Inspirator Kosmetik Indonesia
Retno Iswari
[DIREKTORI] Retno Iswari Treggono, seorang inspirator kosmetik Indonesia. Ketua Himpunan Ilmuwan Kosmetika Indonesia dan Presiden Direktur PT Ristra Indolab, ini membuka usaha bidang kosmetika dengan berbasis ilmu medis. Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran UI, ini membagikan ilmu dan pengalaman dalam buku otobiografinya, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty, Inspirator Kosmetik Indonesia, yang diluncurkan Senin 3/9/07.
Pendiri/Perintis Bagian Bedah Kulit dan Kosmetologi FK UI/RSCM (1970 ini mengaku heran, bila di zaman seperti sekarang ini masih ditemukannya kandungan berbahaya (formalin) dalam suatu produk kecantikan. Terkait dengan persoalan ini, Retno, Dosen Luar Biasa FMIPA Universitas Indonesia (UI) ini pun tampak sibuk mencari-cari referensi koleksi bukunya, dia berharap bisa memberi masukan pada Balai Pengawasan Obat-Obatan dan Produk Makanan (BPOM).
BPOM merupakan lembaga milik Negara yang memiliki otoritas pemberi labelisasi dan juga bertanggung jawab terhadap berbagai produk makanan, obat-obatan termasuk didalamnya kosmetik yang aman dikonsumsi masyarakat.
Wanita yang masih tampak cantik dan sehat pada usia 68 ini pun bercerita bahwa kejadian seperti itu, (maraknya zat berbahaya yang beredar di masyarakat) sering dia alami dan sudah terjadi sejak awal dirinya berpraktik sebagai dokter kulit sekitar tahun 60-an.
Retno pun menuturkan bahwa sekitar tahun 1970-an berbagai produk kosmetik asal Thailand, Taiwan dan China pernah membanjiri Indonesia. Selaku dokter ahli kulit ia melihat bahwa produk-produk tersebut tidak semuanya aman dikonsumsi masyarakat. Bahkan sebaliknya bisa menjadi racun.
Pada tahun yang sama juga Retno mengkritisi soal banyaknya kosmetika yang tidak mencantumkan komposisi produk dalam kemasannya, lalu Retno melapor pada Departemen Kesehatan. Setahun kemudian dugaan Retno terbukti, produk-produk itu ternyata mengandung merkuri, sebuah zat yang berbahaya bagi organ tubuh manusia seperti otak, lever dan ginjal.
Peraih gelar Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran UI tahun 1968 ini juga menjelaskan panjang lebar mengenai kesalahpengertian konsumen soal berbagai produk dan perawatan kecantikan yang ditawarkan dengan berbasis teknologi modern, yang sebenarnya belum tentu cocok untuk digunakan di Indonesia. Retno mencontohkan soal chemical peeling (CP). CP merupakan proses pengelupasan kulit yang membuat lapisan dalam kulit menipis. CP ini sebenarnya hanya cocok diterapkan di negara-negara beriklim subtropik, seperti Eropa dan Amerika. Dan tidak cocok bila diterapkan di Indonesia yang beriklim tropis.
Pendiri dan pengajar Ristra Institute of Skin Health and Beauty Science ini memberi alasan dan menjelaskan secara rinci mengenai CP ini, pertama, perbedaan intensitas cahaya matahari antara iklim tropis dan iklim subtropis. Kedua, soal pigmen melanin kulit, orang Indonesia memiliki pigmen kulit melanin lebih besar dan banyak dibanding dengan kulit orang bule, hal ini membuat penyerapan sinar matahari kulit orang Indonesia lebih banyak dan akibatnya kulit akan bertambah hitam, atau bisa juga kulit akan menjadi merah seperti udang rebus akibat pengaruh dan masalah dengan pembuluh darah.
Adalagi contoh lain mengenai pemahaman yang keliru soal Sun Prptecting Factor (SPF), pada Tabir Surya. SPF ini berfungsi memberi perlindungan terhadap ultraviolet B, dan akan membuat pembentukan pigmen lebih cepat. Kalau untuk kulit orang Indonesia yang beriklim tropis, SPF ini membuat kulit malah jadi tambah hitam. Sementara untuk yang beriklim subtropics SPF membuat kulit jadi coklatt umumnya orang bule ingin kulitnya menjadi coklat.
