Membangun Karier dan Bisnis dari Nol
Sudiro Andi Wiguno
[WIKI-TOKOH] Sudiro sempat menjadi pencuci mobil salah seorang pejabat. Kini ia harus mengembangkan perusahaan yang baru saja bertransformasi.
From nobody to somebody. Mungkin kalimat tersebut paling tepat menggambarkan perjalanan hidup seorang Sudiro Andi Wiguno. Siapa sangka pria jebolan sebuah pesantren di daerah Cepu, Jawa Tengah, ini kini menjadi eksekutif muda yang sukses.
Pria kelahiran Blora 32 tahun silam tersebut mungkin tak pernah menyangka hidupnya bakal seperti sekarang. Sejak kecil ia mengaku terbiasa hidup susah. Ayahnya meninggal sebulan setelah ia lahir. Dia melampaui tahap-tahap hidupnya dengan penuh perjuangan. Bagi dia, pendidikan di pesantren membuatnya semakin tahan terhadap berbagai permasalahan hidup.
Kerasnya pendidikan di sana dan disiplin yang tinggi serta tanggung jawab menjadi bekal saya bisa seperti sekarang.” Kuatnya cita-cita ingin menjadi seorang pengusaha membuat bungsu dari enam bersaudara ini memutuskan mengadu nasib ke Jakarta selepas SMA. Di Ibu Kota, ia mengambil diplot masi akuntansi di Akademi Akuntansi Yayasan Administrasi Indonesia.
Sembari kuliah. Sudiro memilih menyambi kerja untuk membiayai kuliahnya, ta bahkan sempat merasakan menjadi seorang pencuri mobil salah seorang pejabat. Selepas kuliah, ia mulai merintis kariemya dari nol dan terus bekerja keras.. Berawal dari menjadi seorang trainer di lembaga pelatihan moh vasi, kini dia menjadi Direktur Utama PT Dayaindo Resources International Tbk, sebuah perusahaan pertambangan, energi, dan infrastruktur.
Selain kerja kfcras, prinsipnya yang sering selektif dalam memilih teman menjadi salah satu kunci keberhasilannya. Ia mengaku hanya memilih teman pergaulan yang bisa membawanya kepada kemajuan. “Saya percaya kalau kita ingin kaya, kita harus bergaul dengan o-rang kaya.”
Berbekal pengalamannya dalam membiayai kontrak-kontrak perdagangan batu bara, Sudiro masuk menjadi bagian dari Dayaindo pada Juni 2007. Perseroan yang dipimpinnya merupakan hasil transformasi bisnis PT Karka Yasa Porfilia yang memiliki bisnis utama sebagai pengembang perumahan skala menengah.
Sebagai pengemban amanat transformasi, ia dituntut membawa Dayaindo menjadi perusahaan yang maju di bidang investasi berbasis sumber daya alam dan energi. “Kompetensi negara ini bila dibandingkan dengan negara lain hanya di bidang sumber daya alam. Kami ingin menjadi perusahaan besar dengan bisnis utama yang memang menjanjikan tersebut, khususnya batu bara. Atas dasar itu, kami mencoba ikut main di situ.”
Prospek cerah
Meski dihuni pemain-pemain batu bara pribumi kelas kakap seperti PT Bumi Resources Tbk, PT Adaro Energy Tbk, dan PT Indika Energy Tbk, Sudiro menilai ruang bagi pemain-pemain baru dan berkembang masih terbuka lebar.
Prospek bisnis batu bara ke depan masih cerah. Hal ini terlihat dari terus meningkatnya permintaan batu bara dari tahun ke tahun. “Dari perjalanan bisnis ke India, saya mendapat informasi bahwa pada 2012 India akan membangun pembangkit listrik yang menggunakan bahan baku batu bara sebesar total 70 ribu megawatt. Konsumsi batu bara akan mencapai 100 juta ton per tahun. Ini pasar potensial buat kami.”
Bagi pemain dengan skala kecil sekalipun, kontrak bisnis tidak sulit diraih. Dalam industri yang satu ini, untuk meraih kontrak bisnis yang penting, proyek tersebut bersifat bankable dan feasible. Tidak didasarkan pada besar kecilnya perusahaan.
