Pembaku dan Perawat Bahasa Indonesia
Anton M Moeliono
[ENSIKLOPEDI] Guru Besar Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia yang juga salah satu pendiri Yayasan Atma Jaya ini merupakan bidan utama kelahiran Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) tahun 1972, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988), dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988).
Putra ketiga dari pasangan RM Moeliono Prawirohardjo dan Maria A. Igno ini sesungguhnya tidak pernah bermaksud mendalami bahasa Indonesia. Saat itu dia secara kebetulan membaca iklan beasiswa ikatan dinas masuk ke Fakultas Sastra (FS) Universitas Indonesia (UI) untuk menjadi pegawai bidang bahasa. Setelah meraih gelar sarjana bahasa di tahun 1958, dia mengajar sebagai dosen sekaligus menjadi tenaga tidak tetap di Lembaga Bahasa dan Kebudayaan. Selama tiga tahun, terhitung sejak 1960, ia menjabat sebagai Kepala Bidang Perkamusan merangkap Ketua Jurusan Sastra Indonesia UI. Dari sanalah kepakaran dia sebagai ahli bahasa mulai berkembang.
Untuk memperdalam ilmu bahasanya, Anton melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Pada 1965, ia meraih gelar Master of Arts in General Linguistics dari Cornell University, Amerika Serikat. Di tahun 1970, dia mulai berkenalan dengan kelompok lingusitik Amerika yang mengajarinya perencanaan bahasa. Sejak perkenalan itu, dia mulai mengembangkan wawasan bagaimana semestinya bahasa Indonesia diperlakukan.
Pada tahun 1971, ia bertolak ke Belanda untuk melanjutkan kuliah pasca sarjananya di Rijksuniversiteit Leiden. Sepulangnya ke Tanah Air, ia mulai dipercaya menduduki berbagai posisi penting khususnya di lembaga-lembaga bahasa. Khusus di bidang perkamusan dan peristilahan, dia banyak berguru pada WJS Poerwadarminta, yang kebetulan sedang menyusun kamus. “Sehingga saya kemudian mengembangkan minat dan perhatian pada peristilahan,’ tuturnya.
Pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 21 Februari 1929 ini kemudian menjadi sosok penting di balik lahirnya EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) pada tahun 1972. Di tahun itu pula, pada saat perayaan HUT Kemerdekaan RI yang ke-27, EYD untuk pertama kalinya diresmikan dan diberlakukan di seluruh pelosok Tanah Air. Kemudian di tahun 1981, ia berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Sastra, Bidang Linguistik di Universitas Indonesia.
Bagi Anton, bahasa Indonesia akan lestari jika terus digunakan secara baik dan benar. Maka, ketika ada sebagian kalangan mengadopsi bahasa asing mentah-mentah ke dalam bahasa Indonesia, Anton akan cenderung memberi rekomendasi untuk menggunakan kata-kata bahasa Indonesia bukan bahasa asing. Kendati demikian, bukan berarti ia tidak menyukai kata-kata asing.
Setahun berselang, Anton diangkat menjadi Guru Besar Bahasa Indonesia dan Lingustik Fakultas Sastra UI. Kala itu Anton yang biasa disapa mahasiswanya dengan panggilan Pak Ton ini juga mengajar mata kuliah Sintaksis, Semantik, yang merupakan bagian dari Ilmu Lingustik. Dalam memberikan kuliah, Anton dikenal sebagai dosen yang sangat cermat, rapi, tegas, dan tidak suka pada mahasiswa yang tidak menyimak. Ia sudah menyiapkan segala pertanyaan kepada anak didiknya sebelum kuliah dimulai.
Senyum juga hanya sesekali terlihat di wajah seriusnya, selebihnya matanya akan mengamati ekspresi para mahasiswa yang duduk mendengarkan kuliahnya. Jabatan Guru Besar Bahasa Indonesia memang pantas disandangnya, selain tutur katanya yang meluncur dengan apik, tertata rapi, pemilihan kosakata dalam setiap rangkaian kalimat yang dilontarkannya pun amat kaya. Dari segi penampilan pun, siapa pun yang melihatnya akan merasa segan, kemeja lengan pendek, kadang-kadang dipadupadankan dengan dasi serta sepatu kulit kian membuatnya terlihat berwibawa.
Di samping itu, perawakan tubuhnya yang gempal, kacamatanya yang sering dinaikturunkan tak jarang membuat suasana hati mahasiswanya tak karuan. Antara menaruh hormat pada kepandaiannya, seram karena sikap tegasnya, dan sedikit terkesan galak karena kedisiplinannya. Namun kelak mereka akan merasa amat berterimakasih karena bisa mendapatkan ilmu langsung dari sang ahli. Selain mengajar di kampus, Anton juga tampil membawakan Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di layar TVRI pada tahun 1973-1977. Tak kurang 200 siaran pernah dia selenggarakan. Sementara antara tahun 1968-1971, dia mengasuh rubrik Santun Bahasa di harian Kompas, Jakarta sebagai ajang komunikasi timbal balik bagi pembaca suratkabar yang ingin menanyakan ejaan, tata bahasa, istilah, dan saran mengatasinya.
Berkat kepandaiannya pula, suami dari Cecilia Soeparni Josowidagdo ini dipercaya menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa pada tahun 1984. Kontribusinya selama 5 tahun berkiprah di lembaga itu dapat dinikmati generasi penerus hingga detik ini. Di bawah kepemimpinannya, muncullah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pada tahun 1988.
Selain di UI, Anton juga dikenal sebagai tokoh yang cukup berpengaruh di Universitas Katolik Atma Jaya. Ia merupakan anggota perintis sekaligus pendiri Yayasan Atma Jaya sekitar tahun 1960-an. Di kampus itu antara lain dia pernah menjadi Ketua Badan Harian Yayasan Atmajaya, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Dia juga pernah terpilih menjadi Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik serta diangkat sebagai profesor tidak tetap pada Program Studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris, Program Pendidikan Pascasarjana. Baru tahun 2000 dia menjadi Guru Besar Tetap FKIP Atma Jaya merangkap sebagai Ketua Program Studi Linguistik Terapan. Setahun kemudian, ia dianugerahi Warga Adipurna Atma Jaya.
Universitas Katolik Atma Jaya pernah turut memeriahkan ulang tahun Anton M Moeliono yang ke-75. Kampus di pusat kota Jakarta itu antara lain mengadakan seminar internasional sehari mengenai bahasa. Kepada Anton diserahkan buku kenangan. Buku itu adalah festchrift kelima kepada pembaku dan perawat bahasa Indonesia yang telah membimbing 23 promovendi ilmu bahasa dalam 20 tahun terakhir, seperti Harimurti Kridalaksana, Hasan Alwi, dan Dendy Sugono.
Sebelumnya, saat ulang tahunnya yang ke-65, Anton sudah menerima dua buku kenangan: Bahasawan Cendekia dan Mengiring Rekan Sejati dari UI dan Atmajaya. Dua lagi terbit lima tahun kemudian untuk hari lahir ke-70 yaitu Telaah Bahasa dan Sastra kado Pusat Bahasa, dan Kajian Serba Linguistik hadiah bersama Atmajaya dan BPK Gunung Mulia.
Penggemar musik klasik Barat dan gamelan ini dianggap pantas menerima hadiah. Gagasan dia mengubah pola pengajaran Jurusan Indonesia Fakultas Sastra UI dari yang bersemangat orientalistik menjadi studi Indonesia, telah melahirkan beberapa nama penting di dunia bahasa seperti MS Hutagalung, Gorys Keraf, dan Lukman Ali. Kerja sama Leiden dengan Pusat Bahasa selama lima tahun ia memimpin lembaga itu berhasil mengucurkan Rp 4 miliar. Hasilnya 44 doktor dan 24 magister ilmu bahasa, 86 terbitan mencakup disertasi dengan yudisium sangat memuaskan.
Di tahun 1995, Universitas Melbourne Australia menganugerahkan gelar doktor honoris causa Ilmu Sastra kapada pakar bahasa yang telah menghasilkan beberapa karya buku yang sampai saat ini masih digunakan sebagai acuan ini. Antara lain, buku Santun Bahasa (1984), Masalah Bahasa yang Dapat Anda Atasi Sendiri (1988), dan Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar (1989). Selain itu, aktivis berbagai organisasi terutama bidang kebahasaan ini adalah penyunting beberapa buku mengenai ejaan, pembentukan istilah, dan penyunting penyelia Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi I (1988).
