Pimpin Kursus jadi Universitas
Theresia Widia
[ENSIKLOPEDI] Dia bersama saudara dan teman-temannya mendirikan bimbingan tes dan kursus komputer yang menjadi cikal-bakal Universitas Bina Nusantara (UbiNus). Universitas ini berkembang dengan pesat di bawah kepemimpinan doktor bidang ilmu pendidikan dari Curtin University of Technology, Perth, Australia, ini sebagai Rektor. Rektor Universitas Bina Nusantara Doktor Theresia Widia Soerjaningsih meninggal dalam usia 54 tahun, Jumat 24 Desember 2004 sekitar pukul 02.40, di rumahnya di Kedoya, Jakarta Barat.
Jenazah disemayamkan di Rumah Duka Rumah Sakit Kanker Dharmais, dan dimakamkan hari Rabu (29/12/2004) di Pemakaman Gunung Gadung 2, Bogor, Jawa Barat. Dia meninggal karena menderita leukemia. Sekitar dua bulan sebelumnya pernah dirawat di sebuah rumah sakit di Melbourne, Australia. Widia, panggilan akrabnya, berkeinginan pulang sepekan sebelum meninggal.
Widia dilahirkan di Malang, Jawa Timur, 19 Oktober 1950. Anak ketiga (perempuan satu-satunya) dari enam bersaudara keluarga almarhum Joseph Wibowo dan Cicilia Setianingsih. Widia yang bersuamikan Eko Atmo Boedi Santoso meninggalkan tiga anak dan satu cucu.
Dia termasuk sosok yang cenderung pendiam. Ketika berbicara kata-katanya meluncur perlahan, disertai ekspresi wajah yang tak tampak perubahannya meski dia tengah bercerita soal keberhasilan atau kesusahan dalam hidupnya. Nada bicaranya pun cenderung datar-datar saja.
Widia tak pernah menduga bahwa usaha yang dulu dibuatnya karena terimpit masalah keuangan ternyata berkembang menjadi sebuah institusi pendidikan yang relatif diperhitungkan keberadaannya. Dari sebuah tempat bimbingan belajar di sebuah teras pada tahun 1974, sampai menjadi universitas (UbiNus) dengan sekitar 23.000 mahasiswa dan lebih dari 28.000 lulusan, pada saat akhir hayatnya.
Dia pernah bercita-cita menjadi dokter, lalu berubah ingin menjadi pramugari, akhirnya masuk di Jurusan Elektro Fakultas Teknik Universitas Trisakti. Lalu meraih S2 dari Program Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Indonesia tahun 1990 dan gelar S3 untuk bidang ilmu pendidikan di Curtin University of Technology, Perth, Australia.
Dari Kursus Jadi Universitas
Sewaktu ia masih kuliah di Universitas Trisakti, secara ekonomi keluarganya sedang jatuh. Bisnis ayahnya jatuh karena menerima pembayaran pakai cek kosong. Dalam kondisi orangtua seperti itu, dia dan saudara-saudara, harus berjuang. Mereka memulai sesuatu usaha baru yakni bimbingan tes.
Tahun pertama kuliah, dia masih dibiayai orangtua, tahun kedua setelah berjuang keras dia dapat beasiswa dari Trisakti. Kemudian, dia dan kakak tertuanya terpikir membuka tempat bimbingan tes untuk murid SMA dan yang mau masuk perguruan tinggi, seperti Siky Mulyono (tempat bimbingan tes yang populer di Jakarta tahun 1970-an).
Mereka tak punya modal uang, hanya punya pengetahuan. Jadi, kenapa tidak pengetahuan itu saja yang dibagikan? Kakaknya belajar kedokteran, mengajar kimia dan biologi. Sementara Widia mengajar pelajaran fisika dan matematika. Satu kakaknya yang lain mengurus pemasarannya.
Mereka bekerja sama dengan banyak orang, antara lain lewat teman-teman di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Cukup banyak siswa yang mau belajar, meskipun tempatnya cuma rumah kos sederhana di Grogol. Meja dan kursi panjang dibuat dari potongan kayu tak terpakai di Trisakti.
Tahun pertama, sudah banyak peserta kursus yang berhasil diterima di universitas yang diinginkan. Ucapan terima kasih pun cukup banyak mereka terima. Tahun berikutnya, Theresia tak bisa memberi bimbingan tes lagi, karena hampir tidak lulus ujian. Dia tidak punya cukup waktu untuk belajar. Besok ujian, hari ini dia baru belajar. Sangat riskan.
Setahun sebelum lulus sarjana, dia sempat bekerja di Pertamina. Di situ selama tiga bulan dia praktik komputer IBM. Sebenarnya semuanya dimulai dari kerja praktik ini. Ketika itu Pertamina mau mendirikan akademi komputer. Untuk proyek itu disiapkan 30-40 orang lulusan S1 untuk menjadi gurunya, termasuk Widia. Rencana ini akhirnya gagal.
Tetapi yang menarik perhatiannya, banyak ekspatriat yang mengerjakan komputer di Pertamina kerjanya praktis empat hari dalam seminggu. Sabtu mereka libur, Jumat mereka ikut orang Indonesia yang bekerja setengah hari. Theresia lalu berpikir kalau ilmu komputer itu bisa disebarkan.
Dia lalu omong sama orangtua. Orangtua langsung mendukung. Tahun 1974 di teras rumah orangtua dia memulainya, diberinama Modern Computer Course,. Teman-teman yang sama-sama belajar komputer di Pertamina mau menjadi guru kursus.
Kemudian, mereka bekerja sama dengan Panti Asuhan Vincentius di Jalan Kramat Raya untuk tempatnya. Konsepnya bagi hasil. Sejak itu dari mulut ke mulut orang tahu kursus komputer ini, siswanya dari anak muda sampai pegawai. Gurunya tergantung jumlah kelas yang ada, satu kelas sekitar 25-30 siswa. Makin banyak siswa, mereka perlu ruang lebih banyak, tinggal bilang sama Romo, boleh pakai ruang sebelah.
Tahun 1981 kebanyakan muridnya lulusan SMA dan tidak kuliah. Mereka ingin ada sedikit gelar. Lalu dibuka akademi dengan 500-an siswa angkatan pertama. Sekitar tahun 1978, mereka sudah bikin program aplikasi dan melayani kebutuhan beberapa perusahaan. Juga dirintis software house bersama IBM.
Ketika itu juga diputuskan untuk beli mesin komputer sendiri, cukup mahal. Nah, di sini jadwal yang dijanjikan IBM mundur, sebagai “ganti rugi” anak-anak boleh berlatih dengan komputer di kantor IBM. Anak-anak bilang, ‘wah keren, standar kita sudah internasional’. Ini blessing in disguise, ada beberapa perusahaan yang semula pelanggan IBM, lalu menarik anak-anak bekerja di perusahaan mereka. Ini juga menyebabkan nama baik kursus itu naik.
Tahun 1981 namanya Akademi Teknik Komputer (ATK), Juli 1984 berubah menjadi Akademi Manajemen dan Informatika Komputer (AMIK) Jakarta, tahun 1985 menjadi Bina Nusantara. Tahun 1987 diubah menjadi Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Komputer. Itu juga karena dorongan mahasiswa.
Tahun 1996 ada kebutuhan menjadikannya universitas karena dari tahun 1974 sampai 1996 masih hanya terkait pada komputer, ingin ada keseimbangan dengan ilmu-ilmu lainnya. Itulah yang memunculkan UBiNus.
Mereka yang bergabung di Binus hanya pakar-pakar komputer, sampai suatu saat dalam pertumbuhannya muncul konflik. Ada arogansi ilmu yang merasa lebih tinggi daripada yang lain. Makanya lalu terpikir untuk menunjukkan keindahan ilmu yang lain, biar tidak ada arogansi.
Jadilah UBiNus mengelola Fakultas Ilmu Komputer, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik, Fakultas Sastra, dan Fakultas MIPA. Selain itu, juga diadakan program ganda misalnya matematika dan teknik informatika, teknik industri, dan manajemen.
Sebenarnya ada yang bilang MIPA tidak laku karena MIPA identik dengan menjadi guru. Padahal, MIPA kalau digarap dengan baik akan menjadi fondasi yang baik karena di situlah dasar ilmunya. Dua tahun pertama mahasiswa MIPA di bawah lima orang.
Tahun ketiga dibuat inovasi untuk menarik siswa ke MIPA. Caranya dengan membuat program ganda, misalnya MIPA dengan Teknik Informatika. Ternyata peminatnya langsung melompat menjadi 120 orang. Program ganda itu akhirnya menjadi jurusan kebanggaan bagi mahasiswa.
Selain universitas, lembaga pendidikan Bina Nusantara juga mendirikan pendidikan mulai jenjang Taman Kanak-kanak, SD, SMP, SMA, S1, S2 dan S3. Alasan mendirikan pendidikan mulai dari jenjang terendah sampai tertinggi antara lain ingin membangun karakteristik siswa ditanamkan dari bawah, misalnya budaya bertanya, setidaknya sejak SD sampai SMA. Sehingga di universitas dilihat, kenapa siswa tidak berani bertanya di kelas? Maka, tahun 1998 dibentuk SMA. Dibuat yang bagus dan tidak tanggung-tanggung untuk mendapatkan hasil yang bagus.
Sebelum bergabung dengan Pertamina, dia sempat kerja di Metrodata sampai Jiwasraya. Juga sempat mengajar di Trisakti, sekitar tahun 1976-1978, tetapi terganggu karena kelahiran anak-anak, buah pernikahannya (1975) dengan Eko Santoso, lulusan ITB, bekerja di IBM sampai pensiun, dan kemudian berkecimpung di Information Technology UBiNus. Mereka mendidik anak-anaknya untuk mencintai buku dan membiasakannya dengan komputer sejak berusia balita. e-ti/tsl