Ketika Hita Batak Mencubit Diri Sendiri
Laksana Api yang Membakar dan Menerangi

Pengungkapan kebenaran sejarah misi itu laksana api panas bisa membakar dan menyakitkan, tetapi juga menerangi (mencerahkan, mencerdaskan, menginspirasi dan memotivasi). Ketika kita mengungkap kebenaran keterlibatan langsung beberapa misionaris, terutama Ompu i Nommensen dalam Perang Batak, bisa juga kita analogikan bahwa sesungguhnya kita sedang mencubit diri sendiri; Terasa sakit, supaya kita tersadar mawas diri, memperbaiki diri dan mengubah paradigma dalam memahami dan menghadapi tantangan zaman menuju orde hidup baru.Ā
Oleh Ch. Robin Simanullang (The Batak Institute)
Di bawah judul Hita Batak: A Cultural Strategy. Kata Hita adalah kata baku yang sangat mengekspresikan kentalnya hubungan intersubjektif Batak. Intersubjektivitas yang merupakan hasil dari keyakinan dan pemikiran komunitas (kolaborasi), bukan hanya pengalaman dan keyakinan pribadi atau kesediaan dari setiap subyek untuk membuka diri bagi subyek yang lain. Dinarasikan dengan kedalaman hati sebagai pusat berpikir yang harus mempertajam alat-alat logisnya untuk mengontemplasi berbagai nilai dan peristiwa dan menghindari kesimpulan yang salah. Dalam konteks ini, perubahan narasi sejarah perang segitiga Batak, contohnya, menghadirkan ākejutan-kejutanā naratif yang mencengangkan tentang peranan penting misionaris dalam perang Batak, yang mereka pandang sebagai āperang yang adilā atau Perang Suci. Dalam hal ini, hanya pemikiran yang cermat dan teliti serta hati yang arif dapat mengarahkan jalan kebenaran, yang tidak sekadar memberikan kekuatan yang berlebihan dan menempatkan batasan yang berlebihan pada suatu narasi peristiwa masa lalu, kini dan masa depan, tetapi juga menghindari mengulangi kesungkanan dan kebohongan atas realitas kebenaran, untuk mendidik orang dalam kebenaran (2 Tim 3:16).
Video Peluncuran | Video Promo | More InfoĀ | Ā Beli Buku |



Dalam konteks āperang suciā Islamisasi dan Kristenisasi Batak ini, adalah keharusan (kewajiban) moral bagi orang Batak untuk berterimakasih kepada Paderi dan Misionaris, serta kolonialis Belanda. Namun, secara khusus, dalam hal perang suci, doktrin-doktrin Kristenisasi (Gereja) dan pembunuhan karakter Batak, jalan pintas yang dipilih misionaris, terutama Nommensen, yang pada hakikatnya telah mendistorsi Injil, sangat memerlukan interpretasi dan kontemplasi dengan narasi-narasi baru yang transformatif secara kolaboratif. Pengungkapan kebenaran sejarah misi itu laksana api panas yang bahkan membakar dan menyakitkan, tetapi juga menerangi, mencerahkan, mencerdaskan, menginspirasi dan memotivasi. Juga, ketika kita mengungkap kebenaran keterlibatan langsung beberapa misionaris, terumata Ompu i Nommensen, bisa kita analogikan bahwa sesungguhnya kita sedang mencubit diri sendiri; Terasa sakit supaya kita tersadar mawas diri, memperbaiki diri dan mengubah paradigma dalam memahami dan menghadapi tantangan zaman menuju orde hidup baru.Ā Hal mana, hal itu akan lebih sempurna kita pahami dengan kecerdasan hati sebagai pusat berpikir, dengan kearifan dan iman.
Sehingga orang Batak, dan Gereja-Geraja Batak, tidak terjebak dalam pergulatan konstan dan siklus, yang dalam tempo lebih 160 tahun (1861-2021), tidak beranjak dari doktrin Gereja Mision Barmen, yang secara sadar atau tidak, telah mendistorsi Injil. Hal mana seyogyanya telah melahirkan pembaharuan naratif secara fundamental dengan intrepretasi dan kontemplasi yang lebih mendalam tentang Injil (sebagai meta-narrative), Pro-Testament, Pro New Testament: Melangkah, langkah demi langkah (saksi hidup) di Jalan, Kebenaran dan Hidup; Yang tidak berkompromi dengan kekerasan, perang, kebencian, penistaan, apapun alasan dan tujuan baiknya, apalagi mengatasnamakan Tuhan, tetapi harus penuh kasih, mengasihi musuh tanpa syarat (agape). Untuk itu, perlu didorong (didukung) munculnya cendekiawan dan rohaniawan yang berinovasi menampilkan interpretasi dan narasi-narasi baru tentang nilai-nilai luhur budaya dan doktrin-doktrin Gereja Batak.
