Dibesarkan dalam Keluarga Dukun

Mangapul Sagala
 
0
2878
Mangapul Sagala
Mangapul Sagala | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Mangapul Sagala dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang percaya pada okultisme dan perdukunan. Praktik kekerasan dan tradisi adu ilmu sudah menjadi pemandangan yang biasa ia lihat saat masih kecil.

Adegan-adegan adu ilmu dan perkelahian sudah memenuhi pikiran Mangapul kecil yang saat itu sedang duduk di bangku kelas tiga SD. Lahan kosong di belakang rumahnya biasa menjadi arena perkelahian. Layaknya cabang olahraga bela diri yang dipertandingkan, pertarungan tersebut sudah menggunakan sistem ronde dan sejumlah peraturan. Belakangan Mangapul baru menyadari bahwa yang bertarung adu ilmu di belakang rumahnya itu adalah murid-murid dari dukun-dukun yang ada di kampungnya.

Karena sering menggelar pertarungan, kampungnya itu kemudian terkenal dengan istilah Bonandolok kekurangan lawan. Orang-orang di kampungnya memang terkenal bernyali besar sehingga tak jarang perkelahian antar kampung bak medan perang lengkap dengan senjata rencong, pisau, dan tombak yang siap menghunus. Kadang pertumpahan darah tidak bisa dihindarkan membuat merah air Danau Toba.

Meski demikian, Mangapul tidak merasa takut atau bersembunyi saat menyaksikan pertarungan tersebut. Seperti menyaksikan film di layar lebar secara langsung, Mangapul malah berteriak-teriak kegirangan. “Hore asik. Inong nunga mate sada nai (Ibu, sudah mati satu lagi, red). Dan jap, kena tusuk itu,” teriaknya kepada ibunya. Ibunya yang tidak tahan melihat kejadian itu menyuruh anaknya menutup jendela. Namun Mangapul tidak mau mendengar perintah ibunya dan terus menyaksikan pertarungan itu dengan mengintip lewat jendela.

Suatu ketika, Mangapul terpesona dengan sosok dan kepribadian pendeta yang selalu lewat di depan rumahnya saat masih duduk di bangku SMP. Perilaku dan penampilan Mangapul pun perlahan-lahan mulai seperti pendeta. Karena berperilaku dan berpenampilan bak pendeta, orang menjadi gemas dan sering meledeknya. “Pandita do ho ate (kamu berperilaku seperti pendeta rupanya, red)

Tumbuh di lingkungan yang sarat perkelahian dan okultisme sempat membuat Mangapul mulai ikut-ikutan tawuran. Hal itu pulah yang menjadi alasan mengapa Mangapul diajak pindah ke Balige saat duduk di bangku kelas tiga SD. Abangnya tidak ingin melihat adik laki satu-satunya terjerumus ke dalam kenakalan remaja.

Sejak pindah ke Balige, terjadi perubahan dalam diri Mangapul. Tidak seperti anak-anak pada umumnya, Mangapul rajin pergi ke sekolah minggu tanpa harus disuruh atau dimarahi. Saat itu Mangapul sangat menikmati hadirat Tuhan dan menemukan ada sukacita setiap kali ikut ibadah anak sekolah minggu. “Oh, itu luar biasa rajinnya saya sekolah Minggu. Kalau dicatat itu, di HKBP Balige, itu saya paling rajin itu. Kalau liturgi (pajojorhon), saya salah satu yang menonjol, paling lantang suaranya,” cerita Mangapul kepada wartawan TokohIndonesia.com, di kantor Perkantas, 15/02/2012.

Ia sendiri tidak menyadari apa yang mendorongnya begitu antusias untuk beribadah. Yang penting baginya, ia menemukan kesenangan dalam setiap ibadah sekolah minggu. Belakangan Mangapul mengetahui bahwa Tuhan bertahta atas pujian. “Ada kesenangan, bernyanyi. O ale Jesus Tuhanki, mulai dakdanak nametmet au…,” katanya lagi.

Meski sudah rajin beribadah, naluri berkelahinya kadang-kadang masih muncul. Bila sedang ada niat untuk berkelahi, ia diam-diam mengambil jimat abangnya, pemberian kakeknya, yang menyerupai parfum lalu dipakainya sebelum berkelahi. “Kalau saya pakai itu, berkelahi saya. Kalau sudah memakainya seperti tidak ada rasa takut, bahkan tidak takut untuk mati, ” ujar Mangapul.