Sebagai seorang pakar yang sudah kenyang pengalaman, Anton menegakkan trilogi bahasa Indonesia. Yakni, aku cinta bahasa Indonesia, aku bangga pada bahasa Indonesia, dan aku setia pada bahasa Indonesia. Trilogi itu sudah dia jalankan untuk pribadi dia sendiri. Kendati berdarah Jawa dan lahir serta besar di Bandung sehingga bahasa Jawa dan Sunda fasih dia kuasai dengan baik, namun logat dan dialek kedua bahasa itu tidak sedikitpun pernah terlontar dalam setiap tutur katanya.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik periode 1984-1990 ini sering berujar, “Saya ingin bangsa Indonesia menjadi bangga dengan bahasa mereka dan memastikan bahasa Indonesia digunakan adalah cara paling efektif dalam menjaganya”.
Bagi Anton, bahasa Indonesia akan lestari jika terus digunakan secara baik dan benar. Maka, ketika ada sebagian kalangan mengadopsi bahasa asing mentah-mentah ke dalam bahasa Indonesia, Anton akan cenderung memberi rekomendasi untuk menggunakan kata-kata bahasa Indonesia bukan bahasa asing. Kendati demikian, bukan berarti ia tidak menyukai kata-kata asing. “Saya tidak menolak tuk meminjam. Jika konsep tidak diganti, saya akan senang untuk mengimpor,” ujar pria yang memperkenalkan kata sophisticated dengan kata “canggih” yang lalu banyak digunakan penutur untuk menjelaskan kerumitan teknologi.
Karena keteguhan sikapnya itulah, ia ingin bahasa Indonesia benar-benar lahir dari bangsa sendiri tanpa meniru-niru bahasa asing. Hal itu benar-benar ia buktikan dengan menciptakan kata-kata bahasa Indonesia baru, misalnya rekayasa, bandar udara (bandara), pantau, canggih, pasar (swalayan), dan masih banyak lagi. Karena kekayaan perbendaharaan kata yang dimilikinya itu, tak heran jika di kemudian hari, ia mendapat julukan ‘Sang Kamus Berjalan”.
Lelaki yang pernah menjadi profesor tamu di Goethe Universitt Frankfurt dan Katholieke Universiteit Brabant Tilburg ini juga kerap dihinggapi rasa kecewa jika mendengar gaya berbahasa berbagai kalangan dewasa ini. Mulai dari para pembawa acara media elektronik yang kerap berceloteh dengan mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Tak terkecuali para pejabat tinggi yang dalam berpidato tidak memperhatikan gramatika kalimat yang baik dan benar bahkan amburadul. Bahasa Indonesia gado-gado yang kerap ditemui di ruang publik seperti itu dipandangnya sebagai suatu hal yang amat memalukan. “Mana Bahasa Nasional kita? Seharusnya mereka sebagai bangsa Indonesia bangga dengan bahasa nasionalnya!” demikian ucap Anton menggambarkan kekecewaannya seperti dikutip dari situs berita kompas.com.
Ia juga berpandangan, sebuah bahasa berpeluang menjadi bahasa internasional bukan karena banyaknya penutur melainkan karena kecendekiaan dan kemahiran para penutur itu berbahasa. Bahasa Inggris, kata dia, menjadi bahasa internasional utama karena penuturnya cendekia dan mahir berbahasa sehingga menjadi pelopor ilmu pengetahuan.
Pakar yang dikenal kritis dan pedas dalam melontarkan pendapatnya ini menghembuskan nafasnya yang terakhir pada Senin, 25 Juli 2011, pukul 23.27 WIB di RS Medistra, Jakarta Selatan karena menderita penyakit komplikasi. Rabu, 27 Juli 2011, setelah disemayamkan di rumah duka di Jalan Kartanegara No. 51, Jakarta, diadakan misa requiem di Gereja Maria Perawan Ratu, Blok Q, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tepat pukul 10.00 WIB, jenazah pakar bahasa Indonesia ini dikremasi. muli, red