Lebih Bangga CEO KODJA
Soeparno Prawiroadiredjo
[ENSIKLOPEDI] Soeparno Prawiroadiredjo, Dipl.-Ing, telah berkarya dan mengabdikan diri melintasi berbagai jenjang karir, baik dalam lingkup birokrasi maupun perusahaan (BUMN). Setiap jenjang karir memiliki kesan dan rasa bangga tersendiri baginya. Namun, dia lebih merasa berkesan dan lebih bangga sebagai CEO (Chief Executive Officer) BUMN dari pada sebagai Direktur Jenderal (Eselon I).
Panggilan jiwanya selain lebih menyatu dengan manajemen kewirausahaan (entrepreneur) dari pada jadi birokrat (penguasa), juga lebih menyatu dengan dunia maritim (industri perkapalan) dari pada industri mesin, logam dasar dan elektronik.
Maka, dari semua bidang tugas yang diembannya, yang paling dia banggakan bukan saat menjabat Dirjen Industri Mesin, Logam Dasar dan Elektronika, Departemen Perindustrian RI (1988-Maret 1994), sebuah jabatan tertinggi (Eselon I) bagi pegawai negeri sipil. Tetapi justru dia lebih senang dan bangga saat menjabat Direktur Utama PT Kodja (Persero) selama 22 tahun (1966-1988).
Walaupun tinggi, saya nggak bangga, saya bangga Dirut Kodja. Padahal Dirjen eselon 1,” ungkap Soeparno dalam percakapan dengan Wartawan TokohIndonesia.com, Ch. Robin Simanullang dan Marjuka Situmorang, di rumah kediamannya, Jalan Jambore, Villa Cibubur Indah Blok T1 Kav. 28-29, Cibubur, Jakarta, Kamis 29 Juli 2010.
Bahkan dibanding saat menjabat Dirjen, Soeparno lebih bangga saat bertugas di Departemen Perhubungan Laut dengan jabatan Kepala Direktorat Perkapalan dan Kepala Biro Pembangunan Perusahaan (pelayaran, industri kapal dan pelabuhan), 1962-1966, karena waktu itu terlibat dalam perjuangan Trikora.
Orang mungkin bertanya, mengapa lebih bangga sebagai Dirut PT Kodja (Persero) daripada Dirjen Industri Mesin, Logam Dasar dan Elektronika, Departemen Perindustrian RI? Setelah TokohIndonesia.com melakukan penelusuran, bisa dipahami bahwa pantas Soeparno merasa lebih berkesan dan bangga sebagai Dirut PT Kodja ketimbang sebagai Dirjen.
Sebab, selain dia lebih menjiwai manajemen kewirausahaan daripada birokrat (penguasa), dia telah memimpin perusahaan galangan kapal milik negara itu mulai dari kecil hingga berkembang dan mampu bersaing di tataran nasional dan internasional. Lagi pula, tampaknya dia lebih menikmati dunia maritim (industri perkapalan) daripada birokrasi dunia industri mesin, logam dasar dan elektronika. Hidupnya lebih menyatu dengan dunia industri maritim.
Tentu dia merasa bangga sebagai anggauta struktural dari Departemen Perindustrian yang dipimpin oleh Dr. Ir. Hartarto Sastrosoenarto telah berhasil menempatkan peranan Sektor Perindustrian sebesar 22% dari PDB pada akhir Pelita V. Pencapaian ini adalah tribut kepada Bapak Hartarto seorang diri semata; peranan lima pejabat eselon I dalam pencapaian itu dia perkirakan hanya 10% saja, karena itu peranannya dia sendiri maximum hanya 2%. Inilah hitungan yang sederhana dengan cara yang sederhana pula.
Juga merupakan kebanggaannya adalah sebagai Direktur Jenderal Industri Mesin, Logam dan Elektrronika ia digantikan oleh seorang Direkturnya, Ir. Efendi Sudarsono, Direktur Industri Logam. Kemudian Direktur yang lain, seperti Direktur Industri Elektronika, Ir. Firdaus Ali, menjadi Direktur Jenderal Industri Elektronika dan Direktur Perencanaan Ir. Doddy Soepardi Harun Alrasyid menjadi Direktur Jenderal Industri Aneka; Direktur Industri Perkapalan, Sutito N.A (alm) dan Ir. Marwoto secara berurutan diangkat menjadi Staf Akhli Menteri Perindustrian.
Para junior yang pada waktu itu masih ada pada jabatan eselon III dan IV saat ini telah menduduki jabatan eselon I seperti Ir. Agus Tjahajana MSc sebagai Direktur Jenderal IMLD dan kemudian Sekretaris Jenderal Departemen Peridustrian, Ir. Ardiansyah Parman sebagai Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri dan kemudian Sekretaris Jenderal Departemen Perdagangan, Dr. Ir. Budi Darmadi sebagai Direktur Jenderal Industri Industri Alat-alat Angkut dan Telematika.
