
[ENSIKLOPEDI] Siapa Ahok – Basuki Tjahaja Purnama? Dia adalah pemimpin pendobrak kemunafikan! Pemimpin (Gubernur DKI Jakarta) yang paling bernyali menantang (menyerukan) kepada siapa saja, khususnya para pejabat dan politisi, untuk segera menghentikan korupsi dan kemunafikan1] yang telah membuat bangsa ini sulit mencapai kemajuan.
Padahal menurut orang-orang berpikiran ‘sara’ atau ‘cetek’, Ahok hanyalah WNI keturunan Tionghoa (China) dan dianggap seorang ‘kafir’ pula karena beragama Kristen Protestan (nonmuslim), yang kebetulan saja lahir di Indonesia (Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966). Seorang yang kerap diposisikan oleh ‘mereka’ (bukan konstitusi) orang seperti itu hanya sebagai warga negara kelas tiga: Sudah China, nonmuslim pula! Dianggap tidak mungkin mencintai (tumpah darah, tanah airku) Indonesia. Sehinggga tidak layak jadi pemimpin di negeri ini.
Tapi Ahok tampil mendobrak dan tidak mau ‘tenggelam terbawa arus’ pikiran ‘cetek‘ dan inkonstitusional itu. Dia bernyali menyatakan kebenaran. Dia hanya taat kepada konstitusi bukan kepada konstituen apalagi kepada yang berpikiran ‘sara’. Dia tidak mau berpura-pura: Berkata dan bertingkah sopan dan santun, tapi nyolong uang negara (rakyat). Dia berindak dan berseru: “Mari kita akhiri kemunafikan negeri ini!”
Padalah dia bukan nabi, atau alim-ulama, pendeta dan biksu. Seruan menghentikan korupsi dan kemunafikan itu, biasanya disuarakan oleh para nabi, atau pemuka agama, sebagai suara kenabian (moral), yang ditujukan terutama kepada para penguasa. Tapi, justru Ahok, yang tengah berkuasa sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang dengan lantang tak henti-hentinya (selalu) berteriak menyerukan: “Mari kita akhiri kemunafikan negeri ini!”
Bukankah teriakan Ahok tersebut terbilang bernyali dan fenomenal? Sebab tidak banyak, bahkan nyaris tidak ada, pejabat yang berani dengan lantang menyerukan: “Mari kita akhiri korupsi dan kemunafikan negeri ini!” Bahkan pemuka agama (pemimpin moral) pun sudah seperti kehabisan suara (kehabisan nyali) untuk menyerukannya, tatkala korupsi dan kemunafikan sudah dianggap kebiasaan, kelaziman, tradisi dan bagian dari ‘budaya’ (ironi).
Sifat hipokrit atau munafik tersebut, menurut Mochtar Lubis, dalam pidato di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, memang sudah menjadi karakter manusia Indonesia sejak masa feodal dan kolonial. Manusia Indonesia sering berpura-pura, lain di muka, lain di belakang. Menurut Mochtar, sistem feodal dan kolonial di masa lampau menekan rakyat dan menindas segala inisiatif rakyat. Sehingga memaksa manusia Indonesia menyembunyikan apa sebenarnya yang dirasakan, dipikirkan dan dikehendakinya, karena takut akan mendapatkan ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya. Manusia munafik!
Sehingga, seruan dan dobrakan Ahok untuk mengakhiri kemunafikan itu amat bernyali dan fenomenal! Maka pantaslah Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM, yang akrab dipanggil Ahok dan menjabat Gubernur DKI Jakarta sejak 19 November 2014 itu dijuluki Redaksi TokohIndonesia.com sebagai ‘Pemimpin Pendobrak Kemunafikan’.