Di saat perusahaan besar memiliki kemampuan finansial dan kemampuan negosiasi yang lebih besar, perusahaan kecil harus mengandalkan kerja keras dan ketekunan untuk bisa bertahan. Dengan berjalannya waktu, perusahaan kecil akan mendapat berbagai pengalaman yang akan mem-perlengkap portofolio untuk menjadi besar di bisnis pertambangan.
Berbicara mengenai kekuatan sumber daya alam Indonesia, Sudiro menyayangkan penggarapannya yang belum maksimal. Sumber daya alam yang ada hampir selalu dijual dalam bentuk mentah. Akibatnya, tidak ada nilai tambah yang dihasilkan, baik bagi perusahaan maupun masyarakat.
Di samping itu, sebagai negara penghasil sumber daya alam, seharusnya Indonesia tidak berorientasi pada kemauan pasar. “Ini dia masalahnya. Harusnya kita yang mengendalikanharga, bukan kita yang malah dikendalikan pasar.” Jika ada yang menjadi hambatan utama dalam bisnis pertambangan, lanjut Sudiro, adalah masih adanya tumpang tindih peraturan antarke-menterian. Setidaknya ada tiga kementerian yang terlibat, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Pertanian. Menurut dia, peraturan yang tumpang tindih tersebut telah menyebabkan adanya ekonomi biaya tinggi bagi pengusaha.
“Banyak terjadi, begitu pengusaha mendapat konsesi batu bara, temyata ada di kebun sawit orang atau di kawasan hutan. Mereka tidak mendapat informasi yang baik, namun sudah keburu investasi sehingga akhirnya mereka tidak bisa kerjakan dan mengalami kerugian. Seharusnya jikaitu memang kawasan hutan, jangan dikasih izin untuk perkebunan atau pertambangan dan sebaliknya.”
Di samping itu. Sudiro meminta pemerintah memperketat aturan konsesi pertambangan. Bila dalam jangka waktu tertentu si pemilik konsesi belum memanfaatkannya, izinnya harus dicabut agar pemain lain bisa masuk. “Kalau tidak dikerjakan, tidak ada produksi, pemerintah juga yang rugi.”
Terintegrasi
Meski terbiUng baru di bidang batu bara, yakni sejak 2004, di dalam pikiran seorang Sudiro telah bersemayam sebuah idc progresif. Penggemar masakan Jawa ini bercita-cita membesarkan perusahaan yang dipimpinnya dengan membangun bisnis yang terintegrasi. Hal tersebutsejalan dengan peta bisnis 2007-2012 yang perseroan canangkan.
Selain menjalankan kegiatan penambangan, pihaknya bercita-cita membangun infrastruktur yang mendukung industri tambang seperti perusahaan pengapalan (shipping company), terminal batu bara dan lainnya. Dengan cara itu, Dayaindo dapat menjadi perusahaan bisnis terintegrasi yang berdaya saing tinggi dengan risiko yang terkelola dan tingkat kepastian logistik yang tinggi.
“Ini yang penting jika sebuah perusahaan ingin menjadi pemain besar dalam bisnis komoditas.” Untuk itu, tahun ini perseroan berencana membangun coal teminal untuk menopang perdagangan batu bara dan mineral lainnya yang terletak di Mamuju, Sulawesi Barat. Dalam pembangunan tersebut, Dayaindo bekerjasama dengan Pelindo IV.
Terminal batu bara tersebut memiliki luas sekitar 40 hektare dengan kapasitas per tahun maksimal 30 juta metrik ton. Pembangunannya membutuhkan dana total mencapai US$150 juta dan diharapkan terlaksana pada September mendatang. “Porsi kami 80″;., sisanya Pelindo.”
Menurut Sudiro, fasilitas tersebut bisa disewakan kepada trader-trader besar. Di sisi lain, pihaknya bisa membantu pengusaha-pengusaha tambang lokal untuk memfasilitasi transaksi pemasok lokal dengan pembeli internasional melalui keberadaan coal terminal. Tahun ini, Dayaindo juga berniat untuk melakukan akuisisi tambang nikel di Luwuk, Sulawesi Tengah. (ES) e-ti
Sumber: Harian Media Indonesia, 24 Mei 2010 | Andreas Timothy