Bankir Pecinta Golf dan Jazz
Gita Wirjawan
[DIREKTORI] Sebelum bergabung dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II sebagai Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), mantan orang nomor satu di JP Morgan Indonesia ini sudah malang-melintang di dunia bisnis dan investasi terutama pasar modal. Dunia lain yang dijalani jebolan Harvard University ini adalah dunia olahraga khususnya golf dan dunia musik sebagai promotor dan musikus jazz.
Gita Wirjawan resmi menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) di penghujung 2009. Sebagai Kepala BKPM periode 2009-2014, ia bertugas membenahi berbagai permasalahan investasi yang ada di Indonesia.
Dalam hal investasi, Gita meyakini bahwa pembangunan di Indonesia masih memerlukan bantuan keuangan. Indonesia sebagai negara berkembang memerlukan investasi asing sebagai penunjang kekurangan modal yang terjadi. Gita mengumpamakan Indonesia adalah sebuah bangunan yang kekurangan dana untuk membuat atapnya.
Oleh sebab itu, bantuan dari luar sebaiknya tidak ditanggapi negatif. Dengan sudut pandang positif, bantuan ini harus diartikan sebagai modal untuk membangun kekuatan ekonomi. Dan kebetulan pihak luar negeri memiliki sumber bantuan tersebut. Sebenarnya orang Indonesia sendiri yang harus mengelola sumber dayanya sendiri, tetapi untuk periode tertentu bantuan masih dibutuhkan.
Di sisi lain, Gita mengakui bahwa meminta bantuan dari luar negeri memang dilematis. Sebagian kalangan menilai bahwa ini tidak nasionalis dan hanya membahayakan kondisi ekonomi dalam negeri. Bagi Gita, pandangan itu salah. Bantuan dari luar negeri seharusnya diartikan sebagai dukungan untuk membangun ekonomi negara bukan menjual negara. Sekali lagi, ia menegaskan bahwa bantuan itu harus ditanggapi dengan pola pikir positif.
Gita Irawan Wirjawan atau yang lebih dikenal dengan nama Gita Wirjawan memulai karirnya sebagai bankir di Citibank. Setelah itu, jebolan Kennedy School of Government, Harvard University ini meneruskan studinya ke jenjang S-2 di universitas yang sama dan lulus tahun 2000. Usai merampungkan pendidikan masternya, pria kelahiran Jakarta, 21 September 1965 ini hengkang dari Citibank lalu bekerja di Goldman Sachs Singapura, sebuah bank yang didirikan oleh Marcus Goldman, hingga tahun 2004. Tahun berikutnya ia pindah bekerja ke ST Telekomunikasi, masih di Singapura. Di perusahaan tersebut, ia bekerja selama kurang lebih satu tahun sebelum akhirnya berlabuh ke JP Morgan Indonesia.
Di JP Morgan, ia menjabat sebagai direktur utama selama dua tahun, 2006 hingga 2008. Sebenarnya, sejak pertengahan tahun 2007, ia mengaku telah memikirkan rencana hengkang dari perusahaan perbankan itu untuk selanjutnya mulai mencoba peruntungannya sebagai seorang pebisnis. Keputusan itu diambilnya bukan tanpa alasan sebab saat itu dia mencium bakal terjadinya resesi ekonomi di Amerika, yang akan berdampak ke seluruh dunia.
Gita pun mencoba memberitahukan hal tersebut kepada pemerintah, ekonom, serta kalangan pengusaha, tapi sayang tak ada yang peduli. Tak mau pusing dengan cibiran orang, Gita berancang-ancang mendirikan perusahaan investasi. Ia kemudian mempersiapkan dana untuk membeli saham-saham perusahaan yang diperkirakan akan jatuh terimbas krisis global.
Pada tahun 2008, ia mulai merealisasikan keinginan tersebut dengan mendirikan sebuah perusahaan investasi bernama Ancora Capital yang bergerak di bidang sumber daya dan pertambangan. Dalam hitungan bulan, perusahaan ini mengambil alih sebagian saham PT Apexindo Pratama Duta Tbk, PT Bumi Resources Tbk, PT Multi Nitrat Kimia, perusahaan properti di Jakarta, dan sebuah perusahaan properti di Bali. Untuk kelancaran bisnisnya, Gita banyak mengandalkan koneksinya saat kuliah di Harvard. Karena jalinan koneksinya itu, kata Gita, ia kerap diminta pemerintah menjalin lobi dengan beberapa pemimpin dunia.
Selain aktif di dunia bisnis dan pemerintahan, Gita juga aktif di dunia olahraga dan musik. Di dunia olahraga, Gita merupakan penggemar golf sejak masih belia, persisnya di usia 10 tahun. Awal perkenalan Gita pada olahraga kelas atas itu, tak lepas dari peran sang ayah, Wirjawan Djojosugito (almarhum). Ketika itu Wirjawan yang rajin bermain golf di akhir pekan selalu mengajak buah cintanya dengan Paula Warokka itu untuk menemaninya. Lama kelamaan Gita pun mulai tertarik dan mulai menekuninya.
Hobi itu berlanjut ketika Gita pada usia 13 tahun mengikuti orang tuanya, yang ditugaskan ke Bangladesh sebagai wakil pemerintah Indonesia di Badan Kesehatan Dunia (WHO). Dari Bangladesh, keluarga Wirjawan pindah ke India tiga tahun berikutnya. Di kedua negara itu, lelaki kelahiran Jakarta 21 September 1965 ini terus mengasah kemampuan bermain golfnya hingga menjuarai beberapa turnamen regional.