Sebagai seorang penguasa yang sedang menjabat, Ahok pasti sadar bahwa seruannya tersebut amat berisiko dan akan menghadapi perlawanan terutama dari pihak-pihak berkuasa (elit) yang menikmati kemapanan dalam kelaziman kemunafikan tersebut. Tapi tampaknya, Ahok, sudah siap dengan segala risikonya. “Kenapa harus takut jika hidup hanya sekali,” begitu petikan tag line di laman Ahok.org.2]
Kemunafikan dan Korupsi
Mengapa Basuki Tjahaja Purnama begitu ‘marah’ dan ‘tidak santun’3] setiap kali menyuarakan hentikan korupsi dan kemunafikan itu? Simak apa kata Ahok: “Kalau kamu hidup di tengah-tengah masyarakat yang begitu miskin, sementara oknum pejabat nyolong uang gila-gilaan dan dengan santun gaya bahasa agama, kamu muak nggak kira-kira? Nah, itu ungkapan perasaan saya yang sudah nggak tahan. Saya betul-betul muak dengan kemunafikan dan kepura-puraan dengan sistem oknum pejabat yang hidup mewah-mewah sementara rakyat nggak bisa hidup.” Itu kata Ahok lewat akun resmi twitternya.4]
Menurut suami Veronica Tan itu kemunafikan dan korupsi telah menjadi penyebab utama Indonesia sulit berkembang. “Kita hari ini terjebak dalam kemunafikan, menjual agama untuk kepentingan pribadi atau golongan, dan korupsi jadi akar ini semua,” kata Ahok dalam sambutannya saat menjadi inspektur upacara kemerdekaan RI ke 70 di Silang Selatan Monas, Jakarta Pusat, Senin (17/8/2015).
Kata Ahok, sangat benar apa yang pernah dikemukakan Bung Karno bahwa lebih susah perjuangan kita mengisi kemerdekaan, karena kita bukan melawan penjajah, tapi melawan oknum bangsa sendiri.
Secara internal di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, hal senada diucapkan Ahok berulang kali, di antaranya saat melantik Wali Kota Jakarta Selatan, di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (13/8/2015). Dia tak henti-hentinya mengultimatum pegawai negeri sipil (PNS) DKI untuk berkinerja lebih baik lagi dan tidak lagi memberi maupun menerima setoran. Secara khusus, dia meminta alumni IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) jangan suka ‘kumpulin uang’ lagi.
Dia minta PNS DKI untuk merespon seruannya dengan serius. Apalagi, Ahok sudah memberikan gaji/tunjangan tinggi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) DKI lebih tinggi dari pekerja swasta dalam bentuk Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) DKI.5] Dengan TKD itu, dia berharap, pegawainya jangan lagi bermain-main apalagi mengkhianati sumpah jabatannya.
Maka ditegaskan, jika tidak bekerja degan baik, dia tak segan akan mengambil tindakan tegas. “Kalau masih kerja tidak baik juga, dipensiundinikan saja atau tidak usah diberi tunjangan kinerja daerah (TKD). Jika masih tidak bekerja baik, 80 persen penghasilannya akan dihapus. Pegawai itu hanya menerima gaji pokok. Kalau begitu, DKI hemat APBD Rp 1, 2 triliun,” kata Ahok.
“Pegawai DKI sudah dibayar di atas rata-rata pegawai swasta, jadi seharusnya itu sudah cukup. Jangan mempermalukan sumpah jabatan. Saya harap di ulang tahun ke-70 ini, kita harus menjadi patriot bangsa. Kita memang tidak diminta berkorban nyawa bahkan berdarah, cuma diminta untuk tidak korupsi,” kata Ahok.
Ahok mengingatkan, kalau merasa tidak cukup, berkacalah dan cukupkan diri pada penghasilan. “Kalau tidak mau, saya persilahkan lebih baik jangan jadi PNS, karena sumpah jabatan bisa mempermalukan kita. Generasi akan datang akan rusak karena melihat kemunafikan. Kita bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa, tapi kelakuan mempermalukan Tuhan,” tegas Ahok.
“Saya tahu sudah banyak yang lempar isu untuk jangan pilih saya di Pilkada 2017. Tapi ingat, saya masih di sini sampai Oktober 2017. Saya ngomong begini, karena saya sudah muak dengan kemunafikan,” ujar Ahok berulang kali.
Menurut Ahok, rakyat terlalu banyak dibohongi dengan kemunafikan. “Kalau kita omong keras ya risiko terjungkal seperti Gus Dur alami. Tapi bagi saya, walaupun dijungkali, jika diinginkan Tuhan, ya kita belajar yang baik. Anda mau pilih yang mana? Yang benar atau ditutup-tutupi?” urai Ahok.6] Dia menyimpulkan banyak rakyat menjadi liar karena tidak tahu apa itu kebenaran. Orang demikian akibat banyak dijejali oleh kebohongan dan kemunafikan.
Ahok selalu gusar dan berbicara dengan nada tinggi setiap kali berhadapan dengan bau busuk korupsi dan kemunafikan. Siapa pun dilabraknya, tak peduli apakah itu Anggota DPRD, pejabat di kementerian, bahkan pejabat lembaga tinggi negara, seperti oknum auditor dan pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Seperti ketika Ahok menemukan anggaran siluman sebesar Rp.12,1 triliun yang disusupkan dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) 2015 versi DPRD DKI Jakarta. Ahok menemukan anggaran siluman untuk pembelian uninterruptible power supply (UPS). Anggaran yang tidak diusulkan oleh Satuan Perangkat Daerah (SKPD) itu muncul setelah pembahasan rampung dan RAPBD disetujui di rapat paripurna. Ahok menduga dana tersebut merupakan titipan oknum anggota dewan.
Hal ini membuat beberapa orang anggota DPRD DKI Jakarta marah dan bergerilya untuk melengserkan Ahok dengan menggelar hak angket dan interpelasi. Ketegangan terjadi antara Gubernur dan DPRD DKI Jakarta. Ahok tak terlihat gentar, dia tetap pada pendirian menolak anggaran siluman (UPS) tersebut. Dia pun tak takut menghadapi hak interpelasi yang digulirkan DPRD, pada hal dia tak punya cantolan (resmi) partai politik setelah dia memilih keluar dari Partai Gerindra karena kebijakan partai tersebut tidak sejalan dengan visinya.
Pengamatan TokohIndonesia.com, tidak ada gubernur atau kepala daerah yang punya nyali sehebat Ahok. Barangkali yang bisa mengimbanginya dalam level walikota hanyalah Tri Rismaharini, Walikota Surabaya (2010-2015). Ahok berani berjuang sendirian tanpa mau berlindung di bawah ketiak para elit politik, walau dengan risiko dia dimakzulkan. Bukan berarti dia tidak memahami bahwa jabatan gubernur itu adalah jabatan politik. Dia paham bahwa dukungan politiklah yang memberinya kesempatan menjadi gubernur.
Tetapi dia teguh pada prinsipnya: “Taat pada konstitusi, bukan pada konstituen (atau partai pendukungnya); Lawan Korupsi, Kenapa harus takut jika hidup hanya sekali; Bersih, Transparan dan Profesional.” Dia menghormati setiap orang, elit partai dan lembaga, ormas dan parpol, yang mendukungnya secara politik, tetapi dia hanya taat pada konstitusi.
Ini prinsip yang hebat dan fenomenal! Apalagi tatkala benar-benar diperankannya tanpa rasa takut kehilangan jabatan. Ajaib dan fenomenal tatkala kemunafikan dan korupsi masih bercokol dalam aliran darah (sistemik) keseharian negeri ini, Ahok bersuara dan bertindak untuk mengakhirinya. Tak heran bila bagi mereka yang menganggap ketidaktaatan pada konstitusi, kemunafikan dan korupsi adalah kehidupan bernegara yang normal, justru menganggap Ahok sebagai orang ‘gila’.
Ahok Gebrak BPK
Kegilaan dan kegelisahan Ahok, juga memuncak tatkala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkesan oleh publik sedang bermain mata dengan DPRD DKI. Ahok pun melihat ada beberapa keanehan dalam penyelenggaraan sidang paripurna DPRD DKI atas laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK terhadap laporan keuangan Pemprov DKI 2014, Senin (6/7/2015).
Pertama, BPK tidak (belum) menyerahkan salinan LHP tersebut kepada Pemprov DKI, dalam hal ini Gubernur. BPK justru memberi salinan tersebut kepada DPRD. Padahal, DKI hanya memiliki waktu 60 hari untuk memperbaiki laporan BPK tersebut. Kedua, Gubernur DKI tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan sambutan atas penyampaian LHP tersebut. Bukankah semestinya Pemprov DKI sebagai pihak yang dinilai, berhak memberi tanggapannya.
Selain lantaran adanya keanehan itu, Ahok menjadi berang karena BPK memberi DKI opini wajar dengan pengecualian (WDP) atas laporan keuangan tahun 2014. BPK mendapatkan 70 temuan dalam laporan keuangan daerah senilai Rp 2,16 triliun. Temuan itu antara lain program yang berindikasi kerugian daerah senilai Rp 442 miliar dan berpotensi merugikan daerah sebanyak Rp 1,71 triliun.
Juga, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. BPK juga menyoroti beberapa temuan yang wajib menjadi perhatian Pemprov DKI. Temuan itu ialah aset seluas 30,88 hektar di Mangga Dua dengan PT DP yang dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan aset. Juga, pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta Barat yang dianggap BPK tidak melewati proses pengadaan memadai. Indikasi kerugiannya sebesar Rp 191 miliar. Pemprov DKI juga mengalami kelebihan bayar biaya premi asuransi senilai Rp 3,7 miliar, juga pengeluaran dana bantuan operasional pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp 3,05 miliar.
Temuan lainnya yang perlu diwaspadai Pemprov DKI, menurut BPK, ialah penyertaan modal dan aset kepada PT Transportasi Jakarta yang tak sesuai ketentuan. Meliputi tanah seluas 794.000 meter persegi, bangunan seluas 234 meter persegi, dan tiga blok apartemen yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada BUMD. Pemprov DKI juga dianggap kurang bisa menjaga aset dan berakibat pada beralihnya aset ke pihak ketiga. Akibatnya, hal itu berpotensi merugikan daerah senilai Rp 3,58 triliun.
Karena cara penyampaian BPK yang dinilai ‘bermain politik’ dengan DPRD (sidang paripurna), Ahok menjadi kian berang. Gubernur DKI itu menantang semua anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membuktikan pajak yang dibayar serta melaporkan seluruh harta kekayaannya dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). “Saya mau nantang semua pejabat di BPK. Bila perlu, buktikan pajak yang kalian bayar, harta kalian berapa, biaya hidup kalian, anak-anak Anda kuliah di mana, saya mau tahu semuanya. Kalau enggak bisa buktikan, ya enggak boleh jadi anggota BPK, dan kalian enggak boleh periksa orang karena kalian sendiri ada unsur masalah,” kata Ahok di Balai Kota, Selasa (7/7/2015).
Kenapa Ahok begitu marah? Dia merasa BPK tidak menerapkan standar audit yang sama. Karena, menurut dia, kesalahan-kesalahan yang ditemukan BPK itu sudah terjadi sejak zaman pemerintahan Gubernur DKI Fauzi Bowo yang justru saat itu mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Ahok juga meminta BPK menetapkan standar yang sama dalam mengaudit laporan keuangan di semua kabupaten, kota dan provinsi di Indonesia. Tentang hal ini, menurut Ahok, kinerja BPK mestinya diaudit. “Ada kepala daerah yang daerahnya dapat WTP, toh dia masuk penjara juga. Saya mau tahu ini, biar kita semua terbuka dan selesaikan masalah di republik ini supaya beres. Jangan BPK merasa kayak Tuhan Allah yang Mahakuasa saja di republik ini,” kata Ahok meninggi.
Dia pun meminta anggota BPK berani melakukan pembuktian harta terbalik. Pernyataan Ahok itu dilandaskan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Ratifikasi PBB Melawan Korupsi, yang antara lain mengatur: Jika harta seorang pejabat publik tidak sesuai dengan biaya hidup dan pajak yang dibayar, maka hartanya akan disita negara, dan dia dinyatakan sebagai seorang koruptor. “Saya mau tanya pejabat republik ini yang kaya raya, dari mana bayar pajaknya, pernah enggak BPK periksa semua? Ini saya mau buka secara terbuka semua,” sergah Ahok.
Paling bernyali lagi, Ahok menantang BPK untuk memeriksa serta mengaudit seluruh laporan keuangan yang terdapat di satuan kerja perangkat daerah (SKPD) serta unit kerja perangkat daerah (UKPD) DKI. “Mulai sekarang, periksa saja DKI sekencang mungkin, periksa saja. Kalau perlu, bikin Ahok bisa sampai masuk penjara,” kata Ahok.
Keberanian Ahok menantang BPK, bukan gertak sambal. Karena menurut Ahok, kondisinya akan semakin bagus bila dirinya bermusuhan dengan BPK.7] Sebab, menurut Ahok, BPK akan semakin kencang mengaudit serta memeriksa anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) DKI. Dalam kaitan itu, dia juga meminta PNS DKI untuk tidak takut jika BPK akan terus mengawasi transaksi keuangan di Pemprov DKI. Sebab, jika takut, berarti PNS tersebut diduga ‘bermain’ dengan APBD dan berupaya melakukan tindak pidana korupsi.
DPRD dan BPK terkesan mencari-cari kesalahan Ahok untuk menjatuhkannya dari jabatan gubernur. Boleh mungkin kesan ini tidak benar. Tapi itulah kesan yang timbul di publik yang percaya atas kejujuran Ahok untuk menghentikan korupsi dan kemunafikan di negeri ini. Indikasi kesan itu antara lain terkesan di mata publik, tatkala DPRD DKI Jakarta secara resmi (Jumat (30/10/2015) melaporkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke KPK terkait pembelian lahan RS Sumber Waras, Jakarta Barat yang didasarkan LHP BPK yang disebut berpotensi merugikan negara Rp.191 miliar.
Dengan percaya diri, Ahok menanggapi hal ini, memang itu haknya mereka. “Saya pikir lapor lebih bagus ya,” kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Kamis (29/10/2015). Seraya mempertanyakan dari mana kerugian pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras? Menurut Ahok, pembelian lahan RS Sumber Waras menggunakan nilai jual obyek pajak (NJOP) yang berlaku pada tahun pembelian atau tahun 2014. Ahok mengatakan penetapan NJOP itu bukan ditentukan oleh pihaknya, tapi berdasarkan zonasi yang ditetapkan sejak tahun 1994 sesuai database yang diserahkan oleh Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak.
Menurut Ahok, pembelian lahan RS Sumber Waras, sudah sesuai dengan UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah. Total pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras sebesar Rp.755 miliar. Sesuai dengan hasil appraisal (harga taksiran), nilai pasar lahan tersebut per 15 November 2014 Rp.904 miliar. Artinya, kata Ahok, nilai pembelian Pemprov DKI jauh di bawah harga pasar.
“Saya kira pembelian (lahan) jalan tol dan pembebasan MRT semua salah enggak belinya pakai harga appraisal? Aturannya bilang boleh beli pakai harga appraisal koq, kita sekarang malah beli lahan RS Sumber Waras di bawah harga appraisal,” jelas Ahok.
Mendobrak Rahasia Umum
Siapa gubernur, bupati, walikota atau menteri dan pimpinan lembaga negara yang berani dengan lantang menantang BPK, selain Ahok? Rasanya, belum ada! Masih Ahok satu-satunya. Pejabat lain memilih jalan selamat, kompromi. Jalan selamat dan kompromi itu sudah jadi rahasia umum, sistemik, tradisi.
Menurut catatan TokohIndonesia.com, KPK juga belum berhasil membuktikan rahasia umum yang sistemik dan lazim (tradisi) tersebut. KPK belum berhasil membongkar suap dan korupsi yang sistemik yang sudah jadi rahasia umum tersebut. Rahasia umum itu: Sudah adakah audit BPK yang bebas dari kompromi dan suap? Sama halnya dengan rahasia umum: Sudah adakah proyek pemerintah yang bebas dari korupsi/suap? Rahasia umum menjawab: Belum ada. Tapi, bagaimana umum (publik) bisa membuktikannya? Sesungguhnya, itulah tugas KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Sekali lagi, KPK belum berhasil mengungkap korupsi sistemik yang sampai sekarang masih (sudah) menjadi rahasia umum.
Apakah hal ini juga yang membuat Ahok begitu gusar?
Maka, seperti dikemukakan Peneliti Indonesia Budgeting Center (IBC) Roy Salam, tantangan Ahok kepada BPK itu seharusnya mendorong lembaga audit negara bekerja lebih baik. Pasalnya, kata Roy, publik masih banyak mempertanyakan hasil audit BPK dan opini atas audit tersebut.
“Publik masih banyak yang mempertanyakan kebenaran audit dan opini yang diberikan BPK atas laporan keuangan dari pemda atau lembaga tertentu. Opini BPK terkesan subjektif. Kritikan Ahok harus jadi diskursus bagi BPK untuk bekerja lebih baik dan objektif,” ujar Roy saat dihubungi Suara Pembaruan, Kamis (9/7/2015).
Roy mengatakan hasil audit BPK banyak yang aneh. Dia mencontohkan ada daerah yang miskin, partisipasi masyarakat rendah, tetapi BPK memberikan opini atas laporan keuangannya dengan rapor Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sebaliknya, ada daerah yang sejahtera dan tingkat partisipasi publik tinggi, tetapi BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian atau Disclimer,” tandasnya.
