Mengusung Visi Indonesia 2033

Andrinof A Chaniago
 
0
359
Andrinof A. Chaniago
Andrinof A. Chaniago | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Berangkat dari latar belakang akademisi dan peneliti, Andrinof A Chaniago kemudian dikenal sebagai pengamat politik nasional yang juga banyak menyoroti kebijakan pelayanan publik. Bersama timnya, Direktur Eksekutif CIRUS Surveyors Group ini menawarkan konsep Visi Indonesia 2033 sebagai jalan menuju Indonesia yang adil dan makmur.

Seiring bergulirnya reformasi 1997/1998, sistem politik di Tanah Air pun berubah drastis. Pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota yang sebelumnya melalui perwakilan DPR atau DPRD, berubah menjadi pemilihan langsung. Sejalan dengan itu, kehadiran lembaga survei menjadi semakin dibutuhkan untuk mengetahui gambaran dukungan terhadap calon tertentu serta misi apa sebaiknya yang akan diusung dalam kampanye agar mendapat simpati dari masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut, puluhan lembaga survei telah lahir di negeri ini. Untuk mengatur berbagai hal di internal para lembaga survei itu, juga untuk menghadapi berbagai masalah yang datang dari pihak lainnya, para lembaga survei itu sepakat membentuk organisasi yang dinamai Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI) pada awal Februari 2009. Mereka secara aklamasi memilih Andrinof A. Chaniago sebagai ketua umum.

Terpilihnya Andrinof A. Chaniago sebagai ketua umum PERSEPI, tentu bukanlah tanpa alasan. Kompetensi dosen pascasarjana FISIP UI ini di bidang survei sudah diakui oleh para penggiat survei. Di samping itu, pembawaan Andrinof juga menjadi daya tarik tersendiri. Gaya bicaranya tidak meledak-ledak tapi cukup menohok alam bawah sadar pendengar dalam menyingkap realitas.

Sebelum dikenal sebagai tokoh di dunia riset, pria kelahiran 3 November 1962 ini melewati masa kanak-kanaknya di kota Padang, Sumatera Barat. Saat lulus SD, ia mempunyai pengalaman yang mengherankan. Saat itu, ia bersama dua rekannya terpilih sebagai siswa terbaik di sekolahnya, tapi anehnya, ia tidak diterima di rayon SMP berkelas. Akibatnya, Andrinof kemudian masuk Tsanawiyah di Padang Pariaman.

Saat Andrinof masih berusia 11 tahun, ayah yang dicintainya meninggal dunia. Untuk membiayai keluarga, ibunya harus banting tulang menjadi penjual kue. Andrinof juga berusaha membantu sang ibu menjajakan kue tersebut. “Saya menjaja kue buatan ibu ke para tetangga,” akunya.

Saat naik ke kelas dua sekolah lanjutan pertama, Andrinof hijrah ke Jakarta. Di ibukota, Andrinof masuk ke SMP di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Ia tinggal di rumah sang bibi yang membiayai sekolahnya. Ketika masa SMP itulah, bakat menulis Andrinof tersalurkan. Ia banyak menulis puisi yang dimuat di harian Kompas dan Sinar Harapan. Lewat karyanya, SMP Grogol tempatnya sekolah pun berhasil memenangkan lomba menulis.

Persentuhan Andrinof di dunia riset dimulai saat ia duduk di semester pertama di Jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Untuk menutup biaya kuliah, Andrinof memanfaatkan peluang menjadi peneliti polling di Litbang Harian Kompas.

Di pertengahan masa perkuliahannya, Andrinof mulai tertarik akan isu-isu ekonomi politik. Itulah sebabnya, tugas akhir yang dia buat adalah studi kasus PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Skripsinya yang berjudul “Masalah Pengalihan Teknologi untuk Pengembangan Industri Strategis” mengantarkan Andrinof terbang ke Singapura, tidak berapa lama setelah dirinya wisuda. Insitute of South East Asian Studies (ISEAS) yang berkantor di negeri itu juga memberi Andrinof jatah sebagai Research Fellow. Yang patut dibanggakan juga dari kesempatan itu adalah, dirinya merupakan peserta yang masih bertitel sarjana strata satu (S-1) padahal peneliti yang diundang ISEAS pada umumnya adalah mahasiswa master dan doktor.

Persentuhan Andrinof di dunia riset dimulai saat ia duduk di semester pertama di Jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Untuk menutup biaya kuliah, Andrinof memanfaatkan peluang menjadi peneliti polling di Litbang Harian Kompas.

Pengalaman itu kemudian memantik gairah riset Andrinof. Di kampusnya, ia kemudian bergabung ke Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Sosial (LPPIS) FISIP UI. Di lembaga ini, ia menjadi koordinator untuk survei. Salah satu survei yang pernah ia pimpin adalah survei “Yang Muda Yang Konservatif”. Survei yang bekerjasama dengan Majalah Tempo pada tahun 1993 itu mengambil anggota DPR sebagai populasi dan sampelnya. Ketika itu, hasil survei itu dianggap menarik sehingga Tempo mengangkatnya sebagai cover story. Hasil riset itu menunjukkan, justru anggota DPR yang mudalah yang takut dengan perubahan. Sejak itu, perjalanan hidup Andrinof seakan tidak pernah lagi lepas dari dunia survei.

Advertisement

Setelah bertahan kurang lebih tiga tahun di LPPIS UI, ia kemudian aktif di Majalah Ummat. Hingga tahun 1996, Andrinof menjadi Koordinator Riset dan Dokumentasi di majalah itu. Selepas dari Majalah Ummat, mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP UI ini kemudian berkegiatan di Harian Ekonomi Neraca sebagai Kepala Kompartemen Riset dan Bank Data. Namun, menjadi komandan riset di media, membuat Andrinof merasa gundah. Ia mengaku miskin waktu dalam menelusuri data-data agar dapat dijahit menjadi sebuah kerangka. Maka Andrinof pun akhirnya pamit dari Neraca lalu menulis buku “Gagalnya Pembangunan” (LP3ES: 2001).

Karena tidak ingin berkubang hanya di dunia survei dan ingin waktunya bisa tercurah untuk pengembangan ilmu dari hasil riset kualitatif, maka Andrinof menolak tawaran Denny JA menjadi Direktur Riset pada masa awal Lembaga Survei Indonesia berdiri. Dengan alasan itu pula, pada tahun 1999, Andrinof mendirikan Center for Indonesian Regional and Urban Studies (CIRUS). Lembaga riset ini banyak membedah masalah otonomi daerah, kebijakan publik, dan pelayanan publik perkotaan. Pada tahun 2008, suami dari Ir. Yultifani ini kemudian mendirikan CIRUS Surveyors Group (CSG).

Bicara mengenai riset di Indonesia, Andrinof mengaku masyarakat kita masih belum akrab tentang mana itu polling dan mana survei, juga bagaimana metodenya. Maka dalam PERSEPI yang dia pimpin, ia mengatakan survei itu perlu dikampanyekan lebih keras lagi sehingga publik tidak menyalahkan dulu lembaga survei sebelum memahami rimba survei itu sendiri.

Seperti saat terjun ke lapangan, kegiatan survei melewati banyak suka-duka. Andrinof mengatakan, para peneliti kadang sudah menyeberangi sungai dan menembus hutan di pelosok-pelosok kampung, tapi begitu rumah yang dituju berhasil ditemui, tuan rumahnya malah tidak siap. Bahkan tidak memberi jawaban.

Soal adanya ketidakakuratan sebuah survei, menurut Andrinof, setiap tahapan survei berpotensi memunculkan hasil survei yang tidak akurat. Mulai dari tahap penyusunan rencana survei, hingga quisioner yang kabur dan tidak tegas turut mempengaruhi pembuatan tabulasi yang multi-interpretasi. Salah satu upaya untuk meminimalisasi ketidakakuratan itu adalah, bila ada narasumber yang tidak siap diwawancara, respondennya harus diganti dengan teknik pengacakan lagi. Selanjutnya, di tahap pengolahan data, interpretasi bisa terjadi bias bila tidak hati-hati dalam mentabulasi total jawaban yang dijawab dan yang tidak dijawab oleh responden.

Dalam meniti profesinya, Andrinof yang juga menjadi salah satu Panelis Uji Publik Seleksi Calon Anggota Bawaslu 2008-2012 ini tidak hanya terpaku pada bidang politik. Dalam berbagai tulisannya, ia juga kerap mengulas tentang berbagai hal, terutama yang menyangkut realitas sosial yang ramai dibicarakan. Misalnya, bersama Dr. Ahmad Erani Yustika (Direktur Eksekutif INDEF), Andrinof pernah meluncurkan Visi Indonesia 2033. Dibantu oleh tim asistensi, Visi Indonesia 2033 menawarkan pendekatan lintas wilayah, lintas kelompok sosial, dan lintas waktu, menuju masa depan indahnya Indonesia.

Satu di antara rekomendasi penting dalam Visi Indonesia 2033 itu adalah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. Menurut Andrinof, sebagai negara yang besar, Indonesia sebenarnya belum memiliki ibukota yang berkelas dunia. Menurut Adrinof, sebuah ibukota disebut berkelas dunia apablila memiliki tata ruang kota yang baik, pola pemukiman yang efisien, sarana transportasi yang berkualitas dan memiliki ruang publik yang cukup. Ia memberi contoh kota berkelas dunia itu antara lain Cape Town di Afrika Selatan, Buenos Aires di Argentina, serta Rio De Janiero di Brazil.

Perbincangan mengenai masih layak atau tidaknya Jakarta menjadi ibukota mengemuka karena masalah yang ditanggung Jakarta dianggap sudah sangat rumit. Di antaranya, masalah urbanisasi yang parah sehingga menyebabkan kepadatan penduduk sangat tinggi, tata ruang kota yang dinilai kacau, kemacetan yang semakin menjadi-jadi, serta buruknya sistem daerah resapan air (drainase) sehingga menyebabkan kota ini mudah banjir. Soal-soal inilah yang memicu lahirnya wacana pemindahan ibukota ke luar pulau Jawa. Salah satu alternatif yang disebut adalah Kalimantan.

Andrinof setuju dengan ide pemindahan ibukota ke Kalimantan tersebut karena dua alasan. Pertama, Kalimantan merupakan daerah yang populasi penduduknya masih rendah. Kedua, Kalimantan juga merupakan pulau yang paling aman dari ancaman bencana gempa bumi. Dari sisi geografis, Kalimantan tidak terlalu ke Barat dan Timur.

Di sisi lain, melihat kondisi keuangan negara seperti sekarang ini, menurutnya jelas tidak mungkin memindahkan ibukota ke luar Jawa. Belum lagi dilihat dari biaya sosial dan kemungkinan munculnya masalah-masalah ekonomi politik dalam proses pembangunan prasarana karena lembaga politik dan birokrasi yang masih belum banyak berubah dari jaman Orde Baru. Intinya, bukan pemindahan ibukota itu tidak beralasan, tetapi dilihat dari segi urgensi waktu dan biaya, langkah penataan yang paling realistis menurutnya adalah menata kembali pembagian fungsi ruang di Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek).

Dia mengakui pemindahan ibukota itu membutuhkan biaya yang tidak murah. Taksirannya sekitar Rp 100 triliun. Namun dia mengingatkan bahwa anggaran sebesar itu tidak dikeluarkan sekaligus. Anggarannya dikeluarkan dalam jangka waktu 10 tahun dengan rata-rata Rp 10 triliun per tahunnya. “Biaya tersebut menurut saya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kerugian yang disebabkan oleh kemacetan yang mencapai Rp 20 triliun per tahun,” kata Chaniago seperti dikutip dari situs Visi Indonesia 2033.

Pemindahan ibukota, kata Andrinof, juga tak bisa dilaksanakan dengan cepat. Kalau hari ini dibahas, tak harus direalisasikan esok. Ia memberi contoh pemindahan ibukota di Malaysia. Untuk memindahkan ibukota dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, Pemerintah Malaysia membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama.

Ayah dari Uzi Amazia Domasti ini melihat, satu-satunya peluang dan cara yang paling realistis untuk mengurangi persoalan di Jakarta dan sekitarnya adalah dengan memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan Jonggol, atau ke Sentul, yang keduanya terletak di wilayah Kabupaten Bogor. Pilihan terhadap kawasan Jonggol atau Sentul karena pengembangan fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan perkantoran pemerintahan pusat masih bisa dilakukan dengan dukungan yang cukup dari kondisi lingkungan, dan masih mudah melakukan perencanaan dan pengendalian faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik.

Kawasan Jonggol masih memiliki lahan kosong yang cukup luas sehingga memberi kemudahan untuk penataan. Di samping itu, kawasan tersebut sudah memiliki inftrastruktur dasar untuk dikembangkan dan dihubungkan dengan beberapa daerah inti di sekitarnya, seperti Bekasi, Bogor dan Jakarta sendiri. Sementara jika pilihan dijatuhkan ke kawasan Sentul, masalahnya adalah lahannya yang agak terbatas sehingga kurang leluasa membuat perencanaan untuk menjadikannya sebagai kawasan pusat pemerintahan.

Namun dengan prinsip efisiensi ruang melalui metode optimalisasi ruang vertikal, kawasan Sentul masih mungkin dijadikan alternatif untuk Kawasan Perkantoran Pemerintahan Pusat. Untuk menjadikan kawasan ini menjadi Kawasan Perkantoran Pemerintahan Pusat, kebetulan pengembangan fungsi tersebut didukung oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi. Kawasan tersebut dekat dengan Kota Bogor yang termasuk salah satu kota yang banyak menyimpan sejarah dari masa ke masa. eti | ms-mlp

Data Singkat
Andrinof A. Chaniago, Direktur Eksekutif CIRUS Surveyors Group / Mengusung Visi Indonesia 2033 | Direktori | direktur, peneliti, group, eksekutif, CIRUS, Surveyors, IU

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini