Muslihat Biadab Belanda Tak Beradat

Cuplikan Perang Batak

Menolak Dinobatkan Menjadi Sultan Sisingamangaraja XII Segitiga Perang Batak Sangkakala Perang Suci di Bahalbatu Saatnya Batak Bersuara
 
0
321
Emerging Memory: Karikatur Penindasan Kolonialis Belanda. Albert Hahn, East-Indisch Blind. From De Notenkraker: Zondagsblad van Het Volk, 17 Nov.1907. Bijl, Paul, 2015; Emerging Memory: Photographs of Colonial Atrocity in Dutch Cultural Remembrance, Amsterdam: Amsterdam University Press.

Belanda yang merasa sangat kesulitan untuk menundukkan Si Singamangaraja, lalu memakai ‘taktik licik dan busuk’ untuk menangkap atau membunuhnya.

Oleh Ch. Robin Simanullang, Hita Batak A Cultural Strategy

Residen Tapanuli LC Welsink yang menggantikan Boyle, menggunakan pendekatan melalui Raja Tungtung (Ompu Tahilan) dan Ompu Porhas, keturunan Sorimangaraja (satu garis keturunan dengan Sinambela, marga Si Singamangaraja yakni salah satu cucu Sorimangaraja adalah Si Raja Oloan, yang memperankkan Sinambela), mengadakan koresponsdensi dan pembicaraan berulang kali dengan tawaran perundingan dari pihak Belanda. Karena dilakukan melalui pendekatan kelu­arga dan adat, Si Si­ngamangaraja pun menerimanya.

Salah satu surat Sisingamangaraja XII berisi bagaimana negosiasinya dengan Kerajaan Belanda. Sisingamangaraja menyatakan siap berhubungan baik dengan Kerajaan Belanda melalui lembaga pernikahan. Poernama Rea menulis, Si Singamangaraja memang menghendaki adanya hubung­an baik dengan Belanda tetapi bukan untuk dijajah.[1] Ia bersedia patuh sebagai Boru apabila Raja Belanda bersedia menikahkan putrinya kepadanya atau puteranya. Surat itu sempat dibalas de­ngan rasis oleh pihak Kerajaan Belanda: “Kami tidak mung­kin menikahkan putri kami kepada suku yang masih kanibal.” Akibatnya, negosiasi itu menjadi buntu.

Akan tetapi oleh Raja Tungtung dan Ompu Porhas negosiasi terus dilanjukan dengan menjelaskan makna surat Si Si­ngamangaraja itu dalam perspektif kekerabatan adat Batak (Dalihan Na Tolu): Bahwa apabila pihak keluarga Si Singa­mangaraja mengambil istri putri kerajaan Belanda maka secara otomatis (adat) keluarga Si Singamangaraja akan patuh (hormat) kepada kerajaan Belanda sebagai Hulahula; Serta putri kerajaan Belanda dimaksud tidak harus putri langsung Raja atau Ratu Belanda, Wilhelmina, melainkan siapa saja Boru Bulanda (Putri Belanda). Akhirnya kesepahaman pun tercapai. Maka dalam salah satu balasan suratnya yang dibawa Raja Tungtung (Ompu Tahilan) dan Ompu Porhas untuk disampaikan kepada pihak kerajaan Belanda melalui Residen LC Welsink, Si Singamangaraja menegaskan kesepakatannya:

“Hatiku gembira, datanglah kalian, akan tetapi jangan membawa senjata atau lembing. Kami pun akan kalian jumpai dalam keadaan yang sama.”[2]

