Penyeru Moral dan Penjaga Nilai Kultural
Mudaffar Sjah
[WIKI-TOKOH] Haji Mudaffar Sjah merupakan anak ketiga Sultan Ternate ke-47, Iskandar Muhammad Djabir Syah (1929-1975). Setelah ayahnya mangkat pada tahun 1975, ia diangkat menjadi Sultan Ternate ke-48. Saat memimpin kesultanan, Mudaffar yang juga merupakan anggota DPD/MPR 2009-2014 ini di kenal sangat dekat dengan masyarakat. Ia dikenal sebagai sosok penyeru moral dan penjaga nilai kultural warga setempat. Selama 35 tahun bertakhta ia berobsesi membawa nilai-nilai keraton menjadi acuan dalam membangun karakter bangsa. Selain itu ia selalu siap terjun menemui warga kala masalah sosial terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kata rakyat bagi Mudaffar Sjah bisa bermakna ganda. Pertama, rakyat sebagai konstituen yang telah memilih dia sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD asal Provinsi Maluku Utara. Kedua, rakyat yang memberi pengakuan kedaulatan atas takhta yang diembannya selaku Sultan Ternate.
Tahun ini, bertepatan dengan usianya yang menapak 75 tahun, genap sudah 35 tahun Mudaffar berdaulat sebagai Sultan Ternate ke-48. Usia menyongsong senja, tak mengendurkan semangat pengabdiannya kepada rakyat.
Awal April 2010 lalu, meski waktu menunjukkan pukul 23.30 WIT, ia antusias mengikuti doru gam , hukum adat Kesultanan Ternate yang mengharuskan sultan menemui rakyat, di kawasan Taleka, Kota Ternate.
Rakyat telah menanti dia di Taleka sejak pukul 19.00 WIT. Sultan yang sehari-hari disapa Jo Uu Kolano oleh rakyatnya itu menyalami mereka satu per satu. Sosok yang diakui sebagai penyeru moral dan penjaga nilai kultural warga setempat itu memberi wejangan di hadapan rakyatnya.
Di luar acara adat yang terjadwalkan pun, ia mesti siap terjun menemui warga yang membutuhkan wejangan untuk mengatasi masalah sosial. Semakin banyak warga yang ingin menemuinya, makin sering dia keluar dari kadaton (keraton), kapan pun.
Sopir taksi yang mangkal di Bandar Udara Babullah Ternate bercerita, bila terjadi pertikaian warga terkait batas desa, umumnya tak bisa ditangani pejabat bupati/wali kota dan gubernur. Di sinilah sultan turun, menancapkan patok batas desa, lalu minta kerumunan warga bubar. Selesailah pertikaian itu.
Dititipkan
Mudaffar, anak ketiga Sultan Ternate ke-47, Iskandar Muhammad Djabir Syah (1929-1975), pernah menolak diangkat sebagai sultan. Ia khawatir tak mampu mengemban tanggung jawab itu.
Apalagi, di pengujung pemerintahan Sultan Ternate ke-47, mulai 1950, kondisi Kesultanan Ternate relatif tak normal. Pemerintah pusat saat itu memaksa sultan pindah ke Jakarta. Kegiatan Kesultanan Ternate pun vakum.
Dua kali rakyat Ternate meminta Sultan kembali, tetapi hal itu tak bisa dilakukan karena besarnya tekanan politik. Sampai delegasi rakyat Ternate meminta salah seorang anak Sultan kembali ke Ternate.
“Setelah berulang kali Sultan (sang ayah) memberi penjelasan, tahun 1966 saya pulang melihat situasi di Ternate”, cerita Mudaffar, yang sejak itu tinggal di Ternate.
Dia pun mendekatkan diri dengan rakyat. Ia datangi warga di Maluku Utara dengan menumpang perahu dan berjalan kaki. Tak sulit baginya sebab semasa kanak-kanak sampai usia 10 tahun, dia dititipkan di rumah rakyat untuk menyelami kehidupan warga.
Upaya mengembalikan eksistensi Kesultanan Ternate dia perjuangkan lewat jalur politik, saat menjadi anggota DPRD Maluku sampai ketika ia menjadi anggota DPR/MPR dari Partai Golkar. Perjuangan lewat jalur politik terus dia lakukan dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Maluku Utara periode 2009-2014.
“Berpolitik bagi saya untuk membangun Ternate dan sekitarnya, tidak berorientasi memperkaya diri atau mengejar kekuasaan, ujarnya”.
Ketika ayahnya mangkat pada 1975, Mudaffar ditunjuk sebagai Sultan ke-48 oleh bobato 18 (kumpulan 18 pemimpin masyarakat adat terbesar di Kesultanan Ternate yang berwenang memilih Sultan). Makin intensiflah kegiatannya menyelami kehidupan rakyat.
Dia lalu menata kembali struktur adat Kesultanan Ternate, mengisi kekosongan jabatan, dan menjalankan sejumlah hukum adat sebagai perekat masyarakat. Maka, Kesultanan Ternate mampu menggelar Legu Gam Moloku Kie Raha atau Pesta Rakyat Maluku Utara, delapan tahun lalu.
Legu gam (pesta rakyat) sempat vakum sejak 1950. Merupakan ide istri Mudaffar Sjah, Permaisuri Jo Ou Ma Boki Ratu Nita Budhi Susanti Mangaloa, untuk mengangkat budaya Maluku Utara lewat perhelatan itu.
Permaisuri yang berasal dari Solo, Jawa Tengah, itu juga menginspirasi berdirinya pendopo berbentuk limasan di belakang kadaton Ternate. Bangunan berpilar kayu jati berukiran Jawa itu menjadi ruang tunggu para tamu.
Mudaffar bercerita, doru gam muncul kembali karena istrinya sering bertanya, mengapa tak ada mekanisme yang membuat Sultan Ternate harus bertemu rakyat? Mekanisme itu sebenarnya ada, yakni doru gam.
Maka, dirancanglah serangkaian acara legu gam, yang tiap tahun dirangkaikan dengan kelahiran Mudaffar, 13 April. Semua upaya itu dia lakukan untuk mengembalikan eksistensi kesultanan sekaligus hukum adat yang merekatkan masyarakat di wilayah Kesultanan Ternate.
Upaya itu bukan untuk memosisikan Kesultanan Ternate sebagai pesaing Pemerintah Indonesia atau menciptakan negara dalam negara. Legu gam yang berlangsung selama 17 hari merangkum ekspresi seni budaya 29 suku di Maluku Utara. Di sini, selain Ternate terdapat tiga kesultanan lain, yakni Tidore, Jailolo, dan Bacan.
Pengabdi kadaton
Di Ternate juga ada pengabdi kadaton yang tak menuntut upah. Mereka disebut soangare. Jumlahnya sekitar 50 orang. Mereka rela mengabdi kepada kesultanan, meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan, petani pala, cengkeh, dan kelapa.
Meski begitu, Mudaffar tetap memegang teguh filosofi burung elang berkepala dua atau goheba , lambang Kesultanan Ternate. Lambang itu menyimbolkan pemimpin dan rakyat memiliki kedudukan setara.
Selama 35 tahun bertakhta, ia punya obsesi nilai-nilai keraton menjadi acuan dalam membangun karakter bangsa. Di mata Mudaffar, ketika nilai-nilai demokrasi (versi Barat) diserap tanpa persiapan matang dan diterapkan dalam sistem politik, yang terjadi adalah kerapuhan moral di semua lini.
Kerapuhan itu muncul antara lain lewat korupsi merajalela di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Nilai-nilai luhur yang jauh dari sifat tamak dan serakah seyogianya dihidupkan kembali. e-ti | red
Sumber: Kompas, Rabu, 14 April 2010 dengan judul ” Mudaffar Sjah, 35 Tahun Berdaulat” | A Ponco Anggoro dan Nasrullah Nara