Hastings Rashdall (1898) dalam Doctrine and DevelopmentĀ mengatakan interpretasi baru akan sering menemukan makna yang lebih penuh dan lebih tinggi ke dalam kata-kata lama daripada interpretasi lama (tradisional).[1] Narasi (interpretasi dan kontemplasi) transformatif itulah yang didalami dan dieksĀplorer dalam kerangka berpikir raksasa, belajar raksasa dan berkarsa buddhaya raksasa dalam buku ini, dalam perspektif Hita Batak yang futuristik, berorientasi masa depan. Bukan āhukum kemunduranā, transformasi langkah mundur, merindukan masa lalu atau atavis; Apalagi bukan untuk menyesali, meratapi dan mengutuk masa lalu.
Menurut Enrico Ferri (1900) dalam Socialism and Modern Science tentang transformasi (hukum sosiologis) bahwa hukum kemunduran membuktikan bahwa pengembalian institusi sosial ke bentuk dan tipe lama (primitif) adalah fakta yang terus berulang, transformasi dalam arah kebelakang.[2] Maka kita juga tidak sudi terjebak oleh ākerinduan masa laluā. Seperti narasiĀ sastra Yunani-Oriental primitif, mengutip Carducci berkata, dalam ceramahnya di Universitas Bologna, bahwa perkembangan bentuk dan substansi sastra sering kali hanyalah reproduksi bentuk dan substansi sastra Yunani-Oriental primitif; Dengan cara yang sama, teori ilmiah modern tentang monisme, jiwa evolusi universal dan bentuk tipikal dan definitif dari pemikiran manusia yang sistematis, ilmiah, dan eksperiensial yang hanya kembali ke gagasan para filsuf Yunani dan Lucretius, penyair besar naturalisme.[3]
Kahlil Gibran, penyair Kristen Arab-Libanon, menyuarakan dalam Le Livre des Processions (Al MawĆ¢keb) – Kitab Prosesi: āUntuk pria, berbuat baik di bawah paksaan adalah palsu, dan penyakit manusia, bahkan ketika dikubur, tak pernah padam. Pria terlahir sebagai budak; yang menolak untuk menekuk lutut; Dan semua orang mengikuti segera setelah dia bangun untuk berjalan.ā[4]
Ya, kita suku bangsa yang tidak mau bertekuk lutut pada kezaliman. Kita bangun melangkah maju. Tidak ada kata mundur, transformasi langkah mundur! Melainkan, secara strategis, berani gagah maju bersama ke depan dengan langkah raksasa, transformasi futuristik. Dalam strategi kebudayaan Batak, nilai-nilai luhur lama (klasik) adalah meta-naratif (narasi dominan) mutlak, tambang energi kebenaran yang dieksplorer dengan kreativitas dan inovasi perubahan naratif (interpretasi dan kontemplasi) transformatif, secara kolaboratif (kolaborasi sosial) berpikir raksasa, belajar raksasa, dan berkarsa buddhaya raksasa, dalam perspektif Hita Batak berorientasi masa depan berkelanjutan, futuristik.
Narasi literasi kontemplatif nilai luhur Batak yang membawa kita ārindu pulangā ke pusat jantung Bonapasogit, tatuan harajaon Batak (pusat kerajaan Batak), pusat kebudayaan Batak,Ā pusat penyebaran orang Batak, tambang energi kebenaran nilai-nilai luhur Batak, untuk menjemput masa depan. Narasi nilai luhur Batak berhuruf cahaya matahari dan bulan dan bersuara darah cinta sejati, yang bergema sepanjang lorong pusaran bola bumi dari Tano Batak Rea hingga ke ujung bumi (diaspora), serta bersinar terang di pusat lengkungan matahari, bulan dan bintang-bintang, hingga ke langit ketujuh yang tak terhingga, tatuan keabadian kemuliaan Illahi, saat cinta dan kehidupan abadi memerintah. Itulah gema gita cita narasi strategi kebudayaan Batak berkarakter Trisila Batak: Batak Trisilais! Dan, dalam konteks keindonesiaan, Batak Pancasilais! Konteks Islami, Rahmatan lilāalamin! Konteks Kristiani, Garam dan Terang Dunia.
Horas Hita Batak!
Cuplikan Buku Hita Batak A Cultural Strategy. Informasi lebih lanjut kunjungi: https://tokoh.id/buku-hita-batak/
Footnote:
[1]Ā Ā Rashdall, Hastings, 1898: Doctrine and Development, University Sermons; London: Methuen & Co, p.x.
[2]Ā Ā Ferri, Enrico, 1900: p.100-1001.
[3]Ā Ā Ferri, Enrico, 1900: p.101.
[4]Ā Ā Gibran, Kahlil, 2000: Le Livre des Processions; Titre original: Al MawĆ¢keb; Traduction de lāarabe et postface par Elie Dermarkar; Calligraphies de Halima; Couverture de Olivier Fontvieille; Ćditions Mille et Une Nuits, ArthĆØme Fayard, p.7-8.
Video Peluncuran | Video Promo | More InfoĀ | Ā Beli Buku |


