Pandai Menempatkan Diri
Priyo Budi Santoso
[DIREKTORI] Politisi muda Partai Golongan Karya ini dikenal sebagai sosok yang lugas, tegas, kritis, berani dalam bersikap dan pandai menempatkan diri. Di berbagai organisasi, ia beberapa kali menjadi pemimpin termuda sehingga keberadaannya kerap dianggap sebagai sinyal bangkitnya generasi muda.
Pria bernama Priyo Budi Santoso kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, 30 Maret 1966 ini memilih Golkar karena sejalan dengan pemikirannya. Loyalitasnya sebagai kader pun sudah tak diragukan lagi, bertahun-tahun ia mengabdikan diri pada partai berlambang pohon beringin itu. Jabatan sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR serta pucuk pimpinan Ormas Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) pernah diamanatkan padanya.
Untuk memuluskan cita-citanya nan mulia itu, ia pun giat berorganisasi sejak SD, SMP, SMA, baik ekstra maupun intra. Pikiran dan gagasannya nampaknya memang selangkah lebih matang dibanding usianya. Priyo muda telah berkomitmen menjadi generasi pembaharu yang dapat memberikan kontribusi positif bagi kemajuan dan masa depan bangsa. Meski impiannya terbilang tak mudah namun langkahnya seakan ringan dengan dukungan dari segenap keluarga besarnya.
Walaupun hari-harinya disibukkan dengan beragam kegiatan di organisasi, Priyo tetap mengedepankan pendidikan. Semasa sekolah, ia dikenal sebagai siswa yang cerdas dengan segudang prestasi. Terbukti, setelah merampungkan pendidikannya di SMA Negeri I Trenggalek, Priyo berhasil diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Di masa mudanya, anak pasangan H. Soetadji dan Hj. Suharyati ini aktif dalam berbagai organisasi. Ia termasuk salah satu dari segelintir anak muda yang telah merancang masa depan diri dan bangsanya. Saat kawan sebayanya masih satu jengkal berpikir tentang masa depan mereka, di benak Priyo telah berkelebat visi tentang masa depan negeri yang dicintainya ini.
Di salah satu universitas terkemuka tanah air itu, intelektualitas, kepribadian dan jiwa aktivisnya semakin matang. Ia pun tampil sebagai anak muda yang visioner. Jabatan Ketua Senat Mahasiswa Fisipol UGM disandangnya, di samping itu ia pun aktif di berbagai lembaga ekstra kampus, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan LDK (Lembaga Dakwah Kampus). LDK ini yang kelak menjadi cikal-bakal lahirnya KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).
Semasa mahasiswa, Priyo membekali dirinya dengan aktif di berbagai forum dan kelompok diskusi. Pada saat itu, di berbagai kampus besar di Indonesia sedang menjamur lahirnya kelompok-kelompok diskusi seperti di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Makasar, dan Padang.
Untuk ukuran seorang aktivis dengan setumpuk kegiatan, prestasi akademisnya terbilang cukup cemerlang. Indeks prestasinya hampir mendekati cum laude, Priyo pun lulus dengan pujian. Ia yakin bahwa seorang aktivis mahasiswa merupakan tunas pemimpin bangsa masa depan, oleh karena itu harus dibekali dengan ilmu yang memadai serta pengetahuan yang luas. Tanpa semua itu, kepemimpinan akan kosong dari nilai-nilai, miskin visi, hampa substansi dan tidak berkarakter.
Priyo juga menyuarakan cita-citanya lewat tulisan. “Tumbangnya Sebuah Dinasti” menjadi salah satu tulisannya yang menggugat peran mahasiswa yang dinilai semakin nihil dalam pentas pergerakan dan perubahan sosial di tanah air saat itu. Ibarat dinasti yang mewarisi sejarah, seharusnya mahasiswa selalu tampil di garda terdepan bahkan siap menjadi martir untuk setiap jengkal perubahan zamannya.
Karyanya yang lain adalah buku berjudul “Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural. Buku terbitan Rajawali Pers yang telah beberapa kali naik cetak ini mendapat pujian dari Prof. Dr. Moeljarto Tjokrowinoto (alm), Guru Besar Ilmu Administrasi Negara UGM sebagai buku yang paling lengkap mengungkap gurita politik birokrasi pada zaman Orde Baru. Selain buku, ratusan artikel, makalah, dan opini yang tersebar di berbagai media massa, buku ilmiah, seminar, kajian, dan diskusi telah dihasilkan ayah empat anak ini.
Dalam pandangangannya, mahasiswa adalah arsitek perubahan (agent of change), tidak sepatutnya hanya menjadi pengekor serta melupakan panggilan asasinya sebagai anak bangsa yang harus menyuarakan suara dan jeritan rakyat. Mahasiswa adalah penyambung suara rakyat, begitulah keyakinan Priyo.
Karena prestasinya pula, setelah meraih gelar sarjananya, Priyo mendapat tawaran menjadi dosen di civitas akademikanya. Namun ia menolak tawaran itu dan lebih memilih untuk meniti karirnya di kota metropolitan, Jakarta.
Priyo memang sejak lama terobsesi pada sebuah tulisan di Majalah Panji Masyarakat, majalah Islam yang amat populer tahun 80-an yang didirikan Buya Hamka bahwa “Metropolitan adalah pusat dari segalanya”. Jakarta sebagai pusat pemerintahan, politik, ekonomi, dan dinamika sosial bangsa.
Di kota metropolitan Jakarta, Priyo bekerja sebagai dosen di Universitas Nasional (Unas) dan researcher di Lembaga Studi Pembangunan (LSP). Priyo muda kemudian diajak oleh tokoh pergerakan sipil dan LSM paling top masa itu, Adi Sasono, untuk bergabung di CIDES (Center for Information and Development Studies). CIDES adalah sebuah lembaga yang didirikan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) yang kala itu dipimpin oleh Prof. Dr. Ing. BJ Habibie.
Peran ICMI bersama dengan organisasi kecendekiaan lainnya ketika itu berada di puncak pengaruh perubahan sosial yang kemudian merambah ke perubahan dunia politik di Indonesia. Disinilah ikatan bathin Priyo muda dengan berbagai tokoh-tokoh gerakan, ulama dan pemikir diperkokoh kembali, seperti: Nurcholis Madjid, Achmad Tirto Sudiro, Sayidiman Suryohadiprojo, Imaduddin Abdurrohim, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Emil Salim, Adnan Buyung Nasution, Sri Bintang Pamungkas, Din Syamsudin, Jimly Ashiddiqie, KH Ali Yafi, Tutty Alawiyah, Yusril Ihza Mahendra, Fachri Ali, dan lain-lain.
Ketertarikannya pada politik diawalinya dengan bergelut di berbagai organisasi. Yang terlebih istimewanya lagi, semua itu dimulainya sejak usia muda. Ia pernah tercatat sebagai ketua umum termuda dalam sejarah Trikarya (Soksi, MKGR, dan Kosgoro 1957). Dalam usia muda pula, mantan aktivis HMI ini tercatat sebagai salah seorang ketua koordinasi dalam Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan Ketua PB Lembaga Karate Do Indonesia (Lemkari).
Ketika ia terpilih sebagai wakil ketua DPR mewakili Partai Golkar, hal itu dinilai sebagai sinyal positif yang menunjukan peran anak muda di Partai Golkar semakin signifikan. Priyo yang terpilih melalui rapat pleno, kala itu menyisihkan setidaknya empat kandidat lainnya, yakni, Enggartiasto Lukita, Agus Gumiwang Kartasasmita, Rully Chaerul Azwar dan Airlangga Hartarto.
Di samping prestasi yang cukup membanggakan tersebut, Priyo juga satu-satunya ketua FPG termuda setelah era Usman Hasan, Mustahid Astari, Marzuki Achmad, Syamsul Muarif dan lain-lain yang menjadi pemimpin fraksi pada usia di atas 50 tahun. Karena itu, Priyo memandang pencapaiannnya itu sebagai sebuah kepercayaan partai terhadap kalangan muda.
“Dengan memberi peluang kepada 40 persen calon legislatif (caleg) muda, berarti Partai Golkar memang memberikan kepercayaan yang cukup besar kepada generasi belia. Bahkan kelihatannya, para senior di Partai Golkar sudah mulai menyodorkan tongkat estafet kepada para juniornya. Tentunya para kader muda partai juga harus benar-benar siap jika sudah secara utuh menerima tongkat tersebut,” kata suami Fenti Estiana ini.
Sebagai politisi muda, Priyo menyadari keterbatasan wawasannya. Oleh karena itu, alumni Fisipol UGM ini tak henti-hentinya belajar, termasuk pada para pendahulunya, seperti Proklamator Bung Karno dan mantan Presiden Soeharto. Kedua tokoh itu di mata Priyo telah banyak berjasa dalam perjalanan republik ini. Bung Karno, tutur mantan Direktur Eksekutif Cides ini, memiliki keberanian yang tidak dipunyai banyak orang. Sementara Pak Harto adalah sosok pendiam tapi banyak memberikan sumbangsih bagi bangsa.
Pria yang pernah gigih mengawal duet SBY-JK ini tak gentar menghadapi rintangan dan halangan. Sebagai politikus, Priyo termasuk pribadi yang memiliki insting politik yang kuat, ia pandai menempatkan diri pada posisi gerak yang tepat. Meski demikian, Priyo tak ingin menjadi orang yang ambisius, ia tetap ingin hidupnya mengalir bak air, namun kalaupun ada gelombang besar menghadang, ia tak gentar menghadapinya. e-ti | muli, red