Pengangkatan-pengangkatan itu membuktikan bahwa ia telah menjalankan pembinaan SDM dengan benar. Di perusahaan galangan kapal itu, selain dia bisa berkreasi mengaplikasikan ilmu teknik perkapalan yang dimilikinya, juga berhasil menerapkan manajemen keteladanan, kebersahajaan dan kebersamaan. Alasan lain, jabatan Dirjen memang lebih tinggi, tetapi kalau ketemu orang di luar negeri, tidak tahu apa itu Dirjen. Sedangkan galangan kapal Kodja, orang luar negeri banyak yang tahu.
Prioritas SDM
Pada awal kepemimpinannya di PT Kodja, dia melihat kualitas SDM harus menjadi prioritas. Sejak awal, dia menyadari bahwa untuk bersaing di pasar bebas, PT Kodja harus mempunyai kemampuan rancang bangun dan rekayasa yang cerdas, mempunyai kemampuan manajemen yang handal dan SDM pelaksana di lapangan yang harus di-upgrade dan penambahan tenaga baru yang masih segar.
Kebutuhan ini tidak gampang dipenuhi, bahkan pada waktu itu masih banyak orang yang tidak mengetahui apa artinya manajemen itu. Sehingga, Soeparno mengawali kepemimpinannya di Kodja dengan merekrut orang-orang muda menjadi staf manajemen dan karyawannya. Pertama, dia merekrut para Perwira TNI AL yang telah diberhentikan akibat melakukan protes, untuk mengisi staf manajemen. Para perwira muda itu tergabung dalam GPPR, Gerakan Perwira Progresif Revolusioner1, yang semuanya adalah lulusan Akademi Angkatan Laut Surabaya dan Akademi Penerbangan Curug. Dia mendayagunakan potensi para perwira muda GPPR itu, dimana mereka setidak-tidaknya telah mengerti ilmu dasar manajemen. Di antara mereka terdapat nama-nama Ivo Sumampouw, Ansar Sar’an, Ansar Sar’an, Otto Ulaan dan Jumarman (Alm) yang dalam Buku Rajawali Samudra, Peringatan 50 Tahun Penerbangan TNI Angkatan Laut termasuk sebagai perwira andalan.
Kedua, untuk masalah (penguasaan) teknisnya, mengisi kebutuhan rancang bangun dan rekayasa, dia mengombinasikannya dengan merekrut mahasiswa tingkat 3 Departemen Perkapalan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar (Ujung Pandang), satu-satunya universitas yang pada waktu itu menyelenggarakan pendidikan tinggi teknik perkapalan, di mana Soeparno aktif sebagai pengajar Luar Biasa Konstruksi dan Kekuatan Kapal (1962-1981). Hal itu dilakukannya sampai tahun kedua. Ketika itu, dampak terjadinya peristiwa G-30-S/PKI, yang juga dibarengi krisis ekonomi, telah menimbulkan perusahaan kesulitan dana. Lalu, Soeparno memindahkan mahasiswa yang dari Ujung Pandang ke Jakarta, sambil bekerja di Kodja.
Sementara, ketiga, untuk memenui kebutuhan peremajaan di lapangan dilakukan dengan merekrut lulusan SMA dan STM dengan memberikan upgrading atau meng-upgrade dirinya sendiri. Lulusan SMA dan STM juga ditempatkan di bidang rancang bangun dan rekayasa dan manajemen, karena dari mereka juga banyak yang cerdas. Semua mendapat kesempatan yang sama.
Dalam perjalanan waktu, banyak juga dari mereka yang kemudian mencapai gelar S1 di berbagai kecabangan ilmu. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang mencapai kedudukan direktur, pakar audit management dan ahli teknik yang berkualitas tinggi. (Selengkapnya baca: Alumni Perusahaan Negara Kodja). Bio TokohIndonesia.com | crs-ms
Footnote:
1 GPPR (Gerakan Perwira Progresif Revolusioner) yang terdiri dari perwira muda lulusan akademi, pada tahun 1965 menguncang TNI AL. Para perwira muda itu melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa pimpinan TNI AL saat itu telah memberikan laporan palsu kepada Presiden tentang kesiapan tempur armadanya. Menurut GPPR kesiapan tempur armada perang TNI AL telah sangat menurun seusai operasi perebutan Irian Barat (Trikora). Dilaporkan bahwa aneka ragam alat utama sistem persenjataan (alutsista) buatan Uni Soviet yang banyak dimiliki TNI AL kala itu memiliki banyak masalah perawatan, amunisi, spesialisasi personel, dan lain-lain. Hampir semua armada yang berada di pangkalan AL Surabaya tidak dimanfaatkan dan tidak berdaya karena kegiatan teratur latihan tempur di laut sudah diabaikan. Namun, akibat laporan ini, justru dilakukan pembersihan besar-besaran di kalangan perwira GPPR yang sebagian besar berujung dipecat dari kedinasan, termasuk di antaranya tiga perwira eks KIM (Akademi Angkatan Laut Belanda). (Sukono, dkk, Dan Toch Maar: Apa Boleh Buat, Maju Terus!, Penerbit Buku Kompas, Cetakan I, Agustus 2009)