Maestro Wayang Ukur

Sigit Sukasman
 
0
1699
Sigit Sukasman
Sigit Sukasman | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Kecintaannya pada wayang membuat peraih penghargaan Budaya Parama Darma 2011 ini tak sekadar memegang dan menggerak-gerakkan wayang dalam sebuah lakon. Demi memasyarakatkan wayang, ia memperkenalkan sebuah wayang kulit genre baru yang diberi nama Wayang Ukur.

Berawal dari ketidakpuasan dengan kemapanan suatu tradisi, Sigit Sukasman bereksperimen dengan menciptakan wayang kulit genre baru yang diberi nama Wayang Ukur. Para penonton disuguhkan sebuah pertunjukan wayang yang dikemas dengan memadukan seni teater, tari, musik gamelan dan sastra pedalangan dipadu sentuhan artistik teknologi tata cahaya yang menawan. Boleh dibilang, Wayang Ukur mencoba menawarkan sebuah seni pertunjukan yang berwawasan global. Meski terkesan keluar dari pakem yang sudah ada, pria kelahiran Yogyakarta, 10 April 1937 ini yakin bahwa apa yang dilakukannya justru dapat membuat kesenian wayang lebih digandrungi.

Sebagai putra asli Jawa, Sigit Sukasman sudah akrab dengan dunia wayang sejak belia. Suatu ketika, ayahnya yang bekerja sebagai pengusaha batik, pernah diberi sekotak wayang kertas yang mudah rusak, tapi Sigit selalu bisa memperbaikinya. Dari sekadar memperbaiki, kemampuan Sigit kian bertambah, bahkan sejak remaja Sigit sudah gemar mengutak-atik bentuk wayang klasik menjadi wayang kreasi baru.

Ia pernah menunjukkan wayang-wayang hasil kreasinya pada Ki Prayitno Wiguno, gurunya di Abiranda (lembaga pendidikan pedalangan di Keraton Yogya). Namun, bukannya mendapat pujian, Sigit justru harus menerima kemarahan sang guru yang menganggap bentuk wayang sudah sempurna, jadi tidak boleh diutak-atik. Kendati demikian, Sigit terus berkreasi menciptakan wayang dengan tampilan yang lebih segar. Hasrat menciptakan wayang kreasi baru sepertinya sudah menjadi candu bagi anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.

Menurut pengakuan salah satu orang terdekatnya, di tangan Sigit untuk satu tokoh wayang saja mungkin sudah puluhan kali dikreasikan bentuknya. Gareng misalnya, salah satu tokoh punakawan ini ditonjolkan kecacatannya pada tangan dan mata. Gunungan yang dalam versi klasiknya mirip gunung, dibuat berbentuk bundar, bahkan digambari peta dunia. Sementara untuk tokoh punakawan lainnya, yakni Semar yang tali pusar di perut biasanya menghadap ke bawah dan melekat di kaki, dibuatnya kelihatan di depan perut sehingga tampak bodong. Untuk tokoh-tokoh wayang lain, ukuran badan, tangan, kaki, diperpanjang, diperlebar, hingga diperkurus.

Lantaran ingin mengembangkan hobinya menggambar wayang, setamat SMA di tahun 1962, Sigit meneruskan pendidikannya ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Namun ternyata, tak ada mata kuliah menggambar wayang di ASRI. Meskipun kecewa, Sigit tetap melanjutkan kuliahnya hingga selesai. Begitu tamat kuliah, ia mengadu nasib ke Jakarta, dan bekerja sebagai dekorator. Kemudian pada 1964, Sigit bekerja sebagai pembuat konsep interior stan Indonesia dalam World Fair di New York. Selain itu, pengalaman berskala internasional lain yang pernah dilakukan Sigit adalah membuat desain interior sebuah pusat perbelanjaan di Jerman.

Masih di tahun 1964, dengan hanya bermodal nekat, Sigit merantau ke Belanda hingga tahun 1974. Sepuluh tahun bermukim di negeri kincir angin itu, Sigit menjalani kesehariannya sebagai seniman wayang. Ia menggambar, membuat, hingga menjual wayang-wayang kreasinya dari pintu ke pintu. Untuk sekadar bertahan hidup dan membeli bahan-bahan untuk karyanya, Sigit bekerja secara serabutan, bahkan menjadi buruh cuci piring di restoran pun bahkan pernah dilakoninya. Maka tak heran jika sosok Sigit Sukasman dinilai sedikit banyak memiliki andil ketika UNESCO menetapkan wayang sebagai salah satu pusaka dunia tak benda pada tahun 2003 lalu. Sebab, sejak 1960-an, ia memang telah aktif memperkenalkan keindahan wayang Indonesia ke dunia internasional.