Sedang buat kulit orang Indonesia malah jadi tambah hitam. Retno berupaya mengingatkan dan menjelaskan bahwa untuk daerah tropis seperti Indonesia, dibutuhkan SPF yang terintegrasi. “Prinsipnya, kita enggak bisa langsung pakai kosmetik asal negara-negara subtropik,” jelas Retno.
Berawal dari Jerawat
Ketika remaja, Retno Iswari punya masalah dengan kulitnya yang berjerawat, yang membuatnya sedih. Lulusan SMA di Semarang ini pun melamar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Jakarta dan Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung – dan diterima di kedua tempat itu. Lalu Retno memutuskan kuliah di FK UI. Ketika awal menjadi mahasiswa di FK UI Retno sudah mendapat julukan “janda Bopeng’ karena memang wajahnya yang memang ditumbuhi banyak jerawat.
Julukan ini tidak membuatnya berkecil hati tapi sebaliknya, menambah semangatnya belajar, setelah tiga tahun meraih gelar dokter, Is panggilan akrabnya, mengambil spesialisasi penyakit kulit dan kelamin, juga di FK UI, di program spesialis inji dia lulus tahun 1968. Is teringat saat program spesialisi kulit dan kelamin ini masih dianggap sebagai penyakit kotor pada pelaut.
Selain itu Retno teringat pada Prof Dr M Djoewar, Kepala Bagian Kulit dan Kelamin UI yang mendorongnya untuk menggabungkan antara masalah kosmetik dan kesehatan. “Kalau kamu yakin ilmu itu diminati oleh para dokter dan masyarakat membutuhkan, dirikan dan kembangkan!” kata Retno mengutip perkataan Djoewari.
Retno berjuang dan akhirnya berhasil mendirikan Subbagian Bedah Kulit dan Kosmetologi FK UI/RSCM, dan menjadi kepalanya hingga 1981.
Penggabungan ilmu medis dan perawatan kecantikan menurut Retno dia lalui melalui proses otodidak. Retno pun sadar kalau ilmu yang dia pelajari ini memang belum berkembang di Indonesia dan tentu berimbas pada ketersedian buku yang sangat terbatas. Diapun tah patah semangat, apalagi dia mendapat dukungan demikian besarnya dari keluarga, terutama suaminya, Suharto Tranggono, seorang kolonel TNI AU.
Karena keterbatasan itu, Retno terkenang pada sekitar tahun 1965 dia mendapatkan buku pertamanya berjudul The Structure and Function of The Skin yang membahas soal kecantikan dari sang suami yang juga seorang dokter. Buku itu diberikan sang suami, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala RS Angkatan Udara saat dr Tranggono pulang dari Eropa untuk tugas belajar sebagai dokter AURI. Buku itu menurut Retno masih disimpan rapi dan selalu menjadi inspirasinya setiap saat.
Kesempatan membuka usaha bidang kosmetika dengan menggabungkan ilmu medis yang dia punya, menurut Retno, berawal dari pengalaman pribadinya yang tanpa sengaja. Tahun 1963 tanpa sengaja Retno menyerempet bunga Bougenville milik Bo Tan Tjoa, pendiri Viva Cosmetic.
Perkenalan yang tanpa sengaja itu membuat Bo Tan Tjoa mengundang Retno untuk menjadi guru di Viva Health and Beauty Institute, miliknya. Ditempat itu Retno mendapat kesempatan meneliti berbagai hal mengenai kecantikan kulit, termasuk penyebab timbulnya jerawat, dan sekalian menemukan obat penangkalnya.
Selain itu, Dosen FK UI yang juga dokter spesialis kulit di RSCM ini sering kali menerima keluhan masyarakat mengenai ketidak cocokan pemakaian kosmetika yang membuat kulit mereka menjadi rusak.
