Berpolitik Demi Rakyat

[ Nurdin Tampubolon ]
 
0
280
Nurdin Tampubolon
Nurdin Tampubolon | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Pria paruh baya DR. Ir. Nurdin Tampubolon kelahiran desa Siabalabal, Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara 29 Desember 1954, ini setelah sukses berbisnis sebagai pengusaha dengan berbagai karya nyata, ia merambah ke dunia politik. Tekadnya sebagai politisi ingin berjuang dan mengabdi menyejahterakan rakyat. Anggota MPR RI 2003-2004 ini berhasil meraih kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sumatera Utara periode 2004-2009.

Dia dinominasikan menjadi Wakil Ketua DPD. Namun dalam pemilihan dia hanya berada dalam posisi kedua dengan meraih 25 suara, diungguli Irman Gusman yang meraih 50 suara. Calon lainnya, Kasmir Tri Putra (23 suara), Malik Raden (14 suara), Bambang Suroso (delapan suara), dan Mediati Hafni Hanum (satu suara). Sementara mewakili wilayah timur, terpilih La Ode Ida.

Sebagai anggota DPD dia konsisten bersikap netral menghadapi Pemilu Presiden. Nurdin menegaskan hal itu usai bertatap muka dengan Megawati Soekarnoputri, calon presiden dari empat partai besar anggota Koalisi Kebangsaan pada Rabu, 25 Agustus 2004 di kediaman Megawati Jalan Teuku Umar 27-A, Menteng, Jakarta.

Dia pun kini dinominasikan berbagai kalangan akan terpilih menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili wilayah Barat sekaligus keterwakilan golongan yang mencerminkan pluralisme. Dia memang dikenal seorang yang berjiwa kebangsan dan diterima semua golongan.

Pengusaha sukses pendiri, pemilik, sekaligus chairman & chief executive officer berbagai perusahaan yang tergabung dalam Grup Sonvaldy, ini mulai menampakkan kegesitan meraih sukses semenjak mengundurkan diri dari ikatan dinas di PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), di Kuala Tanjung, Asahan, Sumatera Utara di awal tahun 1980-an.

Dia dengan berat hati meninggalkan Inalum, perusahaan patungan Pemerin-tah RI-Jepang yang pernah memberinya kesempatan beasiswa Association Overseas Technical Scholarships (AOTS) Jepang, untuk memperdalam ilmu bidang Electro Mechanical Engineering & Metallurgi selama 15 bulan, ditambah masa bekerja setahun di Sumitomo, Jepang. Anak “Siantar Men” ini mengundurkan diri hanya untuk membuktikan bahwa dia mempunyai kemampuan dan kapasitas lebih serta sanggup bersaing di pasaran.

Tujuannya adalah Jakarta. Jakarta atau Bandung yang mempunyai perguruan tinggi ternama Universitas Indonesia (UI) Jakarta dan Institut Teknologi Bandung (ITB), adalah dua kota rantau idaman Nurdin yang pernah tertunda sebelumnya. Ketika tamat SMA ayahnya, Umar Tampubolon tidak mengijinkannya mengambil kuliah kesarjanaan kecuali setingkat akademi, itupun Akedemi Tekstil di kota Medan.

Alasan ayahnya yang hidup dari bertani dan mengelola sebuah pabrik padi di Siabal-abal, masih ada kakak dan abang Nurdin berstatus mahasis-wa membutuhkan biaya besar. Nurdin, anak ketiga dari sepuluh bersaudara -yang di kemudian hari ke-10 anak bersaudara itu menamatkan pendidikan hingga tingkat sarjana semua, merasa “dipaksa” masuk akademi agar cepat selesai dan langsung bekerja.

Dalam batinnya timbul “pemberontakan”. Sebab dalam keyakinan hati dia merasa mempunyai kesanggupan bersaing memasuki UI Jakarta atau ITB Bandung. Maklum, sepanjang Sekolah Dasar, SMP dan SMA dia selalu juara-juara umum tingkat sekolah. Semenjak SMP minatnya akan soal-soal keteknikan dan teknologi sudah mulai bersemai.

Tanpa sepengetahuan keluarga apalagi ayahnya dia mendaftarkan diri ke Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (FT-USU), Medan, dan diterima. Menginjak kuliah tahun ketiga dia sudah sanggup membiayai sendiri hidup dan perkuliahan dari hasil mem-berikan les dan bimbingan tes di berba-gai tempat. Bahkan, di FT-USU dia diangkat Ketua Bimbingan Tes FT-USU.

Advertisement

Menjelang akhir studi yang sudah empat setengah tahun dijalani masih menyisakan satu tugas akhir, dia memperoleh kesempatan beasiswa dari AOTS Jepang dan bekerja di Sumitomo. Berdasar ikatan dinas, dia harus bekerja di Inalum sepulang dari Jepang di tahun 1981. Kesempatan bekerja di kawasan Sumatera Utara itu dimanfaatkannya untuk menyeselaikan kuliah agar paripurna memperoleh gelar sarjana teknik atau insinyur.

Di Inalum dia sangat disenangi teman-temannya. Nama dia tercatat sebagai salah seorang karyawan pertama bagian produksi yang bekerja di industri peleburan aluminium terbesar di Asia Tenggara, yang baru beroperasi di Kuala Tanjung awal tahun 1980-an itu. “Produksi aluminium pertama Inalum, saya yang kerjakan,” kata-nya bangga. Dia, selain memper-oleh gaji yang relatif cukup besar untuk seorang lajang, Rp 500.000 perbulan ketika itu, ditambah fasilitas rumah dan mobil berikut supir. Tetapi dia meninggalkan semua kemewahan itu sebab merasa belum menemukan cita-cita ideal yang sesungguhnya bisa dicapainya berdasarkan kemampuan dan skill yang dimiliki.

Nurdin mengajukan surat pengunduran diri. “Bos, dan anak buah saya di Inalum waktu saya keluar menangis semua,” kenangnya lagi. “Karena, saya juga kadang-kadang terlalu berani mengambil keputusan.” Konsekuensi mundur adalah dia harus mengganti semua biaya beasiswa yang pernah diterimanya selama di Jepang. Namun, tabungan yang terkuras itu telah berganti dengan selembar surat pengalaman kerja dari PT Inalum yang merekomendasikan dia sebagai karyawan yang “memuaskan”.

Pegawai Negeri
Keputusan berani itulah yang membulatkan tekadnya untuk mencoba menaklukkan rimba Jakarta. Dan sikap itu pula yang mewarnai kehidupannya di kemudian hari. Hari-hari awal di Jakarta diisinya dengan membaca koran, memicingkan mata terhadap setiap bunyi iklan lowongan kerja, lalu mengirim surat lamaran ke berbagai instansi.

Sebuah perusahaan kontraktor, konsultan, dan engineering swasta yang merupakan rekanan Pertamina memanggilnya untuk tes, lalu diterima. Di kemudian hari diketahui perusahaan itu PT Astenica adalah milik Grup Salim.

Dua tahun di sana dirasakannya cukup enjoy bekerja. Akan tetapi, lagi-lagi itu harus ditinggalkan untuk “sekadar” memuaskan permintaan orangtua yang sejak lama menginginkannya harus menjadi pegawai negeri. Kembali, bukti bahwa dia mempunyai track records yang bagus, tuturnya, “Bos saya di Salim juga merasa kehilangan.”

Dia lalu mengajukan lamaran ke berbagai institusi pemerintah dan mengikuti tes, seperti Departemen Pekerjaan Umum (PU), Departemen Pertambangan dan Energi (Deptamben), Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan Bank Bumi Daya (BBD). Uniknya, semuanya bersedia menerimanya sebagai pegawai. Karena harus memutuskan salah satu maka dia pilah-pilah. Di PU dia tolak padahal sudah harus berangkat ke Sorong, Irian Jaya sebab tiket dan segala macam fasilitas sudah disediakan. Di kepalanya masih terngiang kuat keinginan menaklukkan rimba Jakarta.

Dengan alasan sama tidak bersedia tugas ke luar kota panggilan dari PLN pun ditolaknya. Pilihan akhirnya jatuh ke Deptamben dengan pertimbangan sebab dia akan bisa bekerja sampingan untuk memanfaatkan potensi maksimal yang dimiliki. Bank Bumi Daya sebelumnya juga ditolak sebab jadwal kerja perbankan tidak memungkinkannya untuk melakukan pekerjaan sampingan.

Di Deptamben dia dimasukkan di Bagian Perencanaan Program, Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi (LPE). Dia mulai mengikuti prajabatan tahun 1984. Hanya dalam tempo satu tahun dia langsung dipromosikan menjadi pejabat Kepala Seksi Evaluasi Pembangunan dan Perencanaan Kelistrikan Nasional, Ditjen LPE, golongan III-C dan pangkat Eselon-IV. Sehingga, untuk memenuhi persyaratan adminitratif kepegawaian pejabat kepala seksi setiap dua tahun sekali golongan dan kepangkatannya dinaikkan oleh atasannya.

Beberapa kesempatan training ke luar negeri dijalani. Seperti selama lima bulan ke Italia mengikuti pelatihan UNDP (United Nation Development Program). Romantisme perjalanan hidup di Italia ditorehkannya dengan memberi anak keduanya nama Valentino. Lengkapnya Dimpos Diarto Valentino Tampubolon lahir ketika dia sedang berada di Italia.

Sambil bekerja sebagai pegawai Deptamben dia memanfaatkan waktu luang mengajar atau menjadi dosen di Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Jakarta maupun UPN Veteran. Termasuk sebagai pekerja paruh waktu di sebuah perusahaan swasta milik Yudo Sugama, anak Kabakin ketika itu Yoga Sugama. Dengan segala kesibukan dan prestasi yang diraih batinnya kembali mulai berbisik, “Saya merasa, kayaknya saya bisa bersaing di luar.”

Semua menjadi berbalik ketika di tahun 1988 dia memutuskan mengundurkan diri dari Deptamben. Peristiwa ini dirasakannya sangat berat sebab banyak tantangan. Dari keluarga, sahabat, dan sesama kolega termasuk atasan di Deptamben yang masih menawarkan fasilitas dan program menggiurkan agar betah bekerja dan tidak jadi keluar.

Bukan hanya menertawakan, ada pula yang menganggap dia ‘sudah lari uratnya’. Opini di lingkungan keluarga mulai terbentuk, ‘orang berani menyogok besar-besar asal masuk menjadi pegawai negeri. Ini, malah ditinggalkan’. Ayahnya terbang dari Medan hanya untuk mengadakan rapat keluarga membahas dan mempertanyakan keputusan terbaru Nurdin.

Istrinya sendiri, Berliana br. Tobing termasuk yang tidak setuju. Dalam dialog diantara keduanya. “Ini, apalagi yang mau dicari. Sudah kepala seksi, golongan III-C, masih muda, kok, ditinggalkan. Orang berlomba menjadi pegawai negeri, bahkan menyogok pun mau, kenapa Anda tinggalkan,” gugat istrinya yang ketika itu telah memberinya tiga orang anak. “That’s way my way, saya harus coba dulu di luar. Saya melihat di pegawai negeri begitu-begitu saja. Jadi, saya coba dulu berusaha” elaknya singkat. “Tapi, kerjaan ‘kan belum ada,”. “Yah, kita berusahalah bagaimana caranya.” Dialog malam itu berakhir putus dengan kesepakatan bahwa keduanya sama-sama tidak sepakat.

Nurdin meyakinkan diri sendiri bahwa dia mampu membangun usaha. Dia lalu mulai membangun bisnis. Pilihannya jatuh ke bisnis berbasis teknologi canggih atau hi-tech (high technology). Pengalaman bekerja di Inalum menangani aluminium membuat ilmunya merasa pas di situ, terutama saat bekerjasama sebagai mitra PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), kini PT Dirgantara Indonesia (DI). Industri pesawat terbang ini menggunakan banyak material aluminium.

“Jadi, saya pilih di sana, kebetulan cocok,” cetusnya. Bendera usaha yang dibangunnya adalah PT Sonvaldy Utama Permata. Sonvaldy, singkatan tiga nama anak pertamanya. Son dari anak pertama Sondang, Val dari anak kedua Valentino yang lengkapnya Dimpos Diarto Valentino, dan Dy dari nama anak ketiga Randy. Sementara kata Utama Permata adalah terjemahan dari konsep orang Batak tentang anak dimana anak adalah segala-galanya atau, anakhonki do hamoraon di ahu.

Demi Rakyat
Sonvaldy Utama Permata kini berubah menjadi holding company setelah berhasil melahirkan berbagai anak perusahaan baru. Cakupan usaha beraneka ragam dari hi-tech, perdagangan, hingga perkebunan kelapa sawit dan perkayuan. “Sampai sekarang perkebunan kita sudah luas,” katanya ringkas.

“Dan, karena saya melihat, dari segi perusahaan juga sudah mulai berkembang, maka, saya inginnya sekarang bagaimana mensejahterakan masyarakat banyak. Itulah target utama saya sekarang, kalau masih diperlukan,” cetus mantan kandidat calon gubernur Sumatera Utara pada pemilihan 2003.

Mensejahterakan masyarakat. Itu sudah dimulai Nuridn dari perusahaan yang kini telah menghidupi ribuan orang karyawan, belum termasuk anggota keluarga karyawan. Konsep mensejahterakan rakyat itu dirumuskannya menjadi visi perusahaan. Visi Sonvaldy, menurutnya, harus menjadi perusahaan yang bisa dibanggakan oleh bangsa. Dan, bersamaan itu Sonvaldy juga harus bisa memperoleh pengakuan internasional. Dalam desainnya perusahaan ini harus bisa menyumbang devisa, menampung tenaga kerja, membayar pajak ke pemerintah, dan mampu mengekspor produk-produk yang dihasilkan.

Ikhtiar Nurdin menyejahterakan masyarakat tidak berhenti di situ. Bermodalkan track records sebagai pengusaha sukses yang telah menghasilkan karya nyata dalam proses pembangunan bangsa, dia mulai memasuki area publik yang lebih luas. Sejak Desember 2003 dia adalah anggota MPR RI mewakili propinsi Sumatera Utara.

Di awal tahun 2003 atas saran dan permintaan teman-temannya sesama alumni FT-USU dia mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara periode 2003-2008, sayang belum berkesempatan terpilih. Nurdin adalah Ketua Ikatan Alumni FT-USU se Jabotabek.

Walau demikian dia tetap berikhtiar mensejahterakan masyarakat banyak, terutama rakyat Sumatera Utara. Dia semakin intens memasuki wilayah politik. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 5 April 2004, sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dia muncul dengan jargon menarik: Pembangunan dari Rakyat, oleh Rakyat, dan untuk Rakyat. Hasilnya adalah kemenangan suara terbesar kedua.

Nurdin ingin agar pembangunan kokoh maka harus berbasis sumberdaya lokal. Artinya, memanfaatkan segala sesuatu yang memang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Utara. Seperti, basis pertanian dan pariwisata. Yang melaksanakan pembangunan harus pula orang lokal yaitu masyarakat yang ada di Sumatera Utara.

“Dengan demikian, tujuan pembangunan yaitu menjadikan masyarakat Sumatera Utara aman sejahtera dan tuan rumah di negerinya sendiri, menjadi bisa tercapai,” ujar penerima gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari sebuah perguruan tinggi dari Amerika Serikat tahun 1999. Sebelumnya, Desember 1997 pengagum Presiden Amerika Serikat George W Bush dan Presiden RRC Xu Rongji memperoleh penghargaan sebagai ASEAN Development Citra Awards dari ASEAN Programme Consultant Indonesia Consortium. e-ti | haposan tampubolon

Data Singkat
Nurdin Tampubolon, Anggota DPR-RI (2009-2014) / Berpolitik Demi Rakyat | Direktori | CEO, Pengusaha, DPR, USU

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here