Hingga suatu ketika, Mangapul terpesona dengan sosok dan kepribadian pendeta yang selalu lewat di depan rumahnya saat masih duduk di bangku SMP. Perilaku dan penampilan Mangapul pun perlahan-lahan mulai seperti pendeta. Karena berperilaku dan berpenampilan bak pendeta, orang menjadi gemas dan sering meledeknya. “Pandita do ho ate (kamu berperilaku seperti pendeta rupanya, red),” cerita Mangapul sambil menambahkan bahwa foto-fotonya dari SMP hingga SMA, semuanya menunjukkan bahwa dia memang berpenampilan bak pendeta.

Dicap sebagai ‘pendeta’ malah membuat Mangapul terus berusaha menjadi orang baik meskipun tinggal di lingkungan yang kental dengan perdukunan. Akhirnya setelah menjadi pendeta, Mangapul mulai memahami bahwa selama ini ia berada dalam pemeliharaan (providencia) Allah meski dibesarkan di tengah lingkungan yang jauh dari Tuhan.

Advertisement

Perilaku dan sikapnya yang bak pendeta membuatnya cepat dewasa. Ketika ia pindah ke Tanjungpura Langkat mengikuti abangnya yang pindah tugas, Mangapul mulai terlibat dalam pelayanan di gereja setempat. Meski masih berusia enambelas tahun, Mangapul sudah dipercaya untuk memimpin paduan suara pemuda gereja. Ia mau memimpin koor karena sudah sering melihat abangnya latihan koor di rumahnya. “Waktu abang memimpin koor di kaum bapak maka saya memimpin koor di kaum pemuda satu gereja, jadi tambah rajin ke gereja lagi,” kata Mangapul.

Mangapul kemudian menceritakan pengalamannya pada satu kebaktian di mana saat itu ia masih menyimpan jimat dalam kantongnya. Lidahnya terasa kelu dan sulit untuk mengucapkan pengakuan iman rasuli di gerejanya. Saat hendak mengucapkan, “Aku percaya kepada Allah Bapa Allah Yang Maha Kuasa’, mulutnya terkatup dan tiba-tiba ia mendengar sebuah suara, “kalau Allah Maha Kuasa mengapa engkau membawa jimat itu?” Sejak saat itu, ia tidak lagi membawa jimat itu setiap kali ke gereja.

Meski demikian, jimat tersebut tidak langsung dibuang namun disimpannya di rumah. Ia masih menyimpan keraguan, apalagi jimat tersebut merupakan pemberian kakek dan pamannya. Tiga tahun lamanya, jimat itu masih disimpannya. Seiring dengan pertumbuhan imannya dan keterlibatannya dalam pelayanan di kampus UI, Mangapul akhirnya membuang jimat itu dan mengikuti Tuhan sepenuh hati. “Saya merasa bersalah dengan itu (jimat). Ah sudahlah, kalau sorga ya sorgalah, jangan campur dengan dunia, ” kata Mangapul dengan yakin.

Berdasarkan pengalamannya, jimat mendatangkan roh kekacauan bukan roh ketertiban. Berbeda dengan Roh Kudus yang selalu tinggal dalam kedamaian, orang yang menggunakan jimat akan selalu ingin mencari mangsa, berani, percaya diri dan cenderung mencari perkelahian. “Jadi betul juga roh jahat itu terus mengadu domba manusia. Nggak ada damai, karena pengennya mau berantem. Semakin kebal ilmunya, selalu mencari ribut, sebab hanya di dalam kekacauan, penggunanya menjadi tenang. Dalam kedamaian ia malah rusuh,” jelas Mangapul.

Melihat apa yang terjadi dalam hidupnya, Mangapul sangat bersyukur atas penyertaan Tuhan. Meski dibesarkan di lingkungan yang kental dengan kekuatan gelap, ia tetap bisa tertarik dengan kerohanian. Ia begitu terkesan dengan ayat dalam kitab Roma 5:1-2 dan berkata, “kita yang dibenarkan karena iman kita boleh beroleh damai sejahtera dan katanya kita beroleh jalan masuk kepada kasih karunia. Yang mana jalan masuk dalam Bahasa Yunani Prosagoge, seperti menuntun. Seperti kapal besar sebelum berlabuh, harus dimatikan mesinnya agar tidak menabrak dermaga lalu kemudian ditarik oleh kapal-kapal kecil agar bisa bersandar dengan aman”. Mangapul melihat bahwa dia seperti kapal besar itu, perlahan-lahan dituntun Tuhan.

Sebenarnya, setamat kuliah, Mangapul ingin langsung melanjutkan studi ke sekolah teologia namun Tuhan punya rencana lain. Ia dipersiapkan dulu menjadi pelayan dengan terlibat dalam pelayanan mahasiswa di kampus. Selepas lulus dari UI, ia sungguh-sungguh sudah siap untuk melayani.

Bahkan jauh sebelum diterima di UI, Mangapul sudah berniat kalau lulus SMA, ia akan masuk ke Sekolah Tinggi Theologia (STT) Jakarta yang saat itu cukup terkenal. Namun saudara jauhnya yang lebih dulu sudah menjadi pendeta berkata, “Kalau kamu jadi pendeta sayang sekali. Karena kamu pintar jangan masuk pendeta, masuk UI saja. Yang penting kelakuanmu seperti pendeta, ” kata Mangapul mengingat perkataan saudaranya yang seperti memotong logika berpikirnya saat itu. Semenjak itu, ia mengurungkan niatnya untuk masuk ke sekolah theologia.

Dari pengalaman itulah, ia merasakan hidupnya seperti Yunus yang sempat melarikan diri hingga akhirnya memenuhi panggilan Tuhan. “Seperti panggilan Tuhan kepada Yunus yang tidak bisa melarikan diri, ” kata Mengapul menggambarkan perjalanan hidupnya hingga menjadi pendeta.

Semenjak ditahbiskan menjadi pendeta, Mangapul mengepulkan harapan perubahan dan sukacita di tengah keluarganya yang kebanyakan masih terikat dengan kekuatan gelap. Bagi keluarganya, anggota keluarga yang menjadi pendeta adalah hal yang baru.

Saat Mangapul yang sedang melayani di kampungnya, kembali ke rumah, ia menggantungkan jubah pendetanya pada paku di dinding rumahnya. Abangnya yang paling sulung kemudian bertanya kepada seluruh keluarga besar yang sudah berkumpul di rumah gorga itu, “Coba kalian lihat dinding ini, ada sesuatu hal yang baru nggak sejak kita bangun puluhan tahun?” Saat itu, tidak ada yang menjawab jelas selain suara celetukan dan bisikan.

Akhirnya si abang menunjuk ke jubah pendeta yang menggantung di dinding itu dan berkata, “Ini harus kalian perhatikan baik-baik, sudah berapa puluh tahun rumah gorga ini dibangun. Belum pernah ada baju kudus itu tergantung di sana. Itu bukan sembarang jubah. ” Dengan nada semangat si abang berpesan, “Ini akan ‘memimpin’ kita ke sorga, sebagai simbol. Biarlah kita mulai dari sini ke depan, kita tinggalkanlah semua kuasa-kuasa gelap, datang ke dukun. Itu yang lama sudah berlalu lah. Jadi kita kejar ke depan hal kerohanian yang baru.”

Berawal dari kekagumannya terhadap seorang pendeta saat masih SMP, Mangapul menelusuri jalan panggilannya yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Mangapul mengenang bagaimana ia dulu sudah menuliskan cita-citanya di atas selembar foto dirinya. Di situ ia menuliskan, “Prof. Dr. Ir. Pdt Mangapul Sagala”. Namun setelah menjadi pendeta, Mangapul meralatnya dan mengatakan bahwa tulisannya itu salah. “Saya SMP sudah saya tulis Prof. Dr. Ir. Pdt, salah tulis, mestinya pendeta dulu. Tuhan sanggup mengerjakan, ” kata Mangapul dalam kesaksiannya di hadapan sekitar 2000 siswa di tempat kelahirannya. “Sekarang kalau Tuhan berkarya, saya sedikit lagi sudah profesor,” tambahnya lagi. mlp, san, bety | Bio TokohIndonesia.com

Data Singkat
Mangapul Sagala, Staf Perkantas Jakarta, Dosen Perjanjian Baru STT IMAN dan STTRII / Dibesarkan dalam Keluarga Dukun | Direktori | Dosen, Pendeta, UI, teknik, penulis, pengajar, STT, Perkantas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini