Rela Mundur Hindari Pertumpahan Darah

[ Soeharto ]
 
0
6212

07 | Malah Dituduh Terkait G-30-S/PKI

Reformasi ternyata kebablasan juga menghembuskan pemutarbalikan fakta sejarah. Mereka yang terlibat G-30-S/PKI malah menuding Pak Harto terkait.

Bualan Latief bahwa Pak Harto terlibat G- 30-S/PKI dimulai dari pengakuan pertemuannya dengan Pak Harto. Bu Dul, yang menjadi kepala rumah tangga sekaligus juru masak keluarga Pak Harto di Jalan H. Agus Salim, No. 98, Jakarta, kala itu, menjadi saksi bagaimana Kolonel Latief bisa bertemu dengan Pak Harto. Latief mendekati Bu Dul untuk memohon agar Pak Harto berkenan ditemui Latief. Pak Harto menyanggupi permintaan itu.

Kemudian, Latief memutarbalikkan isi pembicaraan dalam pertemuan itu. H Probosutedjo, adik kandung Pak Harto menyampaikan fakta dan kesaksian seputar pemutarbalikan fakta dalam tuduhan Latief tersebut, eksklusif kepada TokohIndonesia.

Minggu, 25 September 1965, pukul 11.00. Latief, Asintel Kodam V Jaya, (yang kemudian menjadi komandan operasi militer G-30-S/PKI), bertandang ke kediaman Pak Harto di Jalan H. Agus Salim 98, Jakarta. Pak Probo saat itu ada di rumah, karena ia tinggal di situ, jadi ia tahu tentang pertemuan tersebut. Tetapi Pak Probo tidak dengar apa yang mereka bicarakan.

Setelah Latief pulang, kakak beradik itu makan siang satu meja. Pak Probo mengajukan pertanyaan: “Ada apa mas koq Latief tadi lama sekali?” Pak Harto menjawab: “Latief tanya soal Dewan Jenderal. Ia pikir Dewan Jenderal itu mau melawan Bung Karno. Ketuanya kan saya. Masa’ saya mau mengkup pemerintah.”

Lalu Pak Harto memberi penjelasan lebih lanjut kepada Latief: “Dewan Jenderal itu tujuannya untuk menyaring kenaikan pangkat perwira tinggi AD, agar jangan sampai terus mengalir ke atas. Nanti kebanyakan jenderal.”

Latief intelnya PKI dan Kodam V Jaya. Latief tentu tidak bisa ketemu begitu saja dengan Pak Harto, tanpa ada orang yang menjembatani. Dia pun mendekati Bu Dul.
Bu Dul, yang tidak berprasangka meminta waktu Pak Harto supaya bisa menerima Latief. Pak Harto setuju. Hal ini diketahui Pak Probo dari Bu Dul sendiri.

Tetapi sewaktu terjadi G-30-S/PKI, lima hari kemudian (30 September 1965), dan Latief terlibat, Pak Probo marah pada Bu Dul: “Kenapa dia dibawa ke sini?” Bu Dul menjawab: “Waduh, saya ini kan nggak ngerti nak. Saya pikir orangnya baik. Tapi kok begitu.”

Menurut Pak Probo, itulah kejadian yang sebenarnya. Jadi, tidak benar Pak Harto terlibat. Itu memang pekerjaan orang PKI, orang tidak ber Tuhan, orang atheis. PKI itu kerjanya memutar balik fakta.

Terus terang saja, PKI sudah dua kali mengkhianati republik ini. Yang pertama September 1948, di Madiun. Waktu itu mereka yang terlibat tidak sempat diadili. Sebab dalam bulan Desember, tentara Belanda menyerbu kota Yogyakarta (ibukota RI di pengungsian). Semua tahanan PKI dibebaskan, ikut bertempur lagi, akhirnya dilupakan.

Advertisement

Pertemuan di RS
Sementara itu, Pak Harto sebagaimana dikutip di dalam buku, Siti Hartinah Soeharto, Ibu Utama Indonesia (1992) mengisahkan: “Tanggal 30 September 1965. Kira-kira pukul sembilan malam, saya bersama istri berada di Rumah Sakit Gatot Subroto. Kami menengok anak kami, Tommy, yang masih berumur empat tahun, dirawat di sana karena tersiram air sup yang panas. Kira-kira pukul 10 malam saya sempat menyaksikan Kol. Latief berjalan di depan zaal tempat Tomy dirawat.”

Lalu menurut Pak Probo, soal Latief mengaku ketemu Pak Harto di rumah sakit Gatot Subroto pada malam menjelang G-30-S/PKI, sebenarnya ia tidak ketemu. Ia cuma mengecek apakah benar Pak Harto ada di RS. Karena ia tanya lagi kepada Bu Dul, dan dijelaskan: “Putra Pak Harto (Tommy) tersiram sop panas sehingga dirawat di rumah sakit. Pak Harto setiap malam tidur di rumah sakit.”

Pada hari Senin (26/9-65), ada orang yang mengantar daging rusa, sebagian dimasak sendiri oleh Bu Tien, dibuat sop. Sewaktu Bu Tien (istri Pak Harto) mengangkat sop yang sudah matang, Tommy, ketika itu berusia 4 tahun, berlari-lari, menabrak Bu Tien, sopnya tumpah menyiram sekujur tubuh Tommy. Tommy berlari-lari karena dikejar adiknya, Mamiek yang waktu itu sedang belajar jalan.

Sewaktu Tommy dirawat, kedua orang tuanya menjaga bergiliran, Bu Tien siang hari dan Pak Harto malam hari. Siangnya, Pak Probo dan adik Bu Tien, kadang-kadang menemani Bu Tien menjaga Tommy. Malam itu (Senin), Latief ingin membuktikan, apakah benar Pak Harto ada di rumah sakit, ternyata benar.

Ketika terjadi operasi penculikan oleh PKI, dinihari 1 Oktober 1965, rumah Pak Harto tidak digerebek oleh pasukan Cakrabirawa, karena Pak Harto tidak di rumah. Pak Harto selamat.

Pak Probo yakin, itu sudah merupakan ketentuan Tuhan. Kenapa Tommy kesiram sop sehingga dirawat berhari-hari dan Pak Harto mesti ada di rumah sakit. Seandainya Tommy tidak tersiram sop, Pak Harto ada di rumah, ia pasti digerebek oleh pasukan penculik PKI.

Tidak Dekat Pak Harto
Menurut Pak Probo, Latief tidak dekat dengan Pak Harto, bukan anak buah langsung. Dulu di zaman perang gerilya tahun 1949, ia memang bergerilya di Yogyakarta bagian barat. Sedangkan Pak Harto komandan Wherkreise III yang keliling seluruh Yogya, jadi sering ke Yogya Barat. Pak Probo juga gerilya di situ. Pak Probo ingat, Latief di Yogya barat bagian selatan, sedang ia sendiri Yogya barat bagian utara. Yang memimpin perang gerilya di seluruh Yogya adalah Pak Harto.

Jadi Latief tidak berhubungan sama sekali dengan Pak Harto.
Jika Latief mengatakan sewaktu anaknya disunat dipangku oleh Bu Tien, menurut Pak Probo, itu kan omongan yang berlebihan. “Mana ada orang sunat dipangku ibunya. Di mana pun orang sunat nggak ada yang dipangku ibunya, apalagi dipangku oleh ibu lain. Itulah kebohongan Latief,” kata Probo.

Perihal Letkol Untung
Sewaktu konfrontasi dengan Malaysia, ada seorang Mayor di Kostrad, namanya Untung. Pak Harto, Panglima Kostrad. Tahu-tahu Untung mengajukan lamaran kepada Kolonel Sabur, Komandan Cakrabirawa, untuk diterima sebagai Komandan Cakrabirawa. Lamaran itu diterima oleh Sabur. Waktu itu, Pak Harto kaget dapat surat dari Sabur. Tahu-tahu Untung dipindahkan ke situ. Pak Harto kemudian menelpon Sabur. (Pak Probo ada di dekat Pak Harto).

“Kenapa Untung dimasukkan ke situ. Orangnya berbahaya, tidak bisa dipegang,” kata Pak Harto kepada Sabur. “Biar saja nanti saya yang mengendalikan. Saya perlu orang seperti dia,” jawab Sabur.

Kemudian, Letkol Untung ternyata memimpin Dewan Revolusi Indonesia, atasan Kolonel Latief di dalam operasi militer Gerakan 30 September yang didalangi PKI.

Sidang Istimewa MPRS 1967
Suasana sangat mencekam ketika MPRS membuka sidang istimewa, 8 Maret 1967. Jenderal Soeharto memberikan uraian panjang lebar tentang G-30-S/PKI serta situasi politik, keamanan, ekonomi dan sosial menyusul tragedi berdarah tersebut. Dia menyukuri bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), selamat dari bahaya setelah melewati cobaan yang sangat berat, dini hari 1 Oktober 1965.

Lewat perdebatan sengit beberapa hari, SI-MPRS akhirnya menetapkan dua keputusan penting: Mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden dan penyelesaian masalah hukum mantan Presiden Soekarno diserahkan kepada Pejabat Presiden. Setelah SI-MPRS, Pak Harto mengatakan di dalam pidato radionya bahwa, “untuk sementara kita akan memperlakukan Bung Karno sebagai Presiden yang tidak lagi memegang kekuasaan, sebagai Presiden yang tidak mempunyai kuasa di bidang politik, kenegaraan atau pemerintahan.”

Sampai Bung Karno meninggal dunia, 21 Juli 1970, dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar, Pak Harto berusaha memegang janjinya, tidak membawanya ke pengadilan, meskipun ada tuntutan masyarakat untuk digiring ke Mahmilub (Mahkamah Milter Luar Biasa).

Setahun kemudian, 27 Maret 1968, Pak Harto dikukuhkan oleh SI-MPRS sebagai Presiden RI kedua. Presiden yang baru dikukuhkan itu diberi amanat oleh SI-MPRS untuk menyelenggarakan Pemilu tahun 1971. Pak Harto memilih dengan penuh keyakinan untuk melaksanakan demokrasi Pancasila untuk mewujudkan masyarakat yang sosialistis religius. Ciri-ciri utamanya: tidak dapat menyetujui adanya kemelaratan, keterbelakangan, pertentangan, pemerasan, kapitalisme, feodalisme, kediktaturan, kolonialisme dan imperialisme. sh, sp, wawancara TokohIndonesia.com, dan berbagai sumber, di antaranya Otobiografi Soeharto. (Majalah Tokoh Indonesia No.24)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here