Sejak tahun 80-an, didorong rasa prihatin karena kian menipisnya minat anak muda untuk menyaksikan seni pertunjukkan tradisional, Sigit kemudian membuat genre wayang baru yang belakangan dikenal dengan sebutan Wayang Ukur. Melalui wayang ukur, Sigit mencoba memberi tawaran sebuah seni pertunjukan wayang yang berwawasan global. Dalam setiap pementasan wayangnya, putra pasangan Zainal dan Sudilah ini menggabungkan wayang hasil modifikasinya yang berwarna-warni, patung-patung fiberglass di sekitar layar, teknik tata lampu dari belakang dan depan layar, sehingga menjadi lebih atraktif, seperti menonton pentas wayang tiga dimensi. Lampu ‘blencong’ yang menjadi senjata utama menghidupkan bayang-bayang dirombak dengan memasang puluhan lampu warna-warni dari depan dan belakang kelir.

Tak hanya itu, pementasan juga dikonsep kolosal. Meski dalang utama tetap satu orang, namun dalam Wayang Ukur dipakai dalang pembantu yang jumlahnya minimal 3 orang. Para dalang pembantu ini yang semakin menghidupkan suasana pakeliran, terutama dalam adegan peperangan. Pementasan tentu saja terasa lain dan lebih dahsyat.

Mengenai penamaan wayang ukur sendiri merujuk pada pembuatannya yang selalu didahului dengan mengukur. Dengan demikian, wayang ukur adalah karya wayang kulit yang merupakan proses mencari ukuran baru dari ukuran yang sudah ada. Sama seperti lazimnya wayang kulit, keunikan wayang ukur ada pada detail anatomi masing-masing tokoh wayang. Ada unsur yang lebih ditonjolkan. Sehingga, wayang kulit hasil kreasi Sigit Sukasman lebih dari sekadar dekoratif. Bentuk anatominya yang detail dan menonjol itu mencerminkan karakter yang lebih otentik dari masing-masing tokoh wayang.

Advertisement

Sejak tahun 80-an, didorong rasa prihatin karena kian menipisnya minat anak muda untuk menyaksikan seni pertunjukkan tradisional, Sigit kemudian membuat genre wayang baru yang belakangan dikenal dengan sebutan Wayang Ukur. Melalui wayang ukur, Sigit mencoba memberi tawaran sebuah seni pertunjukan wayang yang berwawasan global.

Namun, sayangnya upaya Sigit untuk lebih memasyarakatkan wayang justru dinilai sebagian pihak terutama dari kalangan dalang sebagai tindakan yang di luar kebiasaan. Cemoohan pun kadang dilontarkan oleh mereka yang tak sepaham dengan Sigit. Sebab, selain melakukan perubahan dalam pementasan wayang, Ki Sukasman juga merombak ‘tata sungging’ wayang yang telah ada. Karena itulah, Sigit dan wayang ukurnya terbilang jarang menggelar pementasan. Kalau pun mendapat order, ia justru lebih sering merugi. Namun bagi Sigit, hal itu bukan masalah. Ia justru kian merasa tertantang. Kegelisahannya akan nasib budaya Jawa yang makin terpinggirkan di negeri sendiri membuatnya terus terpacu untuk mempopulerkan wayang ukur yang mengakomodasi budaya modern. Seiring berjalannya waktu, kegigihan Sigit Sukasman mulai menuai hasil, dengan semakin banyaknya dalang kondang Tanah Air yang mementaskan Wayang Ukur.

Selain mendalang dan membuat wayang, Sigit juga mampu menghasilkan lukisan-lukisan indah serta merancang patung-patung yang terbuat dari fiberglass. Bentuknya umumnya tak lazim, misalnya patung kuda sembrani bersayap dan bersirip ikan setinggi hampir tiga meter. Koleksi unik lain yang lahir dari kreativitasnya adalah bola dunia raksasa yang dihiasi ukiran berujung bentuk hati. Sebagian karyanya itu tertata apik di kediamannya di Mergangsan, Yogyakarta. Sementara sisanya ada yang dipajang oleh instansi dan kampus, hingga dipamerkan di luar negeri.

Meski mampu menciptakan karya-karya yang bernilai seni cukup tinggi, Sigit tidak mau menjualnya asal-asalan. Tak terhitung berapa kali karyanya ditawar dengan harga tinggi. Namun ia menolaknya, karena merasa tidak sreg. Bahkan seringkali, Sigit yang awalnya berniat menjual namun begitu ada pembeli, ia bisa dengan tiba-tiba membatalkannya. Tetapi jika hatinya sudah sreg, Sigit akan langsung memberikan karyanya kepada siapa pun tanpa memungut biaya.

Dengan kemampuan dan bakatnya tadi, sebenarnya Sigit bisa dengan mudahnya menjadi orang yang berkelimpahan secara materi. Namun rupanya menjadi kaya raya bukanlah menjadi ambisi seorang Sigit Sukasman. Ia lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Tempat tidurnya hanya kasur busa yang diletakkan di atas lantai dan ditutupi selambi. Ketika bepergian pun, ia lebih suka memakai sepeda jengki dengan alasan tidak mau menimbulkan polusi. Untuk urusan memasak, Sigit enggan menggunakan kompor gas dan lebih memilih memasak dengan menggunakan peralatan tradisional.