“Awalnya, saya berikan resep obat jerawat dan bedak berdasarkan konsep kesehatan. Tapi banyak pasien mengeluh, karena obat dan bedak yang diracik apotek menurut mereka berbau tidak enak dan putih seperti topeng kalau dipakaikan pada muka,” papar pendiri Subbagian Bedah Kulit dan Kosmetologi FK UI/RSCM ini.
Dari pengalaman-pengalaman ini akhirnya membuat Retno tergugah melakukan serangkaian penelitian. Mulanya, dia memberikan resep ke apotek untuk meraciknya menjadi obat. Tapi, hasil racikan apotek tidak persis seperti yang dia resepkan. Ia pun memutuskan meracik sendiri produk kosmetik itu di garasi rumahnya, Perumahan Angkatan Udara Kemayoran, Jakarta Pusat.
Tak disangka obat “racikan” yang dibuatnya mendapat repon, ini bisa dilihat dari animo masyarakat yang memesan semakin hari kian banyak.
Awalnya, Retno mengaku gamang ketika mulai terjun menjadi pebisnis, apalagi dia seorang dokter. Namun akhirnya Retno memutuskan unrtuk membuka usaha sendiri. “Saya berpikir bagaimana kalau produk itu saya kembangkan,” tutur nenek bercucu enam ini.
Tahun 1981 sebagai tonggak sejarah dirinya mulai menerjuni bidang usaha kosmetika secara lebih intensif dan profesional. Bersama suaminya, Suharto Tranggono, kolonel Angkatan Udara (purn) dan bekas Kepala RS Angkatan Udara.Retno mendirikan PT Dwi Citra Utama dengan label produk Ristra dengan modal awal sebesar Rp 40 juta, modal ini didapat dari hasil penjualan tanahnya di Sukabumi. Kemudian nama Ristra sendiri diambil dari nama pasangan suami istri ini, Retno Iswari dan Suharto Tranggono. Diperusahaan kosmetik ini suaminya, mengurusi soal manajemen dan Retno sendiri berkutat pada research and development.
Menyinggung soal keunggulan dari bisnis produk Ristra “racikan” Retno ini bisa dilihat dari segi kualitas produknya yang mengutamakan kesehatan kulit, menjaga keamanan kulit dan yang terpenting menyesuaikan produk dengan kultur kulit orang Indonesia, selain itu dia terus melakukan inovasi dan penelitian teknologi kosmetika tiada henti.
Dalam buku otobiografinya, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty, Inspirator Kosmetik Indonesia, Retno Tranggono yang diluncurkan Senin (3/9), juga menyinggung soal posisi bisnis produk Ristra yang berbeda dengan produk-produk tradisional lainnya yang sudah ada di masyarakat dan dikenal cukup lama.
Hingga sekarang produk Ristra milik Retno ini berkembang pesat dan berhasil bertahan selama 24 tahun. Saat ini Ristra telah mememiliki enam cabang klinik yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Beberapa perusahaan internasional, seperti Sara Lee dan British Petroleum, sempat menawar untuk membeli perusahaan itu. Tapi, semua tawaran itu ditolak Retno.
Perjalanan usaha yang dilakoni Retno ini bukan berarti selalu berjalan mulus, Retnopun bertutur pada tahun 1987 Ristra pernah menghadapi masalah, pernah mengalami rugi sekitar lima ratus milliard. Peristiwa ini terjadi bukan karena produknya tidak laku di pasaran, akan tetapi uangnya tidak masuk perusahaan karena ditipu orang. Saat itu modal yang dimiliki Retno di Bank hanya tersisa Rp 10 juta dengan terpaksa Retno harus meminjam modal di bank. Meski merugi, Ristra tetap bertahan dan bangkit lagi serta bertahan hingga sekarang.. Bagi Retno, turun-naik sebuah usaha itu lumrah, layaknya roda kehidupan.
Saat ini Retno bermaksud menyerahkan usahanya kepada pebisnis yang lebih professional, Dia berharap, ditangan pebisnis yang lebih muda, usahanya ini akan lebih maju. Lalu kemanakah Retno? Dia mengaku akan lebih berkutat dibalik layar. Dan obsesinya yang mau mau kuliah lagi di jurusan filsafat. (Dari berbagai Sumber, antara lain Tempo Interaktif dan Kompas) e-ti/zah