Orientasi Prestasi Sang Inovator
Alinafiah
[ENSIKLOPEDI] Selalu melakukan inovasi dalam setiap jabatan yang diembannya. CEO Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ini meniti karir dari bawah hingga menjabat Direktur Utama PT Pos Indonesia. Ia ‘karyawan pemerintah’ yang berorientasi prestasi dan tidak gagap jabatan. Ia memiliki integritas dan keberanian moral melakukan inovasi yang tentu tak sekadar patuh pada atasan dan tata kerja rutin birokrasi.
Sejak kecil ia telah terlatih mandiri dan punya kepekaan bisnis. Kini ia melakukan transformasi bisnis untuk menjemput masa depan PT Pos Indonesia memasuki era total logistik service, yang tak lagi sekadar mengantar paket. Ia memang seorang inovator pemberani.
Inovasi telah menjadi kata kunci dan sakti yang selalu muncul dalam perjalanan karir peraih The Best CEO BUMN Award 2002 Bidang Inovasi Manajemen dari Presiden RI ini. Pria kelahiran Medan, 13 November 1953, ini sejak masa kecilnya telah diwarnai berbagai inovasi dan kemandirian. Ia berasal dari keluarga besar, sebagai anak ketiga dari 12 bersaudara.
Dalam proses pembentukan kepribadian, ia sangat terkesan dengan pesan orang tuanya untuk hidup mandiri. Dimulai dari sejak kecil. Ia tidak pernah diantar ke sekolah oleh ayahnya. Waktu pendaftaran SD saja, pamannya yang mendaftarkan. Ia dibonceng naik sepeda, duduk di palang depan bukan di boncengan. Saat masuk SMP ia mendaftar sendiri. Dalam proses belajar juga mandiri. Orangtua hanya memberikan dukungan, tetapi tidak mendikte.
Namun bukan berarti perhatian dan kasih sayang orang tuanya tidak sepenuhnya dia rasakan. Bahkan ada sesuatu yang sampai kini sangat berkesan dalam ingatannya perihal pengasuhan ayah-ibunya. Ketika ia masih bayi, mungkin pada usia di bawah dua tahun. Tapi ia masih ingat sampai saat ini. Luar biasa. Yakni, saat-saat ia dimandikan ibunya di ember yang bulat bukan plastik. Ketika selesai, dibalut dengan handuk. Kasih sayang orangtuanya, terutama ibunya, ini sampai saat ini terkesan sekali dalam ingatannya.
Ia tidak ingat pada umur berapa, tetapi sebagai bayi dimandikan di ember, ia ingat sekali. Maka, jika anak-anak sekarang dimandikan dalam ember plastik, ia selalu terkesan. Dan setiap pulang ke Medan, melihat ibunya, yang paling ia ingat bukan jabatan atau yang lain. Ia bersyukur pada usia yang sekarang sudah lanjut, ibu yang melahirkan dan memandikannya masih hidup. Kesan itu juga yang sekarang ia rasakan ketika sudah memiliki seorang cucu. Kebetulan pada hari itu, cucunya tepat satu tahun, 30 April 2003. Maka, khusus hari itu ia pulang lebih awal sebelum magrib, biasanya setelah magrib baru pulang.
Saat ini, manakala cucunya dimandikan oleh ibunya, kebetulan masih satu rumah, terbayang dibenaknya ketika dulu dimandikan orangtuanya. Ketika selesai dimandikan, seperti ia diperlakukan oleh ayahnya. Begitu juga ia perlakukan cucunya. Sehingga sekarang ia sangat dekat dengan cucunya itu. Kalau bapanya pergi cucunya tidak menangis. Tetapi kalau ia mau pergi cucunya menangis. Diangkat ibunya, tidak mau jadi ngamuk. Hanya mau digendong kakeknya. Begitu dekatnya, ini barangkali karena penghayatannya kepada cucu. Ia ingat ketika seumur seperti cucunya. Insting anak-anak peka akan penghayatan itu. Itu sebuah sentuhan kasih dan kemanusiaan yang sangat terkesan dalam benaknya.
Namun dalam penerapan kasih sayang itu, orang tuanya mendorongnya untuk mandiri. Maka etika masuk SMA, ia sudah memiliki penghasilan sendiri. Ia membuka kelas les privat di rumah, di ruangan tamu yang tidak terlalu besar. Sehingga bisa beli baju sendiri dan keperluan sendiri. Setiap malam lepas magrib kawan sekelas dan adik-adik kelas bahkan dari sekolah lain datang ke rumahnya untuk belajar.
Walau ilmunya masih terbatas, hanya mengandalkan pelajaran yang diperolehnya di sekolah, ia berani membuka les privat. “Kalau saya dapat pelajaran kimia di SMA, ya saya ajarkan kepada adik-adik kelas. Kadang-kadang juga kuatir bisa salah sendiri. Tetapi teman-teman bayar bukan diskusi, karena saya membuka les privat,” ujarnya mengenang dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indoensia DotCom di ruang tamu kantornya di Bandung. Semua pelajaran kurikulum SMA dan SMP ia pegang. Waktu itu ia benar-benar mulai mandiri, berjuang dan berani.
Selain itu, ia juga ikut bertani bersama orangtua. Pada saat SMA, orangtuanya seorang pegawai negeri juga bertani. Sehingga hampir sepanjang tahun mereka tidak pernah membeli beras. Mereka mengonsumsi beras hasil pertanian sendiri. Maka tidak heran jika sampai saat ini ia sangat memperhatikan masalah pertanian. crs, mlp (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia 03 – Juli 2003)