Hajatan perundingan akan dilaksanakan secara adat di Pearaja Dairi, dengan syarat di kedua belah pihak tidak boleh ada tentara dan senjata. Sepakat. Sebagai tuan rumah, Si Singamangaraja mempersiapkan segala sesuatunya sesuai dengan hajatan musyawarah adat, di antaranya menyembelih 12 ekor kerbau dan memasak ber­karung-karung beras, serta mendirikan bangsal besar untuk para ‘tetamu terhormat dan beradab’ yang berniat baik dan damai secara adat, yang akan bersantap siang bersama dengan rakyat. Si Singamangaraja dengan tulus (tanpa berprasangka buruk) pun menginstruksikan supaya semua senjata disimpan, siapa pun tidak boleh membawa senjata apa pun ke acara hajatan musyawarah adat perundingan damai dan beradat (beradab) tersebut. Keadaan menyimpan senjata seperti ini sudah kelaziman bagi orang Batak di lembaga musyawarah Bius (Onan Marpatik). Semua raja-raja adat dan panglimanya mematuhi.

Tiba saatnya, Raja Si Singamangaraja bersama Pertaki (Raja-Raja Adat) Sionom Hudon di Pearaja menyambut para tetamu terhormat yang menyebut dirinya bangsa beradab itu. Gondang (gendang) dan Tortor (tari-tarian) penyambutan raja pun dimulai. Suasana gembira dan ceria terpancar di wajah semua raja-raja adat dan hadirin. Tapi tak disangka, tiba-tiba rombongan Raja-Raja Bulanda (Raja-Raja Belanda) melepaskan tembakan membabi-buta, menembaki para raja adat (Pertaki) yang menyambut. Belanda juga menem­baki hadirin secara biadab tanpa perikemanusiaan. Raja Tungtung si perantara, dan Raja Parlopuk Sinambela (abang Si Singama­ngaraja XII) yang dikira Si Singamangaraja tewas tertembak. Sementara, Si Singamangaraja beserta beberapa pengawal dan panglimanya berhasil meloloskan diri dari serangan tipu daya biadab Belanda, bangsa yang menyebut diri sebagai manusia beradab, jauh lebih beradab dari orang Batak tersebut. Si Singamangaraja yang dengan gerak cepat meloloskan diri dari berondongan senjata membabi-buta secara tiba-tiba dan biadab itu, sempat masuk ke Bale Pasogit, seraya berteriak menyebut: “Belanda pengingkar janji, manusia biadab yang tidak tahu adat. Manusia biadab! Sekalipun kamu menembaki aku, tetapi Ompung Debata akan menjaga aku dan bangsaku.”[3]

Sungguh biadab, lebih biadab dari setan[4], sebuah tragedi penjagalan dan pembunuhan massal terhadap orang Batak oleh kelicikan kolonialis Belanda di Peara­ja Dairi (1898). Sebuah tragedi kemanusiaan dan tragedi pera­daban yang sudah di luar batas kesetanan.[5] Ini sebuah catatan sejarah yang menunjukkan bahwa orang Eropa (Sibontar Mata) itu, walaupun sudah berpendidikan lebih maju, bahkan sudah beragama (Kristen), tetapi bukan bangsa yang beradab.[6]

Pasukan licik Belanda masih sempat berusaha mengejar Si Singamangaraja dan pengawalnya ke hutan, tetapi tidak berani meneruskannya terlalu jauh karena tidak menguasai beratnya medan hutan rimba tersebut. Seperti biasanya, Belanda membakar habis kampung dan rumah di Pearaja Dairi tersebut serta menghukum denda semua Raja-raja Pertaki di daerah itu.

Advertisement

Setelah menempuh hutan rimba dan beberapa kampung, Si Singamangaraja berhenti di suatu tempat yang dinamai Banuarea (berasal dari dua suku kata yakni banua artinya kampung dan rea artinya raya), tidak berapa jauh dari Salak saat ini. Di Banurea itu dia menghimpun semua keluarga dan pengikutnya kembali. Mereka segera membangun perkampungan darurat.

Sementara pihak penjajah Belanda terus mengintai dan memburu keberadaan Si Singamangaraja. Setelah beberapa bulan, penjajah Belanda pun tak tahu adat masih mengirim surat melalui Ompu Buntu, menanyakan dan meminta kese­diaan Si Singamangaraja untuk menjalin ‘hubungan baik’. Tak disangka, Si Singamangaraja sangat berlapang dada, melalui puteranya, Patuan Nagari, dia menyambut permin­taan Belanda itu dengan surat balasan kesediaan menjalin hubungan baik, dikirim melalui Ompu Buntu, dengan diser­tai titipan bedil sibadar (senjata berwarna putih) sebagai perlambang komitmen (syarat) keikhlasan dan kejujuran dan tidak ada kelicikan dan kebohongan.[7]

Tetapi terjadi perbedaan prinsip. Belanda mengendaki Si Singamangaraja akan dihormati sebagai Raja Batak, tetapi harus tunduk kepada penjajah Belanda. Sebaliknya, Si Si­ngamangaraja menghendaki terjalinnya hubungan baik, antara lain melalui lembaga perkawinan, tanpa penjajahan dan penindasan. Berulangkali Si Singamangaraja menyatakan sikapnya tidak mau menyerah untuk dijajah.

Perundingan itu pun tidak terwujud. Bahkan hanya meru­pakan akal licik Belanda untuk dapat mengetahui dan menjangkau tempat gerilya Si Singamangaraja. Terbukti, tak berapa lama kemudian, pasukan Belanda menyerang Banuarea.  Si Singamangaraja yang sudah menduga serangan tersebut melakukan perlawanan. Tapi, sekali lagi, akibat persenjataan yang sangat tidak seimbang, Si Singamangaraja meminta pasukannya mundur setelah salah satu panglimanya Manasse Simorangkir[8] gugur tertembak.

Si Singamangaraja bersama keluarga dan pasukannya setelah menempuh hutan rimba, tiba di Kunaning, pinggir Lae Cenendang.  Segera membangun pemondokan darurat. Lalu berusaha menghubungi para Pertaki (Raja-Raja Huta di Pakpak-Dairi) untuk melanjutkan perjuangan. Dia juga menghubungi raja-raja di daerah pesisir timur, di antaranya, Tuan Hatorusan (Tuanku Ilir) di daerah Barus, orang Batak yang sudah beragama Islam dan sudah lama terpaksa tunduk kepada Belanda. Melalui puteranya, Patuan Anggi, yang pernah mendapat gemblengan perang di Aceh (Gayo-Alas), diminta untuk meminta bantuan pasukan dari Gayo-Alas. Tapi permintaan itu tak bisa dipenuhi, karena Aceh juga tengah menghadapi serangan dahsyat penjajah Belanda, antara lain di Ana Galung (29 Juni 1896) dan Batee Ili (3 Februari 1901).[9]

Ketika itu pasukan Belanda dipimpin Gubernur Militer dan Sipil di Aceh Joannes Benedictus van Heutsz (1898-1903)[10] menambah kekuatan Korps Marsuse menjadi 5 devisi yang terbagi dalam 60 brigade.[11] Korps Marsuse melancarkan serbuan dahsyat di Aceh sehingga Sultan Aceh Tuanku Muhammad Dawood (Muhammad Daud Syah) yang memusatkan pertahanan di Gayo Alas terpaksa menyerah (10 Januari 1903) akibat isteri dan keluarganya telah ditahan Belanda[12], disusul Panglima Polim dan Tuanku Raja Keumala (7 September 1903). Sementara Teuku Umar yang berjuang di Baratdaya Aceh telah lebih dulu gugur dalam pertempuran di Meulaboh, 11 Februari 1899. Perjuang­annya dilanjutkan isterinya, Srikandi Tjut Nja’ Dhien (Cut Nyak Dhien), namun kemudian tertangkap dalam pertempuran di Me­u­laboh dan dibuang ke Sumedang sampai meninggal tanggal 6 November 1908.

Silakan baca/download versi asli PDF:
1389 Perang Batak II Muslihat Biadab Belanda

Footnotes:

[1] Sinambela, Poernama Rea, 1986: h.34; Bandingkan juga pengungkapan Uli Kozok perihal surat-surat Si Singamangaraja di hadapan akademisi Unimed, Kamis 27 November 2008 di Ruang VIP Gedung Serbaguna Unimed dan beberapa kesempatan lainnya.

[2] Sinambela, Poernama Rea, 1986: h.34.

[3] Sinambela, Poernama Rea, 1986: h.33-35.

[4] Setan itu makhluk jahat yang memang biadab, tapi masih ada yang lebih biadab dari setan yakni manusia yang menyebut diri beradab tapi bertindak biadab; Maka disebut manusia beradab yang lebih biadab dari setan. Analoginya: Seorang kriminal adalah jahat, tapi lebih jahat lagi seorang pendeta yang berbuat jahat.

[5] Penulis tidak (belum) menemukan bukti (dokumen) keikutsertaan zending dalam tipu daya tragedi peradaban dan tragedi kemanusiaan di Pearaja Dairi tersebut. Semoga mereka sama-sekali tidak ikut-serta. Tapi juga belum menemukan bukti suara protes para misionaris atas kebiadaban kolonialis Belanda tersebut.

[6] Ini catatan sejarah Batak dalam perspektif orang Batak yang beradat-budaya Batak (merdeka), bukan perspektif orang Eropa yang mengakunya paling beradab tapi tindakannya tidak beradab. Kiranya hal ini dicatat oleh dunia yang beradab. Kalau pun hari ini dunia sejarah masih ‘berkiblat’ Eropa (Barat), tidak apa-apa, sebab masih ada hari esok. Yang penting, catat sejarah bangsa dalam perspektif bangsa sendiri. Jangan malah ditulis dalam perspektif Belanda atau asing. Jangan pula hanya dituturkan lisan, sebab dalam dunia ilmu sejarah, apa yang tercatat itulah sejarah. Itulah sebabnya nilai-nilai peradaban Batak tidak mereka anggap, karena selama ini hanya dikisahkan lisan, tidak dituliskan. Sebaliknya mereka mencatat dengan menyebut Batak kanibal. Itu kata mereka (bohong, tanpa pernah menyaksikannya) tapi dianggap benar hanya karena dituliskan oleh orang Eropa yang sama sekali tidak mengenal nilai-nilai adat (peradaban) orang Batak.

[7] Sinambela, Poernama Rea, 1986: h.36.

[8] Manasse Simorangkir, orang Silindung, dari namanya berasal dari Bahasa Ibrani Manasye, putra Yusuf (Kejadian 41:51), dia sudah dibaptis dan pernah menjadi siswa sekolah zending di Pansur Napitu, tapi kemudian memilih berjuang bersama Si Singamangaraja. Banyak penduduk Silindung yang juga hatinya ingin berjuang bersama Kaum Adat yang dipimpin Si Singamangaraja, namun mereka terpaksa patuh kepada Belanda dan bersedia dibaptis.

[9] Sinambela, Poernama Rea, 1986: h.36.

[10] Joannes Benedictus van Heutsz kemudian diangkat menjabat Gebernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, sejak 1904 sampai 1909, menggantikan W. Rooseboom (1898-1904). [Johannes Benedictus van Heutsz, Encyclopedia Britannica, diakses tanggal 7 Oktober 2019.

[11] Sinambela, Poernama Rea, 1986: h.37.

[12] Muhammad Daud Syah, Sultan Aceh terakhir (Sultan ke-35). Daud dinobatkan menjadi sultan di Masjid Tua Indrapuri pada tahun 1874 sampai menyerah kepada Belanda pada 10 Januari 1903. Ia diasingkan oleh Hindia Belanda ke Ambon dan terakhir dipindah ke Batavia sampai wafat tanggal 6 Februari 1939.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini