Ekonom Senior FE UI
Sarbini Sumawinata
[DIREKTORI] Bangsa Indonesia kembali kehilangan salah seorang putra terbaiknya. Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sekaligus ekonom senior, Profesor Sarbini Sumawinata, meninggal dunia pada hari Selasa 13 Maret 2007 pukul 23.38 setelah hampir seminggu dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.
Reza S Siregar, salah seorang cucu Sarbini, yang ditemui di rumah duka di kawasan Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan, Rabu (14/3), mengatakan, sebelumnya Sarbini dirawat di RSPP karena kondisinya terus menurun akibat tifus dan infeksi lambung.
“Setahun lalu beliau pernah terkena serangan stroke, tetapi selama ini dirawat di rumah saja. Akhir-akhir ini, beliau tidak banyak kesibukan kecuali mengurusi buletin Business News,” ujar Reza.
Ia menambahkan, setelah hampir seminggu dirawat dan kondisinya semakin menurun, dokter yang merawat Sarbini menyatakan beliau meninggal dunia akibat gagal jantung. Sarbini dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Rabu siang kemarin.
Mereka yang datang melayat di rumah duka, kata Reza, antara lain Frans Seda, tokoh pers Jakob Oetama, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Soeripto, Kemal Idris, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Todung Mulya Lubis, dan Faisal Basri.
Semasa hidupnya pria kelahiran Madiun, 20 Agustus 1918, itu dikenal sebagai salah seorang tokoh yang pertama kali memperkenalkan konsep pembangunan ekonomi kepada mantan Presiden Soeharto saat masih menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat tahun 1965.
Kritis
Sarbini juga sangat paham persoalan politik. Walau sempat diangkat menjadi salah seorang penasihat bidang politik oleh Soeharto, hal itu tidak membuat sikap dan pemikiran kritisnya terhenti. Malah kondisi itulah yang membuat Sarbini “berseberangan” dengan Soeharto.
Sarbini juga menggagas tentang bahaya militerisme serta pentingnya kesetaraan dalam hubungan kerja sama sipil-militer serta kebebasan pers.
Pada masa Soeharto berkuasa, Sarbini berani mengkritik pemerintah Orde Baru, yang dinilainya membawa Indonesia ke dalam kehancuran.
Akibat sikap kritisnya itu, pemerintah Orde Baru pernah memenjarakannya tanpa proses pengadilan. Ia terlibat peristiwa Malari tahun 1974.
“Saya kenal beliau saat saya masih menjadi mahasiswa pada tahun 1960-an. Beliau adalah teman baik ayah saya. Beliau adalah seorang tokoh pelopor ekonomi- politik, di mana kedua hal itu menurut dia akan selalu saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Beliau juga konsisten mengembangkan sosialisme demokratis,” ujar Juwono Sudarsono. (Kompas, 15 maret 2007)
***
Berpulangnya Pejuang Kerakyatan
Jenderal Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera dalam pemerintahan yang secara resmi masih dipimpin Presiden Soekarno pada tahun 1966 membentuk Tim Ahli Ekonomi di bawah pimpinan Profesor Widjojo Nitisastro.
Bertindak sebagai Asisten Pribadi Ketua Presidium Bidang Ekonomi adalah Jenderal Soedjono Humardani dan Tim Ahli Politik di bawah pimpinan Profesor Sarbini Sumawinata dengan Ali Moertopo sebagai Asisten Pribadi Ketua Presidium Bidang Politik.
Karena masalah ekonomi banyak bersifat teknis sehingga memerlukan pemahaman ilmiah, hubungan langsung antara Ketua Presidium dan Tim Ahli Ekonomi bisa segera terjalin. Masalah politik lebih muskil dan banyak pihak merasa perlu ikut campur, seperti pimpinan angkatan bersenjata, kalangan politisi, dan semua pejabat dalam lingkaran intern Ketua Presidium. Karena itu, hubungan langsung Ketua Presidium dengan Tim Ahli Politik agak tersendat dan hubungan pribadi Pak Harto dengan Pak Sarbini tidak seakrab seperti halnya dengan Pak Widjojo.
Ketika kemudian Soeharto selaku Presiden membentuk kabinet dan membubarkan kedua Tim Ahli pada tahun 1968, Pak Sarbini meninggalkan jabatan resmi dan menjadi orang sipil yang mencurahkan pikirannya memimpin Buletin Ekonomi Business News.
Sebagai pejuang Sosialisme Kerakyatan beliau aktif mengembangkan gagasan ekonomi kerakyatan yang terutama tertuju pada peningkatan kesejahteraan rakyat yang mayoritas hidup di pedesaan. Rakyat pedesaan perlu dibangun dalam berbagai dimensi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme yang telah membelenggu rakyat desa harus dipatahkan melalui investasi besar yang ditujukan secara sadar pada rakyat pedesaan melalui ekonomi kerakyatan.
Karena itu harus dikembangkan modernisasi, reorganisasi manajemen, dan mekanisasi pertanian. Perlu dibangun industrialisasi kerakyatan yang meliputi segala sektor yang terdapat di desa, seperti pertanian, perikanan, perdagangan, pengangkutan, perbankan, dan praktis segala aktivitas yang menyentuh perikehidupan rakyat desa. Dengan begitu, industrialisasi desa dapat membawa perubahan sosial yang menyejahterakan kehidupan masyarakat desa.
Sosialisme kerakyatan
Orientasi kerakyatan ini juga menuntut agar aliran dana anggaran dan investasi diarahkan ke pedesaan. Apabila pembangunan kerakyatan ini menyentuh bagian besar penduduk desa, akan tercapailah cita-cita meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai penjelmaan cita-cita perjuangan Bapak-bapak Pendiri Republik Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir.
Secara gamblang Pak Sarbini ingin meneruskan cita-cita Partai Sosialis Indonesia menegakkan sosialisme kerakyatan sebagai alternatif terhadap sistem kapitalisme yang beliau rasakan mulai merongrong kehidupan bangsa kita.
Sebagai kelanjutan terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (1968) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (1969) mulailah marak investasi swasta masuk Tanah Air. Jika pada masa pemerintahan Soekarno berlangsung nasionalisasi perusahaan asing dan modal asing dikecam, maka pembalikan kebijakan pembangunan dengan dukungan modal asing, terutama dari Jepang, menimbulkan kegalauan di kalangan dunia usaha nasional.
Sementara itu, ekonomi Jepang sedang menggeliat dan secara gencar meningkatkan perdagangan dan investasi modalnya di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Usaha assembling otomotif yang semula dikuasai investor Amerika Serikat dan Eropa Barat disapu habis oleh industri otomotif Jepang. Banyak barang konsumsi Jepang membanjiri pasar dan menggusur industri nasional, seperti tekstil.
Dalam perubahan ekonomi dengan sentimen negatif yang tumbuh akibat agresivitas persaingan Jepang di Asia, berlangsunglah kunjungan Perdana Menteri Tanaka yang disambut dengan demonstrasi besar-besaran di Hongkong, Bangkok, dan Jakarta pada Januari 1974. Khusus di Indonesia meletuslah peristiwa Malari pada 15 Januari 1974 yang punya prolog berasal dari pergelutan intern di antara pimpinan ABRI sehingga memuat konotasi politik yang kental.
Pak Sarbini terkena dampak peristiwa politik itu dan ditahan selama 808 hari untuk kemudian dibebaskan tanpa pernah diadili.
Pengalaman pribadi ini semakin meneguhkan keyakinan Pak Sarbini untuk mencari alternatif yang lebih sesuai dengan pembangunan kerakyatan. Dengan sahabat-sahabat dekat, beliau semakin produktif mengembangkan terus gagasan ekonomi kerakyatan ini.
Diberi makna dan isi
Dalam perjalanan waktu, Orde Baru disusul oleh Orde Reformasi. Berbagai perubahan prinsipiil diterapkan membangun demokrasi dengan pemilihan langsung presiden dan pemimpin-pemimpin daerah, kebebasan pers, dan kebebasan berorganisasi. Desentralisasi dengan pengembangan otonomi daerah menciutkan sentralisasi serta dominasi pemerintah pusat dalam pembangunan dan akuntabilitas pemimpin yang dipilih kepada rakyat pemilih membuka peluang mengembangkan demokrasi politik. Dan benih orientasi kerakyatan kini bisa disebarkan. Langkah berikut adalah menjabarkan lebih detail pola ekonomi kerakyatan dengan penunjangnya industri, pertanian, dan kegiatan pedesaan untuk sekaligus memberi isi pada demokrasi ekonomi.
Indonesia kini berada pada tahap memberi isi di berbagai perumusan dan cita-cita membangun kesejahteraan rakyat atas dasar konstitusi dengan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dalam lingkup ini, ekonomi kerakyatan mempunyai landasan politik untuk diberi makna dan isi.
Pada saat kita memasuki tahap mengisi secara substansial isi demokrasi ekonomi dengan memberdayakan ekonomi kerakyatan pecah berita bahwa Pak Sarbini Sumawinata, pejuang ekonomi kerakyatan, telah berpulang ke rahmatullah menjelang tengah malam tanggal 13 Maret 2007. Banyak sahabat mengantar jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir di pemakaman rakyat.
Tidak ada rasanya ungkapan belasungkawa yang lebih bermakna dari meneruskan perjuangan almarhum Pak Sarbini menegakkan cita-cita membangun ekonomi kerakyatan dalam kerangka demokrasi ekonomi bangsa kita yang sedang mencari bentuk fitrinya sekarang ini. (Kompas, 15 maret 2007) Oleh: Emil Salim Ekonom
***
“In Memoriam” Prof Sarbini
Tengah malam 13 Maret 2007, telepon di rumah berdering mengabarkan Prof Sarbini Sumawinata (88), mantan guru besar ekonomi di Universitas Indonesia, meninggal dunia. Sudah satu tahun ini Prof Sarbini terkena stroke.
Sarbini asli, urang Sunda, lahir di Madiun, 20 Agustus 1918. Ia mulai belajar di Technische Hoge School, Bandung, lalu pindah ke Universitas Harvard, Amerika Serikat, untuk belajar ekonomi. Ia juga belajar statistik di Badan Pusat Statistik Kanada, lalu ikut mendirikan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, dan menggantikan Dr Sumitro Djojohadikusumo menjadi ketuanya tahun 1958. Ia pernah jadi Ketua Badan Pusat Statistik Indonesia, tetapi diberhentikan oleh Waperdam Dr Subandrio. Selain itu, Prof Sarbini menjadi guru besar UI memberi kuliah Ekonomi Pembangunan.
Ekonomi kerakyatan
Ketika pemerintah Orde Baru melaksanakan kebijakan ekonomi yang pro-kekuatan pasar bebas, pro-penanaman modal asing, pro-orientasi pertumbuhan ekonomi, pro-membuat banyak utang luar negeri, pro-IMF dan Bank Dunia, dan lainnya, Sarbini penganjur ekonomi kerakyatan menunjukkan sikap hati-hati, penuh reservation. Sebab, titik tolak pembangunan berubah dari yang seharusnya berpusat pada rakyat menjadi berorientasi pada pertumbuhan. Juga karena pembangunan nasional tidak lagi pembangunan manusia seutuhnya.
Namun, hal itu tidak mengurangi kesediaan Sarbini untuk bekerja sama dengan pemerintahan Soeharto. Pada bulan Agustus 1966 diadakan Seminar Kedua Angkatan Darat di Bandung, bertempat di Seskoad yang komandannya ialah Mayjen Suwarto.
Jenderal intelektual ini memberi kesempatan kepada sejumlah ekonom dari UI untuk menjadi staf pengajar di Seskoad, seperti Prof Widjojo Nitisastro, Prof Mohammad Sadli, Prof Sarbini Sumawinata, Prof Subroto, dan Prof Emil Salim. Mereka menjadi peserta Seminar Tentara, juga Prof Selo Sumardjan.
Widjojo sebagai dekan Fakultas Ekonomi UI membentuk sebuah Tim Ekonomi yang memberikan saran kepada Soeharto. Mereka disebut teknokrat. Dengan bantuan IMF, mereka menyusun kebijakan ekonomi yang diumumkan tanggal 3 Oktober 1966.
Selain Tim Ekonomi, dibentuk pula Tim Politik yang diketuai Sarbini dengan anggota-anggota Dr Fuad Hassan dan Dr Deliar Noer. Sarbini yang dekat dengan Suwarto mengajukan gagasan untuk membatasi kekuasaan partai-partai politik yang berbasis di Jakarta. Dia mengusulkan untuk mengganti sistem proporsional dalam pemilihan umum dengan sistem satu anggota satu distrik.
Soeharto menilai konsep-konsep Sarbini tidak realistik dalam konteks iklim politik saat itu. Para jenderal lain juga tidak sreg untuk menerimanya. Tambah pula, pribadi dan gaya Sarbini dianggap kurang luwes dibanding sikap Widjojo yang pandai “menjual” ide-idenya, tahu kapan mesti bicara, dan kapan lebih bijaksana bersikap kulino meneng, berdiam diri.
Di luar lingkaran
Salah satu dari lingkaran dalam Soeharto, waktu itu Brigjen Alamsyah Ratu Perwiranegara, tidak senang dengan Sarbini dan mengganjal tiap langkah yang diambil oleh “orang PSI” (Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Syahrir).
Akibatnya, Tim Politik yang diketuai Sarbini segera hilang kegunaannya. Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro yang saat itu masih PSI-phobie—baru kemudian dia bermesraan dan menjadi cs-nya Rektor Universitas PBB Soedjatmoko di Tokyo yang notabene juga dianggap “orang PSI”— sama sekali tidak “meratapi” Sarbini gagal menjadi SPRI alias staf pribadi Soeharto.
Sejak itu, Sarbini memasuki alam di luar lingkungan Soeharto. Tawaran kepadanya untuk dijadikan duta besar di Washington ditolak, membuatnya semakin terpencil dan rentan terhadap tudingan lawan-lawan politiknya.
Pada tanggal 14 Januari 1974 terjadi Peristiwa Malari yang didahului ketegangan inter-elite, oleh percekcokan di kalangan militer yang masing-masing kubu punya agenda sendiri-sendiri. Ketika demo mahasiswa mencapai puncak, Pasar Senen dibakar, segala yang bermerek Jepang dijarah, maka untuk membelokkan perhatian dan sebagai tindakan membendung dinamika mahasiswa, dicarilah kambing hitam yang bertanggung jawab atas dan mendalangi huru-hara itu.
Ali Moertopo, kepala operasi khusus, menuding parpol yang sudah dilarang oleh Soekarno, yaitu PSI dan Masyumi, sebagai pemicu kerusuhan. Sejumlah tokoh yang dikatakan terkait dengan PSI, seperti Sarbini Sumawinata, Soebadio Sastrosatomo, Hariman Siregar, dan Sjahrir, lalu ditangkap. Sarbini ditahan selama dua setengah tahun. Kapokkah Sarbini? Tidak.
Kelak dia tampil sebagai pengecam paling keras terhadap rezim Soeharto. Dia penganjur revolusi kebudayaan untuk mengubah keadaan secara radikal. Bangsa Indonesia, menurut Sarbini, sangat “berlapang dada” saja terhadap pelanggaran dan penyelewengan.
Revolusi Kebudayaan
Orang mengatakan bahwa sebagai ekonom, Sarbini tidak setenar Widjojo cs yang berhasil menjabat sebagai menteri untuk masa yang lama. Namun, Sarbini tidak terganggu dibuatnya. Sampai usia tua pun dia terus melanjutkan perjuangan “Revolusi Kebudayaan untuk Pembangunan”. Tidak sampai jadi menteri, juga tidak apa-apa.
Saya pikir dalam perspektif sejarah, Sarbini memang tidak berhasil melaksanakan man meets opportunity. Winston Churchill yang belasan tahun tersingkir tiba-tiba tanggal 10 Mei 1940 dipanggil untuk menjadi Perdana Menteri Inggris. Konrad Adenauer yang bertahun-tahun menjadi Wali Kota Koln tahu-tahu tahun 1948 menjabat sebagai Kanselir Jerman. Di situ manusia telah mengadakan rendezvous, pertemuan dengan sejarah. Berhasil.
Meski Sarbini tidak demikian, ia telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada Indonesia Merdeka. Terima kasih. (Kompas, 15 maret 2007) * Rosihan Anwar Wartawan Senior. TokohIndonesia