Seorang pembaca Detik.com, Santons @santons, memberi komentar tentang Ahok (10 November 2015):
“Kriteria orang yang bisa ngalahkan Ahok:
1. Berani
2. Tegas
3. Gak mau korupsi
4. Gak mau KKN
5. Gak mau terima suap
6. Rela gak kepilih lagi demi pertahankan kebijakannya
7. Taat bayar pajak (sesuai realita)
8. Siap dilakukan pembuktian terbalik hartanya
9. Siap keluar dari partai dg segala konsekwensinya.
Ayo…yg merasa sbg tokoh2 kota jkt yg merasa bekerja demi rakyat dan utk rakyat…bila anda memiliki 9 kriteria di atas (minimal) barulah anda akan bisa mengalahkan ahok. Kalau gak punya kri.”8]
Itulah Ahok, Sang Pemimpin Pendobrak Kemunafikan! Gubernur DKI Jakarta yang bermimpi suatu saat Indonesia bisa memiliki Undang-Undang Pembuktian Terbalik harta pejabat dan aparatur sipil negara dan Indonesia bisa melaksanakan seluruh transkasi dengan nontunai.9] Jika ada pejabat atau aparatur sipil negara tidak bisa membuktikan sumber hartanya, kekayaan tersebut disita oleh negara. Kata Ahok, ini sejalan dengan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melawan praktik korupsi. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com
(Footnotes)
1] Kemunafikan, perihal munafik; Munafik, berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua: ia tidak pernah berpura-pura, selalu jujur dan tidak munafik; munafikin [n] orang-orang munafik: golongan munafikinlah yang sering berkhianat dalam perjuangan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Depdiknas, Edisi Keempat, 2008, hlm.939)
2] Tag line laman Ahok.org: “Taat pada konstitusi, bukan pada konstituen. Lawan Korupsi, Kenapa harus takut jika hidup hanya sekali, Bersih, Transparan dan Profesional.”
3] Ahok – Basuki Tjahaja Purnama mengucapkan kata-kata yang dianggap tak pantas dalam wawancara live di Kompas TV. Presenter Kompas TV Aiman Witjaksono sudah mengingatkan Ahok soal wawancara live. Ahok saat itu mengungkapkan kemarahannya terkait dugaan korupsi oknum DPRD dan hak angket DPRD DKI Jakarta serta pemberitaan soal isterinya Veronica Tan.
4] Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) lewat akun resmi twitternya @basuki_btp, Jumat (20/3/2015) sekitar pukul 09.00 WIB meminta maaf kepada publik atas kata-kata kasarnya berbau ‘toilet’ saat wawancara live dengan Kompas TV. Saya masih lumayan keluarin bahasa toilet karena saya sudah nggak tahan. Namun, dia menegaskan, permintaan maaf itu tidak akan pernah disampaikan pada koruptor dan kemunafikan.
5] Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) DKI Jakarta adalah tunjangan/sumber penghasilan kepada PNS dan calon PNS diluar gaji. TKD diberikan berdasarkan penilaian kehadiran (TKD Statis) dan prestasi kerja (TKD Dinamis). TKD diberikan kepada semua PNS yang menduduki atau mempunyai jabatan sesuai dengan peringkat jabatan yang disusun berdasarkan evaluasi faktor jabatan. TKD tersebut diatur dalam Pergub DKI Jakarta No. 207 Tahun 2014. Dengan adanya TKD tersebut pendapatan PNS Jakarta sudah tergolong tinggi. Sebagai contoh, Kepala Biro bisa mencapai Rp. 53.100.000 (TKD Statis 26.550.000 dan TKD Dinamis Rp.26.550.000) di luar gaji pokok. Dan seorang PNS pemula (II/a) yang menduduki jabatan fungsional bisa mendapat TKD Rp.8.010.000 di luar gaji pokok.
6] Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mengemukakan hal itu saat meresmikan patung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kecil di Taman Amir Hamzah, Jakarta, Sabtu (25/4/2015).
7] Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), Gubernur DKI Jakarta pada Rakerda Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI, di Balai Kota, Selasa (7/7/2015).
8] http://news.detik.com/berita/3066395/ahok-akan-laporkan-soal-penyimpangan-timbangan-truk-sampah-ke-kapolda
9] Harapan tersebut ditulis Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan dimasukkan dalam Kapsul Waktu 2085 serta dibacakan di depan pers di Balai Kota, Jakarta, Sabtu (31/10/2015).