Yang Terbang dari Buaian
Tan Shot Yen
[WIKI-TOKOH] Dia membuat analogi-analogi menarik, dengan gaya penyampaian ekspresif, mimik, dan intonasi yang teatrikal; kadang keras dan sinis, kadang kocak, kadang lembut. Dinding ruang praktiknya bersih dari tempelan iklan obat. Dokter Tan Shot Yen (45) tidak memperlakukan pasien sebagai pesakitan, tetapi sebagai manusia yang punya daya menjadi kritis.
Di ruang tunggu yang dindingnya dipenuhi informasi tentang kesehatan, gizi, dan pola makan, pasien berjejal. Pasien lama, yang sebagian datang dengan kursi roda, bergiliran menyelesaikan terapi. Kadang suara dr Yen menembus dinding pembatas ruang, memberi semangat kepada para penderita stroke parah.
Bagi pasien baru, sesi penjelasan berlangsung dua jam tanpa jeda. “Anda memahami dulu bagaimana kita bekerja sama. Setelah itu, baru sesi privat,” ujarnya, memulai sesi itu.
Pagi itu, ia menjelaskan hubungan antara perasaan dan gejala penyakit, antara kebahagiaan yang bersumber dari dalam diri dengan kesehatan tubuh dan jiwa. Singkatnya, sehat tak bisa dilihat hanya dari sisi ketubuhan.
Dia membongkar hubungan antara gaya hidup dan penyakit, tentang mitos “obat” dan tentang “kegilaan” dalam industri kedokteran (dan farmasi), yang mendorong ketidakpedulian pada cara hidup. “Udah ada obatnya ini,” begitu cara berpikir banyak orang.
Lalu analoginya terbalik: obat diciptakan bukan karena ada penyakit, tetapi penyakit tercipta karena ada obatnya.
“Alarm”
Ia melontarkan pertanyaan penting, “Apa tujuan Anda berobat?”
Ada garis putus antara “kesembuhan” dan “pengobatan”. Obat tak menjamin kesembuhan, hanya merespons gejalanya. “Ibarat lapar, tetapi masuk toko sepatu. Sambil milih sepatu, laparnya hilang. Keluar dari situ ya lapar lagi,” ujarnya, dengan nada tinggi.
“Semua penyakit punya riwayat,” tuturnya, pelan. Ia menjelaskan fungsi-fungsi organ tubuh dan zat-zat penting yang dihasilkannya, juga fungsi hormon sebagai “alarm” ketidakberesan dalam tubuh.
“Namun, Anda memperlakukan ‘alarm’ itu sebagai penyakit, lalu ditumpas dengan obat, yang justru mematikan ‘alarm’ itu,” kata dr Yen. Obat, kata dia, senantiasa membawa konsekuensi terhadap kesehatan organ tubuh.
“Kalau Anda datang ke sini mengharapkan tongkat ajaib, maaf, saya tidak punya,” nada suaranya kembali meninggi. “Saya tak punya suntikan atau pil ajaib. Saya hanya memberi pengertian mengapa Anda gemuk, mengapa tangan kiri Anda gemetar terus. Begitu paham, Anda kerjakan sendiri.”
Ia mengandaikan dirinya sebagai pelatih. “Anda adalah atlet olimpiade saya. Anda yang menciptakan medannya. Saya di belakang, di luar lapangan. Tetapi ketika Anda main, saya tahu cara Anda bermain, and a trainer knows how to win.”
Ia melanjutkan, “Di luar sana ada obat ini-itu, ada ahli, ada macam-macam. Saya kasih Anda papan skor. Kalau skor Anda bagus, teruskan. Tetapi kalau tensi makin tinggi, Anda jadi tergantung sama obat, duit habis, papan skor mengatakan, Anda sebentar lagi kalah.”
Kata dr Yen, manusia sudah semakin jauh dari alam, bahkan menganggap alam berada di luar dirinya. Mereka menerabas hukum-hukumnya, dan membiarkan tubuh menanggungnya.
Inti anjurannya: ubah gaya hidup, pilih jenis makanan yang paling pendek rantai prosesnya, tanpa pengawet, penyedap, hayati tubuh, belajar paham pertanda yang dikirimkannya, paham kerja organ tubuh, punya ‘peta’ kesehatan diri dan bisa membacanya.
Tujuan ilmu kedokteran adalah mencegah penyakit dan mempromosikan kesehatan,” ia mengutip pandangan William J Mayo, pendiri Mayo Clinic.
Bukan mesin
Tubuh manusia bukan mesin mobil, yang bisa diperlakukan secara parsial, tegas Yen. Tubuh manusia tak hidup tanpa jiwa, perasaan, dan pikiran. Semua berkelindan. Oleh karena itu, kesehatan hidupnya ditentukan oleh keempat hal tersebut.
Namun, pendekatan mekanistik terhadap tubuh sebagai warisan pandangan Cartesian terus berlangsung. Pandangan terhadap tubuh secara fungsional sebagai kesatuan yang mekanistik membuat manusia “mereparasi” tubuh yang sakit dengan teknologi yang tersedia.
Pendekatan itu telah mengubah seorang dokter dengan keterampilan yang bernilai seni, menjadi teknisi yang (hanya) menjalankan kaidah-kaidah saintifik. Diagnosa penyakit tak lagi terhubung dengan penderitanya. Kesalahan terapi telah mengubah malpraktik dari masalah etis menjadi problem teknis belaka.
Argumen dr Yen tentang pereduksian tubuh manusia dalam praktik medis menjadi kajian tesisnya. Ia menolak pandangan rakyat sebagai sekadar konsumen kesehatan. “Mereka adalah pelaku kesehatan yang harus terus diberdayakan.”
Jadilah sesi awal di ruang praktiknya sebagai penggedor kesadaran. Harapannya terjadi click of consciousness dalam diri pasien. Pemberdayaan dimulai dari sini.
Ia juga terus menulis. Saya pernah menjadi penulis cerita anak,” tuturnya. “Mereka pure soul, beda dengan orang dewasa sudah punya trauma, lalu membuat dramanya dengan menempatkan diri sebagai korban dan menyalahkan orang lain.”
Ilmiah
Terhadap tuduhan “pseudo-science”, ini jawabnya, “Penelitian terakhir kedokteran modern akhirnya mengakui perubahan gaya hidup sebagai hal utama, setelah membayar mahal kegagalan pil-pil ajaibnya yang membuat manusia kehilangan harga diri sebagai pelaku kesehatan. Ilmu kedokteran modern kembali berlutut pada kebesaran alam.”
Ia melanjutkan, “Dari berbagai penelitian modern, tersembul berbagai fakta ilmiah terbaru, seperti penemuan enzim dalam sayuran lalap dan buah segar”.
Yen tampaknya mengikuti jejak ayahnya, dr Tan Tjiauw Liat (78), lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1959. Mereka meninggalkan “buaian” yang menjanjikan keberlimpahan materi karena tak mau mengingkari suara hati.
Mereka berjalan dengan keyakinan yang dikukuhi Dr Gan Koen Han, Guru Besar Mikrobiologi FKUI, tahun 1952: “Menjadi dokter itu baik. Menjadi pedagang juga baik. Tetapi bila mencampurkan keduanya, maka menjadi tidak baik sama sekali.” e-ti
Sumber: Kompas, Jumat, 30 Oktober 2009 | Penulis: Maria Hartiningsih