Orang Besar di Dunia Karikatur
Augustin Sibarani
[ENSIKLOPEDI] Sibarani melukis siapa saja, dari Soeharto sampai Osama bin Laden, dengan pendekatan realis maupun karikatural. Dia seorang karikaturis yang disebut Benedict ROG Anderson, ahli Indonesia asal Universitas Cornell, Amerika, sebagai yang terbesar di negeri ini.
Satu hari di bulan April 2001, dia tampak penuh semangat bicara kepada siapa saja tentang rencana penerbitan buku karikaturnya yang pertama, setelah bertahun-tahun tak mempublikasikan buku. Waktu itu dia bahkan membawa beberapa lembar coretannya, dibuat dengan kombinasi drawing pen dan cat air.
Satu di antaranya bergambar empat politisi kelas Indonesia: Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, Akbar Tanjung, dan Amien Rais tengah mengelilingi meja bermain kartu. Ia mencorat-coret permukaan karikaturnya dengan tip-ex, terutama menghapus bagian-bagian teks yang terasa terlampau verbal, sebab media sekarang tak menyukai gaya semacam itu.
Karikatur tersebut naik cetak di majalah PANTAU dan beredar, bagaikan kembalinya si anak hilang. Republika, sebuah harian nasional, bahkan mereproduksi karikatur itu di halaman satu. Ternyata hal itu tidak membuatnya bahagia bahkan membuatnya jengkel sebab merasa tak dimintai izin. Dia memutuskan menggugat koran tersebut ke pengadilan.
Ketika buku karikaturnya terbit atas kerja sama Institut Studi Arus Informasi, Garba Budaya, dan PT Media Lintas Inti Nusantara, ia sungguh senang hati, dan pada pertemuan kedua kami, ia bahkan tak bisa menyembunyikan bayangannya sendiri bahwa buku tersebut akan menembus cetakan kedua. “Akan ada penambahan karikatur, mungkin yang baru atau karikatur lama yang telah dikirim Ben dari Amerika namun tak jadi dimuat,” katanya.
Saya sedikit membuyarkan impiannya dengan mengatakan bahwa bukunya sangat tebal dan mahal, Rp 65 ribu, sehingga ia meralat ucapannya sendiri, “Ya, mungkin diterbitkan dalam buku yang baru.”
TAHUN 1965 seolah merupakan akhir baginya, ketika suratkabar Bintang Timur berhenti terbit menyusul tumbangnya Orde Lama, padahal di sanalah ia mempublikasikan karikaturnya secara rutin sejak 1957. Ia sempat ditahan selama lima hari. Tak hanya bayang-bayang kemiskinan yang menghantuinya, ia terutama kehilangan media untuk menyebarkan coretannya, tempat kemarahan dan lelucon berbaur dengannya.
Ia mulai menggambar ilustrasi untuk brosur-brosur tak penting, yang akan dibuang orang secepat mereka membacanya. Dengan cara itu ia menjalani hidupnya, menghidupi keluarga, dan menyekolahkan anak-anaknya. Tentu ada waktu-waktu ketika membuat ilustrasi brosur tak memadai untuk apa pun, tapi ia punya cara ampuh mengatasi kesulitan semacam ini. Istrinya, Saribar L. Tobing, penganut Kristen yang baik. Sibarani tak hanya bisa membuat karikatur namun juga lukisan potret di atas kanvas. Itu ada hubungannya. Istrinya rajin pergi ke gereja dan Sibarani sering membuat lukisan potret untuk para jemaat teman-teman istrinya.
Kebanyakan ia melukis potret keluarga-keluarga mereka yang sudah mati, semacam menjual kenangan masa lalu, mengolahnya dari foto-foto usang. Menggabungkan foto kakek dan nenek yang terpisah seolah mereka duduk berdampingan begitu erat. Orang-orang pun suka dan membayarnya.
Namun, tak selamanya ada orang yang memintanya melukis potret, sementara kehidupan terus berjalan dan kebutuhan finansial terus merongrong. Maka ia melukis satu-satunya laki-laki yang memiliki hubungan dengan semua jemaat gereja itu: Yesus.
Ia tahu dengan pasti, orang-orang saleh tak akan mengabaikannya begitu melihat lukisan si laki-laki yang tampak menderita di atas kanvas tersebut. Ia lupa berapa banyak potret Yesus yang pernah dilukisnya.
Sesungguhnya Sibarani memulai karier sebagai pelukis potret belaka, pada umur delapan tahun ketika ia menggambar wajah guru-guru sekolahnya dengan modal pas foto mereka.
Dari segala potret yang pernah dilukisnya, potret Sisingamangaraja XII mungkin potret yang dianggapnya paling fantastis yang pernah ia buat. Hampir sama seperti para pelukis Sisingamangaraja yang lain, ia menggambarnya beberapa tahun lalu. Ketika itu, di Jakarta ada panitia memperingati hari wafatnya Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, meminta dan mengupahnya melukis potret Sisingamangaraja XII.
Masalahnya, Sisingamangaraja telah meninggal jauh di awal abad XX, dan tak meninggalkan sehelai foto pun. Sibarani mengaku mulai bekerja mereka-reka wajah Sisingamanagaraja. Ia beruntung masih bisa bertemu keturunan sang pahlawan, juga teman-temannya, seperti ayah penyair Sitor Situmorang, yang mengenal baik pahlawan yang akan dilukisnya itu. Sibarani tak hanya ingin mengenal Sisingamangaraja sebagai sosok laki-laki yang bisa dilukis di atas kanvas, tapi juga ingin mengenalnya bagaikan pernah hidup bersama dirinya.
Berdasarkan cerita-cerita keluarga dan para sahabat, ia mulai melukis potret Sisingamangaraja dengan cat minyak di atas kanvas. Ia memperlihatkan lukisan tersebut pada keluarga sang pahlawan, dan mereka berseru, “Ya, memang mirip wajahnya, tapi matanya sedikit berbeda.”
Kerja keras terakhirnya melukis bagian mata, mengubahnya di sana-sini sehingga cat menebal di sekelilingnya. Ya, inilah pahlawan yang tak pernah ia lihat, bahkan potretnya sekali pun, kini seolah hidup kembali di atas kanvasnya. Panitia dan keluarga menghargai likasan tersebut, walau tidak persis sama dengan wajah Sisingamangaraja. Akhirnya, oleh panitia lukisan tersebut diantar ke Istana Merdeka.
Kemudian, demi menghargai para pahlawan, pemerintah memasang potret para pahlawan di lembar uang RI. Potret Sisingamangaraja dipasang di uang tukaran Rp.1000. Sibarani keberatan karena Bank Indonesia tak pernah menyebut namanya sebagai pelukis sang pahlawan, atau paling tidak minta izin mempergunakan lukisan tersebut. Ia didampingi pengacara kondang RO Tambunan menuntut Bank Indonesia ke pengadilan. Tapi di pengadilan tuntutannya kalah. Sebab pemerintah memberikan banyak bukti bahwa sangat banyak orang yang melukis Sisingamangaraja dari hasil rekaan dan mimpi serta semua lukisan itu dihargai pemerintah, keluarga termasuk Lembaga Sisingamangaraja. Tanpa kecuali, termasuk lukisan Sibarani. Bank Indonesia dan Peruri membuktikan bahwa potret Sisingamanagaraja di uang Rp.1000 itu bukan hasil lukisan Sibarani.
Keluarga dan Lembaga Sisingamanagaraja XII serta masyarakat Batak menyambut baik keputusan pengadilan itu. Karena menurut mereka, tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mengklaim sebagai satu-satunya yang berhak sebagai pelukis (melukis) Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII. Putri Sisingamangaraja, Purnama Rea mengatakan kendati lukisan-lukisan itu tidak ada yang persis mirip, termasuk lukisan Sibarani, tapi dia selalu bilang mirip, sebagai penghargaan kepada para pelukisnya.
LANTAS, kapan, dan bagaimanakah laki-laki ini kemudian menggambar karikatur? Ini cerita ketika ia berumur 25 tahun. Pada suatu hari ia dikunjungi seorang temannya, Anwar Isnudikarta, seorang aktivis Partai Sosialis Indonesia, yang mampir sejenak dalam kunjungan untuk menghadiri sidang parlemen Indonesia. Tamu itu mengajaknya ke pertemuan, dan semuanya terjadi di aula Hotel Des Indes. Sementara pidato-pidato berlangsung membosankan, ia membunuh waktu dengan mencorat-coret, menggambar sketsa sebagaimana sering ia lakukan di bangku sekolah.
Seorang wartawan, bernama Del Bassa Pulungan dari koran Merdeka, menantangnya membuat karikatur yang bagus. Ia pun membuat karikatur Mr. Mohammad Yamin, salah seorang politisi di parlemen, yang tengah berpidato, dan ketika pulang, ia membuat gambar orang yang sama tengah memukul Sultan Abdul Hamid, seorang tokoh federal dari Republik Indonesia Serikat, dengan gaya kocak. Itu tak hanya membuat karikaturnya muncul di halaman depan Merdeka, namun juga membuatnya semakin lebur ke dunia karikatur.
Ketika itu ia juga bekerja sebagai pegawai pertanian di Departemen Kemakmuran, sebab ia lulusan Sekolah Pertanian Bogor yang pada zaman Belanda disebut Middelbare Landbouw School. Ia digaji Rp 300 per bulan, dengan fasilitas antar jemput dan kemungkinan naik pangkat sebab ia veteran perang. Namun, dunia karikatur sungguh-sungguh menggodanya dan ia memutuskan jadi karikaturis lepas untuk banyak suratkabar seperti Kader, Gelanggang Masyarakat, dan Pewarta Djakarta. Penghasilannya jadi tak tentu, kadang lebih banyak dari uang yang biasa diperolehnya, kadang harus ke sana-ke mari berjalan kaki dengan perut keroncongan.
Itu seolah menebus keinginan lamanya untuk menjadi pelukis. Keinginan lama yang tak tergapai sebab ibunya yang bernama Martha Hasibuan, yang kawin dengan Jozua Sibarani dan melahirkannya pada tanggal 25 Agustus 1925, membesarkannya seorang diri sejak ayahnya meninggal kala ia berumur lima tahun. Ibu ini tak menginginkannya masuk sekolah formal seni lukis. Padahal ibunyalah yang telah mengalirkan darah seni itu, sebab selain seorang penginjil untuk para ibu di kota Pematangsiantar, ia juga pandai menyanyi, mendongeng, mahir menyulam, dan melukis motif ulos.
AWAL 1953, Sibarani menerbitkan tiga buku kartun untuk anak-anak, Si Kasmin Pergi ke Kota, Musik si Beber, dan Rumah si Bolang. Buku ini diterbitkan oleh sepasang suami istri sahabatnya, Alex Sutantio dan Lily, putri mantan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Ia membuat gambar-gambar binatang ala Walt Disney, dicetak berwarna di Belanda, dibayar putus seharga Rp 22 ribu. Cukup untuk membuatnya kaya mendadak.
Tak lama setelah itu, ia berkenalan dengan seorang Belanda pemilik toko buku dan sekaligus penerbitan yang kemudian ia biasa panggil sebagai “Tuan Gotfried” saja. Tuan Gotfried mengagumi ketiga bukunya, sebab laku dibeli anak-anak gedongan, dan menawarinya menerbitkan buku baru, dengan konsep yang berbeda agar tak tampak mencaplok ide orang. Buku kumpulan gambar lelucon berikutnya, yang ia kumpulkan dari majalah Aneka, terbit dengan judul Senyum, Kasih, Senyum.
Tapi sepanjang kekuasaan Orde Baru, betapa sulitnya menerbitkan kembali karikatur, yang ringan sekalipun. Terutama karena ia dicurigai sebagai satu dari orang-orang kiri. Dua puluh tahun berlalu sampai ia memperoleh kesempatan tampil bersama karikaturnya. Ketika itu G.M. Sudarta dari harian Kompas mengunjunginya bersama Arwah Setiawan dari Lembaga Humor Indonesia. Ia memperoleh undangan untuk ikut serta dalam pameran besar karikatur di Ancol, Jakarta, dan karikatur-karikatur pun segera disiapkan. Kesempatan itu lenyap saat Harmoko, yang waktu itu menteri penerangan, mengetahui keikutsertaannya. Harmoko, yang pernah jadi kartunis Merdeka, mengancam tak akan membuka pameran jika Sibarani ikut.
Itu pula yang mendorongnya membuat pameran tunggal. G.M. Sudarta menyumbang Rp 100 ribu. Tanpa acara pembukaan dan tanpa undangan. Sudarta menulis ulasannya di Kompas, sedangkan Mochtar Lubis, editor legendaris harian Indonesia Raya, datang memuji-mujinya sebagaimana dulu ia memuji buku Senyum, Kasih, Senyum, tak peduli betapa tak sukanya Sibarani terhadap garis politiknya.
Sibarani harus menunggu tumbangnya kekuasaan Orde Baru untuk bermimpi menerbitkan buku karikatur kembali. Ia menyelundupkan fotokopi karikatur-karikaturnya ke tangan mahasiswa. Pada 1998 sejumlah media Prancis menerbitkan karikatur-karikaturnya, seperti Le Monde Diplomatique, Humanite, dan La Lettrede. Karikaturnya kemudian berkeliaran di internet, terbang ke Amerika Serikat, dan dimuat di jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell.
Fenomenanya mungkin bisa disejajarkan dengan Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terkuat Indonesia, yang berhasil muncul kembali ke dunia sastra Indonsia melalui novel-novel barunya. Sibarani berharap bisa berhasil pula saat kembali ke dunia karikatur Indonesia. Tapi paling tidak satu keinginannya sudah gagal. Semula ia ingin memberi judul kumpulan karikaturnya dengan Karikaturku, tapi si editor lebih suka menjualnya dengan judul Karikatur dan Politik.
Namun ia tetap orang yang dulu itu, penuh semangat dan teguh pada garisnya. Ia menunjukkan potret Osama bin Laden dan George Bush Jr. dalam gaya karikatural kepada saya beberapa bulan lalu, bagaikan memperlihatkan kesetiaan seorang karikaturis tua yang menantang roda zaman. e-ti