Bangun Negara dari Kesenian
Debra Yatim
[DIREKTORI] Bukan tanpa maksud jika selama ini Debra Yatim, aktivis Koalisi Perempuan, Jurnal Perempuan dan Perempuan Peka, getol menghidupkan kembali berbagai aktivitas kesenian. Bagi dia, membangun sebuah negara yang berbudi tak lepas dari dunia kesenian.
Pendeknya, menurut ibu satu anak ini, akan lebih bagus jika perilaku orang Indonesia itu berakar dari kebudayaan dan kesenian yang lahir dari bumi Indonesia sendiri. Itu sebabnya Debra sangat menyayangkan jika semarak perayaan Valentine yang akarnya nun jauh di Italia sana menjadi tradisi anak muda Indonesia.
Memang, ketika Debra muda gebyar Velentine belum sampai merambah Jakarta. Namun kira-kira 15 tahun silam beberapa majalah untuk kalangan muda mulai memperkenalkan budaya tersebut. Bahkan beberapa tahun kemudian bukan hanya majalah tetapi juga hotel, tempat-tempat hiburan menyambutnya sebagai suatu momentum untuk tujuan komersial.
Jadi Valentine sekarang ini tidak lebih dari sebuah gerakan masyarakat yang didorong oleh faktor ekonomi alias komersial yang mengarahkan pada gaya hidup seseorang,” tandas direktur Komseni (komunikasi untuk seni) ini.
Tentu sebagai budayawan dan pengamat sosial yang juga mantan wartawan, Debra kurang setuju jika Valentine nantinya menjadi sebuah tradisi yang seakan-akan telah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia. “Kenapa tidak menggali sebuah perayaan yang berakar dari bumi Indonesia sendiri,” tanyanya antusias.
Kelahiran kebudayaan Zatin misalnya, lanjut Debra, jauh lebih berakar dan bermanfaat. Kebudayaan melayu yang dulu mudah dijumpai di kalangan masyarakat Sumatra, daerah pesisir pantai barat di Kalimantan serta beberapa daerah di ranah Sunda ini malah lebih dulu diklaim oleh Malaysia.
Padahal kebudayaan tersebut sarat dengan kebersamaan, solidaritas, persatuan yang tak jauh beda dari sebuah makna kasih sayang sesama. Selain itu, akarnya sangat kuat bukan hanya untuk kalangan masyaraka Indonesia tetapi juga bisa menjadi sebuah kebersamaan dengan negara tetangga.
Zatin tidak hanya ada di Indonesia tetapi hampir dikenal oleh sebagian besar masyarakat melayu di Malaysia, Brunei, Vietnam dan Thailand. Dengan begitu kebudayaan ini bisa menjadi perekat antar bangsa. “Gak usah jauh-jauh ke Eropa.”
Itulah Debra, cintanya terhadap seni dan budaya membuat wanita ini tergolong super sibuk. Bahkan belakangan dia harus bolak-balik Jakarta-Aceh untuk kampanye perdamaian untuk perempuan Aceh. Dia juga terlibat berbagai kampanye besar untuk mempromosikan gagasan multikulturalisme di Indonesia kepada anak-anak kecil.
Bukan itu saja. Saat ini, ibu dari Zulaikha ini juga giat mempromosikan bentuk seni tradisional lewat media massa. Pokoknya, dia adalah wanita yang sangat yakin bahwa bangsa Indonesia masih memiliki akar budaya yang kuat di tengah-tengah terpaan popularitas kebudayaan global. (Dwi Wahyuni, Bisnis Indonesia Minggu, 12 Februari 2006)