Srikandi Kebebasan Beragama
Sinta Nuriyah Wahid
[ENSIKLOPEDI] Sinta Nuriyah Wahid, Sang Ibu yang tak pernah lelah menyuarakan kebebasan beragama dan membela hak-hak konstitusional kelompok minoritas. Isteri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut patut diapresiasi sebagai Srikandi Kebebasan Beragama di Indonesia.
Ibu Negara RI (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kelahiran Jombang, 8 Maret 1948, di tengah keterbatasan pisiknya (sakit tulang punggung yang menharuskannya pakai kursi roda), selain tak kenal lelah menyuarakan kebebasan beragama juga gigih memperjuangkan hak-hak konstitusional perempuan. Dia aktif sebagai Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dari Komnas Perempuan.
Ibu dari empat orang putri Alissa Qotrunnada Munawaroh (Lissa), Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Nita), dan Inayah Wulandari (Ina), ini memang seorang aktivis perempuan Indonesia. Dia adalah anggota Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang merupakan federsi berbagai organsiasi wanita di Indonesia, juga anggota Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (National Commission on the Status of Women).
Dalam hal menyuarakan kebebasan beragama, Ibu Sinta mengatakan selama ini negara adalah salah satu pelaku pelanggaran hak-hak kebebasan beragama. Dalam acara Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama di Hotel Bidakara, 22 Desember 2014, dia menegaskan bahwa negara ikut sebagai pelaku dalam melembagakan diskriminasi kelompok minoritas agama lewat kebijakannya.
Sinta memaparkan hasil pemantauan timnya di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi sejak Juni 2012 hingga 2013. Dalam pemantauan itu, timnya telah melakukan wawancara dan diskusi kelompok dengan 407 narasumber yang terdiri atas 326 korban dan anggota komunitas korban intoleransi, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran dan 24 anggota organisasi masyarakat yang berada di sekitar lokasi pemantauan.
Sinta memaparkan hasil pemantauan timnya di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi sejak Juni 2012 hingga 2013. Dalam pemantauan itu, timnya telah melakukan wawancara dan diskusi kelompok dengan 407 narasumber yang terdiri atas 326 korban dan anggota komunitas korban intoleransi, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran dan 24 anggota organisasi masyarakat yang berada di sekitar lokasi pemantauan.
Sinta mengungkap beberapa contoh kejadian sikap intoleran negara terhadap umat beragama dari hasil pemantauan itu. Di antaranya, izin pendirian rumah ibadah. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Bersama 2 Menteri/SKB Nomor 1/1969. Menurut Sinta, Pasal 4 ayat 3 SKB Nomor 1/1969 tersebut bersifat multitafsir dan justru pasal karet untuk menghalangi pendirian rumah ibadah.
Sinta mengatakan salah satu masalah pendirian rumah ibadah adalah dalam kasus GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Menurutnya persoalan penghambatan pendirian rumah ibadah itu menjadi tonggak penting keseriusan negara menjamin hak kemerdekaan beragama.
Selain itu, Sinta Nuriyah Wahid juga memaparkan dan mengritik negara terlibat dalam hal penghakiman atas keyakinan. Dia menyebut pada 15 Januari 2008, negara membentuk Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang berwenang melakukan pengawasan terhadap keberadaan organisasi dan kelompok aliran keagamaan. Lalu, Bakorpakem pada 16 April 2008 menyatakan Ahmadiyah menyimpang dari Islam.
Dia juga memaparkan berbagai kebijakan daerah terkait penghakiman atas keyakinan. Sejak tahun 2001 hingga akhir 2013 tercatat setidaknya 38 kebijakan daerah yang terkait dengan pelarangan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat,” kata Sinta.
Beberapa kebijakan pemerintah dalam menangani pengungsi yang terkait dengan sengketa agama juga disorotinya. Sebagaimana dialami pengungsi Ahmadiyah dan Syiah yang terpaksa mengungsi akibat intoleransi. Dia mengatakan bahwa pengungsi Ahmadiyah dan Syah juga mengalami perampasan hak atas kemerdekaan beragama dalam hal hak atas jaminan rasa aman, hak atas kehidupan yang layak, serta hak atas properti dan bertempat tinggal.
Sinta melaporkan bahwa kantor urusan agama sebagai perpanjangan pemerintah dalam hal mengurus administrasi pernikahan juga menjadi salah satu tempat terjadinya intoleransi oleh negara. “Ada beberapa kelompok agama minoritas, salah satunya Ahmadiyah, yang merasa dipersulit dalam urusan pencatatan sipil. Mereka sulit mengakses layanan publik itu. Banyak kelompok Ahmadiyah yang diminta menyatakan dirinya secara Islam sebelum menikah di KUA,” papar Sinta. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com