Bukan hanya sekadar menjadi pemain, kecintaannya pada golf pada akhirnya membuat dia berkomitmen untuk mencetak para pegolf muda berbakat lewat sekolah yang didirikannya, Ancora Golf. Tak tanggung-tanggung, sekolah tersebut juga dilengkapi asrama dengan berbagai fasilitas penunjang seperti televisi plasma, Wi-Fi, dan penyejuk udara. Instrukturnya pun didatangkan langsung dari Singapura untuk dipersiapkan mewakili Indonesia dalam kompetisi internasional. Bahkan biaya hidup siswa Ancora Golf, seluruhnya ditanggung Gita, termasuk uang saku Rp 4 juta per bulan. Gita berharap dengan dukungan fasilitas-fasilitas itu, ia ingin seluruh siswanya dapat serius berlatih dan tak lagi memikirkan masalah biaya.
Selain aktif di dunia bisnis dan pemerintahan, Gita juga aktif di dunia olahraga dan musik. Di dunia olahraga, Gita merupakan penggemar golf sejak masih belia, persisnya di usia 10 tahun. Awal perkenalan Gita pada olahraga kelas atas itu, tak lepas dari peran sang ayah, Wirjawan Djojosugito (almarhum). Ketika itu Wirjawan yang rajin bermain golf di akhir pekan selalu mengajak buah cintanya dengan Paula Warokka itu untuk menemaninya. Lama kelamaan Gita pun mulai tertarik dan mulai menekuninya.
Suami dari Yasmin Stamboel, seorang karyawati yang bekerja di sebuah perusahaan pemeringkat Standard & Poor’s ini juga menularkan hobi bergolfnya pada tiga anaknya, Gian, Gibran dan Gia. Bahkan si sulung, Gian, kerap mengikuti berbagai turnamen golf baik tingkat nasional maupun dunia.
Selain golf, Gita juga gemar bermain basket, renang, dan sepak bola. Tapi, karena faktor usia dan waktu, hanya golf yang masih rutin dilakukannya.
Sementara di kalangan musisi, jebolan sekolah musik Berkeley, Amerika Serikat, ini dikenal sebagai promotor dan musikus jazz. Melalui label rekaman miliknya, Omega Pacific Production, ia sukses mengorbitkan Bali Lounge, pembetot bas Hari Toledo, dan Nial Djuliarso. Beberapa nomor lagu dalam album-album milik penyanyi-penyanyi tadi bahkan merupakan hasil gubahannya sendiri, baik lirik maupun aransemen musiknya.
Gita juga pernah beberapa kali tampil di atas pentas menunjukkan kebolehannya mengolah nada. Seperti pada 2005, ia bermain bersama pentolan grup jazz Fourplay, Bob James, ketika menggelar pentas di Jakarta. Selain memproduksi album jazz, Gita juga mengeluarkan album pop, seperti Tompi dan Dewi ‘Dee’ Lestari. Alasannya sederhana saja agar dapat diterima lebih banyak orang.
Kecintaan Gita pada musik sudah dimulai sejak kanak-kanak. Awalnya sang ayah memintanya belajar piano klasik meski mulanya Gita merasa tidak tertarik. Namun lama-lama ia mulai menikmatinya. Sejak itu kesehariannya selalu diisi dengan kegiatan bermusik, mulai dari belajar bermain gitar, biola, saksofon, hingga siter, alat petik dalam musik Jawa. Dari semua alat musik yang bisa ia mainkan, gitar melodi adalah favoritnya.
Sama seperti kegandrungannya pada golf, kecintaan Gita pada jazz mulai terpupuk sejak usia 13 tahun. Ketika itu ia secara tak sengaja mendengar permainan musik para jazzer kelas dunia seperti Earl Klugh, Dave Brubeck, Wes Montgomery, Duke Ellington, hingga raja jazz Miles Davis yang diputar kakaknya. Itulah sebabnya, Gita banyak menghabiskan masa-masa sekolah dengan menekuni mata pelajaran musik dan olahraga. Hingga kuliah di Berkeley, Amerika Serikat pun, ia mengambil matematika dan musik sebagai mata pelajaran utama.
Saat berkuliah di tahun keempat, ibunda Gita khawatir dan tidak menginginkan anaknya terlalu tekun bermusik karena takut lulusan sekolah musik susah mencari pekerjaan. Karena itu, ia mulai beralih ke mata kuliah bisnis, yang dia kebut dua tahun sampai menggondol gelar sarjana administrasi bisnis dari Kennedy School of Government, Harvard University, Amerika Serikat, hingga akhirnya terjun sebagai bankir.
Sebenarnya Gita amat mencintai dunia musik tapi kesibukannya sebagai bankir membuatnya harus memutuskan berhenti bermain musik. Pada 1995, ia masih bisa manggung di beberapa kafe, seperti Hard Rock dan News Cafe. Tapi, sejak 1997, ia memutuskan berhenti manggung di kafe. Meski begitu, mimpinya tentang musik tak ditanggalkannya. Sama dengan kecintaannya pada golf, Gita berniat mendirikan sekolah jazz.
Selain Ancora Capital yang bergerak dalam bidang investasi, Ancora Golf sekolah untuk para pegolf pemula, dan sebuah perusahaan rekaman Omega Pacific Production, Gita juga mendirikan Ancora Foundation, sebuah yayasan yang bergerak di bidang kemanusiaan khususnya pendidikan.
Yayasan tersebut memfokuskan diri pada donasi pendidikan untuk pemuda Indonesia dengan membuat beberapa program beasiswa untuk bersekolah di beberapa universitas ternama di antaranya John F. Kennedy School of Government, Harvard University ; University of Cambridge ; University of Oxford ; Nanyang Technological University ; Universitas Paramadina ; dan Universitas Multimedia Nusantara. eti | muli, red