Di samping dikenal dengan kesederhanaannya, Sigit juga tak sungkan untuk bertukar pikiran. Di studionya yang berlokasi di Jl. Taman Siswa, Yogyakarta, ia selalu bersedia menerima siapa pun untuk berdiskusi sampai berjam-jam lamanya. Sigit seolah tak pernah kehabisan bahan obrolan, mulai dari filsafat Jawa, wayang, seni rupa, hingga kondisi masyarakat jaman sekarang.

Sigit memang sosok seniman pekerja keras, benaknya tak bisa berhenti berpikir. Meski karyanya menurut banyak orang sudah luar biasa, Sigit tetap berusaha untuk selalu sempurna, perfeksionis dan amat memperhatikan detil. Namun sejak tahun 2004, karena gangguan jantung yang dideritanya, pria yang memilih untuk hidup melajang ini tak lagi banyak mengerjakan karya secara langsung. Ia hanya menggambar dan memberi arahan, sementara dalam proses pengerjaan ia lebih mempercayakannya kepada orang lain.

Pada tahun 2008, nama besar Sigit Sukasman di dunia seni mendorong rumah produksi bernama Sarang Ide Production untuk membuat sebuah film dokumenter tentang dirinya. Menurut Dimas Ari Sandi, sutradara film bertajuk Memayu Hayuning Buwono itu, banyak hal tentang Sigit yang dapat menjadi pembelajaran bijak. Dimas juga menambahkan bahwa sosok Sigit merupakan seniman yang bekerja dengan hati dan jiwa dalam memaparkan wayang.

Atas kontribusinya pada dunia seni khususnya wayang, Sigit Sukasman beberapa kali diganjar penghargaan dari Sultan HB X saat pameran Bienalle. Penghargaan lain yang pernah diraih Sigit adalah Gudang Garam Life Time Achievemet. Kemudian di tahun 2011, dua tahun setelah kepergiannya, pemerintah RI menganugerahkannya Bintang Budaya Parama Darma, yang merupakan penghargaan tertinggi di bidang seni dan budaya.

Seniman wayang yang telah menghasilkan setidaknya 400-an buah wayang ukur itu menghadap Yang Maha Kuasa pada Kamis, 29 Oktober 2009 di RS Panti Rapih Yogyakarta. Sigit meninggal dunia setelah dua hari dirawat akibat komplikasi gangguan jantung dan paru-paru yang menggerogoti tubuhnya. Jenazah Sigit Sukasman dimakamkan di Pemakaman Krapyak Bantul, Yogyakarta.

Kekaguman pada sosok Sigit terlontar dari seniman Djaduk Ferianto yang ikut melayat bersama ratusan seniman lain. “Kapan lagi kita diberi kesempatan punya orang hebat seperti dia,” ujar putra maestro tari Bagong Kussudiardja ini seperti dimuat di situs kompas.com.

Dedikasi Sigit pada profesinya tak perlu disangsikan lagi, bahkan beberapa jam sebelum kepergiannya, pikirannya masih saja tertuju pada pekerjaan seninya. “Dengan nafas tersengal-sengal pun, ia masih saja bertanya ke saya, bagaimana patungnya, bagaimana wayangnya. Bagaimana isi bukunya, ada yang kurang tidak,” kata Yoyok Hadiwahyono, sahabat yang sering menemani keseharian Sigit. Buku yang dimaksud adalah buku tentang kehidupan Sigit dan dunia yang digelutinya, yang mengantarnya menyandang predikat sebagai maestro wayang ukur satu-satunya di negeri ini.

Pengurus Sekretariat Nasional Wayang Indonesia, Sulebar M Soekarman menilai sosok Sigit Sukasman sebagai seniman Jawa yang sangat njawani. Dengan telaten, Sigit metani (memilah) yang nampak dan tak nampak untuk merajut keagungan kebudayaan Nusantara. Sigit adalah seniman modern yang kental dengan akar tradisi, pembaharu seni wayang dalam rupa visi dan filsafati.

Kini, warisan paling berharga yang ditinggalkan Sigit, yakni wayang ukur telah mendapat tempat di tengah masyarakat. Bahkan pada April 2010, Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) tertarik untuk mementaskan wayang ukur versi lama di tingkat nasional. Menurut Pengelola Pondok Seni Wayang Ukur, Hadi Wahyono, ketua Pepadi, Ekotjipto, sendiri yang meminta wayang ukur dipentaskan di Jakarta. “Kini wayang ukur tak lagi jadi kontroversi. Bahkan Pepadi sudah mengakui wayang ini sebagai wayang masa depan. Makanya kami diminta untuk mementaskan wayang ukur oleh Pak Eko di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 4 Juli 2010,” ujar Hadi di Pondok Seni Wayang Ukur seperti dilansir situs solopos.com. Hadi menambahkan, Pepadi tak ingin pentas wayang ukur dengan konsep baru. Mereka menginginkan pementasan wayang ukur versi lama yang sering dibawakan oleh Ki Kasman, sapaan akrab Sigit Sukasman. muli, red

Data Singkat
Sigit Sukasman, Seniman Wayang / Maestro Wayang Ukur | Ensiklopedi | Seniman, jawa, pionir, pelopor, teater, tari, dalang, wayang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini