Ingin Memberdayakan Kaumnya

[ Ong Pik Hwa ]
 
0
94
Ong Pik Hwa
Ong Pik Hwa | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Perempuan Tionghoa ini sering menulis esai di majalah Sin Po yang mengulas tentang pemberdayaan kaum perempuan. Di tengah kesibukannya sebagai pengusaha dan pemilik majalah serta menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarganya, ia juga aktif dalam kegiatan politik dan organisasi sosial Sin Min Hui yang mendirikan rumah sakit Sumber Waras dan Universitas Tarumanegara. 

Ong Pik Hwa lahir pada tahun 1906, tahun kuda api menurut kalender suku Tiongkok. Menurut keyakinan suku ini, perempuan yang lahir pada tahun itu memiliki kepribadian yang sangat mandiri dan berani menghadapi segala tantangan, keyakinan yang tampaknya sangat pas dengan Ong Pik Hwa.

Ong Pik Hwa terlahir di tengah keluarga yang cukup mapan. Ayahnya, Ong Ban Djoen adalah seorang pengusaha kayu yang cukup terkenal di Ungaran. Dari hasil bisnisnya itu, sang ayah itu bisa membangun rumah untuk setiap anaknya.

Ibu Ong Pik Hwa juga memiliki naluri bisnis yang tinggi. Di rumahnya, ia membuat bedak dingin, kecap, dan minyak kelapa. Tampaknya, sang ibu tidak ingin sepenuhnya mengandalkan sang suami meskipun suaminya mampu mencukupi segala kebutuhannya. Di kemudian hari, kemandirian kedua orangtua Pik Hwa ini ternyata turun kepada anaknya.

Kedua orangtua Pik Hwa sangat menyadari pentingnya pendidikan sebagai bekal masa depan. Maka setelah menamatkan pendidikan dasar, Pik Hwa disekolahkan ke Hogere Burgerschool (HBS), sekolah menengah berbahasa Belanda di Semarang. Sayangnya, di tengah jalan, Pik Hwa harus berhenti dari sekolah akibat kritik yang ditujukan orang-orang kepada ayahnya, karena menyekolahkan anak perempuannya ke sekolah menengah. Seperti diketahui, pada saat itu belum banyak anak perempuan yang masuk sekolah menengah apalagi yang berbahasa Belanda.

Setelah berhenti sekolah, seperti anak perempuan umumnya di masa itu, Pik Hwa pun dipingit. Kesehariannya hanya diisi dengan membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah sambil sesekali belajar menjahit dan memasak. Hanya berkutat di rumah saja membuat Pik Hwa jenuh. Ayahnya pun ternyata mengerti akan hal itu. Oleh sebab itu, ia kemudian mengizinkan putrinya itu untuk membantu pekerjaannya di kantor. Hubungan ayah dan anak perempuannya itu berjalan baik.

Beranjak dewasa, Pik Hwa pun dinikahkan. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai dua orang anak. Namun karena merasa tidak sejalan lagi, Pik Hwa mengambil keputusan berani dengan pindah ke Batavia meninggalkan suaminya, sementara kedua anaknya dititipkan kepada ibunya, meskipun sang ibu menyesalkan keputusan Pik Hwa itu.

Di Batavia, ia dibantu sang ayah membuka bisnis kayu. Usahanya itu menghasilkan keuntungan yang lumayan. Namun, keberhasilannya berbisnis itu rupanya belum memuaskan hatinya. Ia ingin mempunyai pekerjaan yang lebih intelektual. Menjadi penulis misalnya.

Untuk menyalurkan hobi menulisnya, sejak 1935, Pik Hwa sering menulis esai di majalah Sin Po yang mempunyai rubrik khusus untuk tulisan dalam bahasa Belanda. Tulisannya berkisar pada kedudukan perempuan di masa itu yang lebih rendah dibanding laki-laki. Hal itu menurut Pik Hwa membatasi kaumnya untuk maju karena hanya menghabiskan waktunya di rumah.

Dua tahun kemudian, ia mendirikan sebuah majalah khusus wanita berbahasa Belanda dengan nama Fu Len yang berarti “Perempuan”. Edisi perdana majalah itu diterbitkan pada 15 Desember 1937. Dari namanya saja sudah jelas bahwa yang menjadi sasaran pembaca adalah kaum wanita Tionghoa. Lewat Fu Len, Pik Hwa ingin memberdayakan dan memajukan kaumnya. Di majalah itu, ia membahas segala hal tentang dunia perempuan. Bahkan di salah satu rubrik, Pik Hwa menuliskan kisah hidupnya mulai dari masa kecil hingga dewasa.

Advertisement

Ia juga menceritakan peran pengasuhnya yang sangat menyayanginya bahkan selalu melindunginya jika sewaktu-waktu ibunya memarahinya. Dari tulisannya itu, Pik Hwa juga menyesalkan sikap ibunya yang kurang memberikan kehangatan padanya. Menurutnya, dalam memilih pasangan hidup, ibundanya terlalu mengekang anaknya. Misalnya, ia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dicintainya, sehingga tak heran bila di kemudian hari perkawinan mereka berantakan.

Mendirikan sebuah majalah khusus wanita berbahasa Belanda dengan nama Fu Len yang berarti “Perempuan”. Edisi perdana majalah itu diterbitkan pada 15 Desember 1937. Dari namanya saja sudah jelas bahwa yang menjadi sasaran pembaca adalah kaum wanita Tionghoa. Lewat Fu Len, Pik Hwa ingin memberdayakan dan memajukan kaumnya. Di majalah itu, ia membahas segala hal tentang dunia perempuan. Bahkan di salah satu rubrik, Pik Hwa menuliskan kisah hidupnya mulai dari masa kecil hingga dewasa.

Di kemudian hari, Pik Hwa baru merasakan ada kecocokan dalam diri Oey Yang Hwat yang kemudian menjadi suaminya. Pernikahan Pik Hwa dengan suami keduanya ini membuahkan empat orang anak. Dalam menjalankan bisnisnya, pasangan suami istri itu terbilang kompak. Yang Hwat membantu istrinya dalam mengurus administrasi keuangan perusahaan.

Meskipun disibukkan dengan usaha majalahnya, Pik Hwa tetap memperhatikan anak-anaknya, termasuk masalah pakaian. Kehidupan mereka pada saat itu terbilang sejahtera dan berkecukupan.

Walaupun majalah Fu Len sebenarnya tidak terlalu menguntungkan, tapi tetap ia pertahankan. Selain itu, ia juga menerima jahitan Shanghai dress dan menjadi agen beberapa produk seperti kecap Semarang dan krupuk Sidoarjo yang diiklankan di majalahnya.

Di mata anak-anaknya, Pik Hwa adalah ibu yang sangat menekankan disiplin dan tatakrama dalam berperilaku. Sebagai pengusaha, keseharian Pik Hwa juga diisi dengan kegiatan sosial hingga menghadiri jamuan makan.

Pada tahun 1940, salah seorang putrinya, Teresa divonis menderita asma. Dokter menyarankan untuk pindah ke daerah yang sejuk. Pik Hwa kemudian memilih Cicurug sebagai tempat tinggal barunya, selain udaranya yang sejuk, lokasinya juga tak terlalu jauh dari Batavia.

Seiring dengan itu, bagian administrasi Fu Len pun dipindahkan ke rumah temannya. Agar kegiatan tak terganggu, ia mengatur agar setiap hari dapat pergi ke Batavia dan pulang pada malam harinya.

Pada September 1941, sebelum terjadi serangan Pearl Harbor, Pik Hwa mengungsikan keluarganya ke Bandung untuk menghindari bahaya perang. Setahun kemudian Jepang menduduki Indonesia. Banyak tokoh Tionghoa berpengaruh ditawan. Pik Hwa pun masuk dalam daftar orang yang dicari Jepang karena kegiatannya di bidang jurnalistik. Beruntung sebelum Jepang datang, ia telah pindah, terlebih lagi saat itu ia baru saja melahirkan putri bungsunya yang bernama Oey May Ling, yang di kemudian hari menjadi guru besar wanita pertama pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Di tempat barunya, Pik Hwa tak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri. Dalam waktu singkat ia bahkan berhasil membuka bisnis arang. Pik Hwa terbilang pandai dalam membaca pasar. Saat itu arang menjadi satu-satunya bahan bakar karena penggunaan gas dan listrik dibatasi.

Setelah beberapa lama menetap di Bandung, Pik Hwa dan keluarga hijrah ke Yogyakarta, tempat sahabatnya mengungsi. Menjelang berakhirnya perang, mereka pindah lagi. Kali ini, mereka pindah ke Surabaya untuk kemudian menetap sementara di Semarang, tempat tinggal mertuanya. Mereka menetap di sana sambil menunggu keadaan aman, baru kemudian pindah ke Jakarta agar anak-anak bisa melanjutkan pendidikan mereka yang terhenti akibat perang.

Di Jakarta, ia meneruskan kegiatan sosialnya dan terlibat dalam kepengurusan perkumpulan Sin Min Hui (Candra Naya) yang baru didirikan pada tahun 1946, dan di Kong Koan, sebuah badan yang sebelum pendudukan Jepang dikelola orang-orang Tionghoa, namun kemudian dilanjutkan oleh beberapa tokoh masyarakat di Jakarta.

Pada tahun 1951, dalam buku peringatan lima tahun Sin Min Hui, Pik Hwa menulis satu esai mengenai wanita dan pekerjaan sosial. Saat itu, ia menulis dengan bahasa Indonesia menggunakan nama P. Oeyanghuat.

Keterlibatan Pik Hwa dalam politik dimulai saat menjadi anggota Partai Persatuan Tionghoa, sebuah partai politik yang digagas beberapa anggota Sin Min Hui. Pada tahun 1950, partai itu berganti nama menjadi Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia. Empat tahun kemudian, untuk menghindari kesan eksklusif, didirikanlah sebuah partai baru bernama Badan Permusyawarahan Kewarganegaraan Indonesia yang terbuka bagi seluruh warga negara Indonesia.

Baru setahun terbentuk, karena haluan politik yang terlalu kiri, partai itu mengalami perpecahan setelah sejumlah anggotanya mundur. Sejak saat itu pula, kegiatan berpolitik Pik Hwa terhenti, kecuali dalam organisasi sosial Sin Min Hui, yang pada tahun berikutnya mendirikan rumah sakit Sumber Waras dan Universitas Tarumanegara.

Ong Pik Hwa meninggal dunia pada tahun 1972 dan dikremasi di Jelambar, di krematorium yang didirikannya sendiri. Kini putra-putrinya selain menetap di Indonesia juga ada yang tinggal di luar negeri seperti di Jerman, Inggris, dan Kanada. e-ti | muli, red

Data Singkat
Ong Pik Hwa, Pendiri majalah wanita Fu Len / Ingin Memberdayakan Kaumnya | Direktori | Pengusaha, pendiri, penulis, majalah, tionghoa

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here