsanya. Seperti yang terlihat dalam sebagian karya-karyanya, seperti tari Pembebasan, tari Nina Bobok, tari Payung, tari Sapu Tangan atau tari Pahlawan. Dalam sejumlah karya tadi, tersirat bagaimana sikap Huriah, bahwa baginya lebih memilih sikap bersatu dan perdamaian daripada keinginan sepihak yang saling menghancurkan. Gagasan persatuan, kepedulian, kecintaan dan isu-isu kemanusiaan tetap menjadi latar belakang proses penciptaan karya-karya Huriah selanjutnya.
Tak hanya lewat karya seni, Huriah juga menyampaikan pandangannya lewat tulisan. Pada 1961, ia pernah menyampaikan pemikirannya pada Presiden Soekarno sepanjang 28 halaman folio. Tulisan berjudul “Konsep Membina Pribadi” itu ternyata tidak saja terkait dengan Huriah dalam kapasitasnya sebagai koreografer, akan tetapi juga menyangkut konsep dirinya sebagai anak bangsa.
Pada halaman pertama ia menuangkan pikiran tentang seni dan kepribadian nasional. Menurut Huriah, jika ada yang meniru-niru seperti pemimpin atau seniman akan tetapi jiwanya tidak bergetar dan batinnya tak menangis saat melihat nasib bangsanya yang hidup dalam kesusahan, sesungguhnya orang-orang tersebut tidak pantas disebut pemimpin atau seniman. Sebab, air muka pemimpin adalah air muka bangsanya, menderita langsung menangislah seniman/pemimpin. Demikian halnya dengan seni, baik berupa tari, lukisan, sastra, dan lain-lain, tak hanya diartikan sebagai hiburan atau pelipur lara, hiasan atau permainan, namun lebih dari itu, kesenian merupakan manifestasi pribadi. Dengan kata lain seni adalah perwujudan dari keseluruhan pergolakan lahir dan batin kita, atau keseluruhan pikiran,dan perasaan serta kemampuan ego kita.
Selain dikenal sebagai penari dan pencipta tari terkemuka, Huriah juga menekuni bidang seni musik, lukis bahkan pahat. Di dunia musik Huriah piawai dalam menggesek biola, piano, dan gitar. Sementara sebagai pelukis, Huriah telah menghasilkan belasan karya. Lukisan karya Huriah kebanyakan mengambil tema keindahan alam Sumatera Barat seperti pemandangan Tabek Patah, Singkarak, Ombak Badabua, Lembah Anai, Bukit Kapur Padang Panjang, Danau Maninjau dan sebagainya.
Ia juga menumpahkan keseluruhan pikiran, perasaan, serta kemampuan egonya dalam seni pahat. Hasil karyanya sebagai pemahat adalah Patung Pembebasan, serta yang paling monumental adalah Tugu Pahlawan Tak Dikenal yang berdiri megah di tengah-tengah Kota Bukittinggi. Tugu yang terletak di pertigaan, pertemuan antara Jalan Dr. A. Rivai dan Jl. Merapi itu begitu simbolis, penuh dengan gerak yang kuat dan ekspresi yang tajam.
Biaya pembuatan tugu setinggi 27 m itu sebesar Rp. 1.500.000 didapat dari dermawan serta sumbangan masyarakat Sumatera Barat, yang dikoordinasikan oleh Sekretariat Wali Kota Bukittinggi, Indra Syamsu. Bentuk tugu secara keseluruhan menggambarkan orang sedang mendaki tebing yang sangat curam dan banyak liku-likunya, di sekelilingnya dihiasi dengan fontain dengan cahaya berganti-ganti. Di tembok yang mengelilinginya juga dibuat relief yang menggambarkan perjuangan bangsa.
Di sudut atas dibuat relief seperti lambang berpita panjang. Lambang tersebut bergambar rumah adat Minangkabau dan di bawahnya lembing bersilang. Di sebelahnya bertuliskan pahatan “Pahlawan Rakyat Menentang Kolonialisme 5 Juni 1908”. Di sudut bagian bawah pada batu pualam yang berukuran 0,75 m x 0, 75 m dipahatkan teks “Batu Pertama diletakkan tanggal 15 Juni 1963 oleh Y.M. Wampa KASAB Jendral Dr. A.H. Nasution. Pada isinya dengan batu pualam yang sama tingginya terpahat tulisan,”Tugu ini diusahakan oleh Baharuddin Datuk Bagindo (B.D.B.) untuk dan atas nama rakyat Sumatera Barat”. Sedangkan di sisi lain pada batu pualam yang sama tingginya, terpahat teks, “Tugu ini diusahakan oleh Panitia Pusat Peringatan Sumatera Barat Menentang Penjajahan Belanda.”
Tugu tersebut juga bertuliskan sajak gubahan Huriah Adam yang dipilih oleh Prof. Dr. Mohd. Yamin, yang berbunyi: Pahlawan Tak Dikenal | Mati luhur tidak berkubur | Memutuskan jiwa, meninggalkan nama | Menjadi awan di angkasa
Menjadi buih di lautan | Semerbak baunya di udara
Menjelang akhir hayatnya, tepatnya di awal tahun 1971, Huriah menjadi dosen jurusan tari di Akademi Teater Tari, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Di tahun yang sama, setelah mendapat persetujuan dari Umar Kayam selaku Direktur LPKJ, Huriah direkrut menjadi dosen tari Minang di ASKI Padang Panjang selama 1 tahun. Biaya perjalanan ke Padang seluruhnya dibayar oleh TIM, sedangkan ongkos ke Jakarta ditanggung pihak ASKI.
Pada 10 November 1971, Huriah pulang ke Padang untuk berlebaran dan menunaikan tugas mengajar di ASKI. Namun siapa sangka, di hari itu pula sepak terjangnya dalam melestarikan kesenian harus terhenti. Huriah raib bersama 68 penumpang pesawat Merpati Nusantara Airlines jurusan Jakarta-Padang yang dinyatakan hilang di Kepulauan Katang-Katang. Jenazah para korban maupun bangkai pesawat tersebut tidak berhasil ditemukan hingga saat ini.
Sebelum kepergiannya, Huriah masih sempat menampilkan salah satu karya legendarisnya yakni drama tari Malin Kundang yang pernah dipentaskan sebanyak tiga kali di Padang dan Jakarta antara tahun 1969 sampai 1971. Dengan mengkombinasikan gerakan tari Minang dan balet modern, drama tari ini tak hanya dapat dinikmati publik dalam negeri tapi juga orang-orang asing.
Selain drama tari Malin Kundang, selama kiprahnya sebagai koreografer, Huriah juga berhasil menciptakan beberapa karya yang masih populer hingga saat ini, antara lain tari Payung, tari Pedang, tari Rebana, dan masih banyak lagi. Namun dari sekian banyak tarian kreasinya, tari Berabah menjadi favoritnya karena dianggap paling lengkap menunjukkan dasar tari Minang tradisional yang diolahnya sedemikian rupa sehingga menampilkan watak kegagahan dan kebebasan yang merupakan cermin dari aspirasinya.
Di tangannya, tari Minang menjadi satu bagian yang berarti dalam pengayaan budaya nasional. Tak hanya itu, kepedulian dan dedikasinya di dunia tari layak menjadi motivasi kalangan etnis lainnya untuk ikut memperkaya kebudayaan nasional dengan menggali unsur budaya daerah yang memang beragam dan tak akan pernah habis.
Semasa hidup, Huriah tak hanya mewariskan mahakarya yang masih dapat dinikmati generasi saat ini, namun juga meninggalkan kesan mendalam di mata para sahabatnya. Pelukis Maria Tjui misalnya,mengenang Huriah sebagai perempuan Minang yang sederhana, tidak terikat kepada kebendaan, sangat terbuka dan berjiwa sosial.
Sedangkan Sukmawati Soekarnoputri yang pernah menarikan Tari Sijundai karya Huriah menilai sosok Huriah Adam merupakan seorang wanita yang ramah dan sederhana. Kesederhanaan itu tercermin dari kebiasaan sehari-harinya yang selalu memakai baju kurung dan kerudung kepala. Namun di balik itu semua, figur Huriah menyimpan sikap dan kepribadian keras dan tegas yang lahir dari keketatan pola kemasyarakatan Minang, seorang seniman yang gigih menjalankan prinsip dan keinginannya, serta menjadi bagian dari perkembangan seni-budaya nasional pada umumnya.
Sementara di mata rekan-rekan seprofesi yang pernah menjalin kerjasama dengannya menilai Huriah sebagai sosok pemimpin yang rela mengorbankan haknya untuk anak buahnya. Ia ikhlas mengerjakan tugas berat bahkan rela tidak menerima haknya.
Sebagai bentuk penghargaan atas kerja kerasnya, Taman Ismail Marzuki mengabadikan namanya untuk bengkel tari di komplek kesenian tersebut. Yayasan pembina Pembangunan Sumatera Barat pimpinan Ibu Nelly Adam Malik juga mengadakan program beasiswa dengan nama “Huriah Adam”. Pada Mei 1977, pemerintah Indonesia mempersembahkan Anugerah Seni dari Presiden R.I. sebagai bentuk pengakuan pemerintah secara resmi atas kontribusinya sebagai Pembina dan Seniman Tari Daerah Minangkabau. Penghargaan lain yang diraihnya adalah Bintang Budaya Parama Dharma di tahun 2011. muli, red