Kepuasan Bob Hippy
Bob Hippy
[WIKI-TOKOH] “Mbok, ya Indonesia ada di sana ya….” Begitu kata Bob Hippy (64) ketika ditanya tentang ingar-bingar Piala Dunia yang tahun ini berlangsung di Afrika Selatan.
Namun, tak lama setelah berucap seperti itu, Bob buru-buru membuang khayalannya. Mantan pemain Persija Jakarta ini mengajak berpikir realistis, termasuk tentang ambisi sekelompok orang di negeri ini yang menginginkan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia. Ambisi tersebut akhirnya gagal terwujud karena nama Indonesia telah dicoret FIFA.
“Too big to think. Grass root-nya saja enggak punya,” kata Bob.
Grass root yang dimaksud Bob adalah pembinaan pemain usia muda yang nantinya bisa melahirkan pemain untuk memperkuat Tim Merah Putih. Untuk itu, daripada menunggu PSSI yang tak juga beraksi tentang pembinaan pemain masa depan ini, Bob ikut menyumbangkan pemikirannya dalam penyelenggaraan Liga Kompas Gramedia U-14.
Liga ini adalah kompetisi sepak bola untuk pemain yunior yang pesertanya sekolah sepak bola (SSB) se-Jabodetabek. Kick off direncanakan berlangsung 18 Juli dan kompetisi ini akan berjalan hingga Desember di Jakarta.
Terhitung sejak sekitar dua bulan lalu, Bob memberi masukan tentang masalah teknis kompetisi, salah satunya dalam menyeleksi siapa saja yang pantas diundang menjadi peserta, yaitu dengan menilai kualitas setiap SSB.
“Sebab, ini adalah kompetisi yang akan berlangsung lama meski sistemnya masih memakai setengah kompetisi. Ini bukan festival atau turnamen yang biasanya hanya berlangsung beberapa hari. Jadi, pesertanya harus SSB berkualitas dari sisi pemain, pelatih, dan manajemen, agar tidak ada yang berhenti di tengah jalan,” tutur Bob, yang ditemui seusai rapat persiapan mengenai kompetisi tersebut, sekitar dua pekan lalu.
Bob sangat antusias ketika ditanya soal pembinaan pemain muda. Di tengah obrolan dia sempat memperlihatkan jadwal turnamen internasional tingkat SSB yang berlangsung di Singapura. Turnamen ini diikuti pemain-pemain di bawah usia 10 tahun (U-10), U-12, dan U-14, dari SSB yang didirikan Bob, yaitu Akademi Sepak Bola Intinusa Olah Prima (AS-IOP) Apac Inti. Di SSB yang didirikan Bob bersama beberapa mantan pemain sepak bola, termasuk almarhum Ronny Pattinasarani sekitar 12 tahun lalu itu, Bob kini menjabat sebagai ketuanya.
“Waktu itu saya bilang sama Ronny, kok sepertinya ada kevakuman kompetisi yunior setelah eranya dia. Lalu, saya, Ronny, dan beberapa teman lain berkumpul dengan cita-cita yang sama, yaitu membangun sepak bola dengan melahirkan pemain yang baik,” cerita Bob tentang lahirnya AS-IOP. Sementara Apac Inti adalah nama sponsor AS-IOP, yaitu berupa perusahaan tekstil yang pabriknya berada di Semarang.
Bob bercerita, semasa dia bersekolah, kompetisi yunior yang berlangsung di Jakarta cukup banyak. Pria yang juga hobi bermain golf ini ingat ketika dia rajin mengikuti kompetisi yunior bernama Gawang setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu di Lapangan Banteng. Tak hanya itu, Bob juga bermain untuk sekolahnya, SMP III Jakarta, dalam kompetisi antarsekolah tahun 1950-an.
Namun, seiring berjalannya waktu, kompetisi yunior mulai hilang. “Padahal saya, almarhum Ronny, Iswadi, dan banyak pemain lain lahir dari kompetisi yunior,” ujar Bob.
Dari banyaknya kompetisi yunior inilah, tim nasional sepak bola Indonesia tak pernah kehabisan bibit pemain bagus. Setelah bermain di tingkat yunior, yaitu usia 10-16 tahun, pemain meneruskan karier di kompetisi perserikatan yang dibagi ke dalam beberapa tingkat.
Bob termasuk pemain yang bisa berkiprah di perserikatan, yaitu Persija, setelah bermain di kompetisi yunior. Setelah itu dia terpilih menjadi anggota tim nasional yunior. Dengan ketajamannya sebagai penyerang, Bob turut berpartisipasi membawa Indonesia menjadi juara Asia yunior tahun 1961.
“Dulu, jenjang kariernya jelas. Banyak pemain nasional yang bertahan lama karena memang bagus. Kalau sekarang ini, pemain bertahan lama di tim nasional karena memang pemain yang bagus tidak banyak. Yang main itu-itu melulu dan kalah terus,” kata Bob.
Stop ke luar negeri
Dengan kondisi seperti sekarang, Bob berpendapat, PSSI sebagai otoritas sepak bola tertinggi di negeri ini harus melupakan sejenak pemain senior dan menghentikan “pembinaan” dengan cara mengirim pemain muda berlatih di luar negeri.
Dikatakan pria kelahiran Gorontalo ini, pembinaan seharusnya dilakukan di negeri sendiri. “Sumber-sumber pemain sepak bola yang bagus hanya di situ-situ saja kok, di Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan sekarang ditambah Papua. Jadi, kalo mau fokus membina pemain, di daerah-daerah itu saja sudah cukup. Jangan dulu berpikir terlalu besar,” kata Bob.
“Lagian, apa salahnya punya prestasi di tingkat usia muda. Kan ada kompetisi internasional untuk U-15, U-17, dan U-19. Juara di kelompok umur tersebut juga bagus. Dan, jangan dulu berbicara tingkat dunia, berprestasi saja dulu di tingkat Asia Tenggara atau Asia,” lanjut pria yang hobi bermain golf ini.
Bob menyadari bahwa saat ini banyak SSB yang berdiri di berbagai daerah di Indonesia. Namun, tanpa adanya kontrol kualitas dari PSSI, keberadaan SSB tersebut akan sia-sia. Sepak bola hanya akan menjadi hobi bagi anak-anak yang berlatih di SSB, bukan sebagai cita-cita profesi.
“Kebijakan pembinaan tetap harus dari PSSI. FIFA saja punya anggaran khusus untuk pembinaan,” kata Bob, yang masih suka menyempatkan diri bermain bola.
Menyadari pembenahan secara menyeluruh dari PSSI tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat, Bob memilih bergerak sendiri, salah satunya dengan AS-IOP tadi. Guna mematangkan anak-anak di SSB-nya bersaing dalam pertandingan, mereka diikutsertakan dalam turnamen di Singapura dan Malaysia, terutama dalam tiga tahun terakhir.
“Jalurnya didapat dari kenalan pelatih di negara-negara tersebut. Mereka bertanya kenapa tidak pernah ada tim dari Indonesia yang ikut serta,” tutur Bob, bercerita tentang awal partisipasi AS-IOP dalam turnamen-turnamen di negara tetangga tersebut.
Karena berbentuk turnamen, kompetisi hanya berlangsung beberapa hari, rata-rata kurang dari satu minggu. Namun, dalam sehari, anak-anak tersebut bisa bermain hingga tiga kali. Jadi untuk meraih gelar juara seperti yang didapat tim U-14 di Malaysia, sekitar lima bulan lalu, pemain harus bertanding hingga 13 kali.
“Memang bermain tiga kali dalam sehari terlalu banyak. Tetapi, itu bisa jadi indikator sampai di mana daya tahan dan kemampuan mereka,” ujar Bob.
Hal ini pula yang diharapkan Bob dari keikutsertaannya menjadi panitia Liga Kompas Gramedia U-14. Para pemain yunior tersebut harus bisa merasakan atmosfer kompetisi yang masih jarang diselenggarakan di negeri ini untuk seusia mereka.
Selain mendapat SSB berkualitas, seleksi untuk tim peserta liga dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian umur yang biasanya marak terjadi pada pertandingan kelompok umur.
“Kalau sudah mencuri umur sejak awal, si anak akan kesulitan dalam mengikuti jenjang berikutnya. Untuk itu, hal ini jangan sampai terjadi,” kata Bob.
Kompetisi juga harus dibuat sebaik mungkin, baik dari sisi manajemen, teknis, maupun nonteknis seperti mencegah terjadinya pengaturan skor. Ini dilakukan agar para pemain usia muda terbiasa bermain dalam atmosfer kompetisi yang berkualitas.
Dari hati
Pada saat sebagian besar orang terpukau dengan perhelatan Piala Dunia selama sebulan terakhir, Bob yang juga seorang pengusaha ini rela menyibukkan diri demi pembinaan usia muda.
“Kepuasannya lain,” katanya.
“Saya senang mengurus anak-anak karena mereka masih pure. Keinginan mereka bermain bola dengan baik datang dari hati. Mereka belum bicara soal gaji dan bonus. Tanggung jawab orang-orang di sekeliling merekalah yang akan menentukan karakter pemain-pemain tersebut,” tutur Bob.
Penghargaan atau pujian yang didapat dalam mengantarkan pemain yunior berprestasi mungkin memang tak sebesar sorotan kalau menukangi pemain senior. Akan tetapi, kepuasan yang dirasakan Bob, menurutnya, sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata, khususnya ketika melihat “anak-anaknya” berprestasi.
Menurutnya, ukuran prestasi di tingkat yunior bukanlah melulu soal gelar juara, melainkan bagaimana mereka bisa menjadi pemain yang baik. Pemain yang bisa memberikan kebanggaan dari lapangan hijau bagi negeri ini.
***
Main Bola di Amerika
Sepak bola memang sudah mendarah daging di dalam diri Bob Hippy meski kariernya di tim nasional tidak sampai di tingkat senior. Sejak aktif bermain bola pada usia SMP, Bob hanya sempat memperkuat tim nasional yunior sebelum akhirnya kuliah di Amerika Serikat karena mendapat beasiswa.
Bidang bisnis didalami Bob saat kuliah selama empat tahun di State University of New York (SUNY) di New Paltz, New York. Setelah itu Bob melanjutkan kuliah di Connecticut University untuk bidang yang sama selama setahun.
Namun, lapangan hijau tetap tak bisa ditinggalkan, bahkan ketika tengah berkuliah di Negeri Paman Sam. Bob memperkuat tim sepak bola universitas, bahkan hingga bertanding ke beberapa negara di Eropa. Karena sepak bola inilah, Bob mendapat penghargaan Hall of Fame State University of New York.
“Waktu kuliah saya dan beberapa teman dari negara lain yang mendapat beasiswa, seperti dari dari negara-negara di Afrika, turut memperkenalkan sepak bola di universitas. Usaha kami berhasil karena waktu itu Amerika mulai mengenal sepak bola,” kata Bob.
Dari pengalaman kuliah inilah, Bob sibuk menjalani profesi di bidang bisnis ketika kembali ke Indonesia. Ayah dari empat anak ini bahkan sempat menduduki posisi Assistant Vice President American Express Banking Corp di Jakarta dan Hongkong selama 12 tahun.
Saat ini Bob juga punya bisnis seperti di bidang perkebunan dan pertambangan. Namun, dia tidak melibatkan dirinya 100 persen di perusahaan.
Seolah ingin memberikan tongkat estafet, bisnis-bisnis tersebut dijalankan putranya. “Saya tinggal ngecek-ngecek saja dan menghubungkan ke beberapa kenalan. Anak saya yang meneruskan prosesnya. Kalau saya yang mengerjakan semuanya, nanti dia tinggal terima enaknya saja,” kata Bob.
Jika diminta membandingkan mana yang lebih disukai antara bidang bisnis dan sepak bola, “Sudah pasti sepak bola,” ujar Bob. (IYA)
e-ti
Sumber: Kompas, 11 Juli 2010 | Penulis: Yulia Sapthiani