
VISI BERITA (Kemelut Beras, 29 Maret 2007) – Bagi masyarakat Indonesia, beras secara turun temurun memiliki nilai psikologis, magis dan budaya. Jangan pisahkan orang Indonesia dengan nasi atau beras. Sebab, dampaknya bisa meluas dan berkepanjangan.
Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 34 | Basic HTML
Jika tidak percaya, mari kita tengok sejenak prahara yang menimpa hampir 200.000 jemaah haji Indonesia (Desember 2006) ketika mereka tidak merasakan nasi selama tiga hari berturut-turut. Para jemaah yang sedang menunaikan ibadah wukuf di Arafah, tidak memperoleh pasokan nasi katering, lantaran adanya sabotase dan kelalaian pihak pemasok. Kejadian serupa terulang di Mina, ketika para jemaah menunaikan ibadah lontar. Mereka mengamuk dan memperotes badan penyelenggara ibadah haji Indonesia.
Kejadian itu membuat sibuk dan sulit Menteri Agama Maftuh M. Basyuni. Dia harus memberi penjelasan ke mana-mana, karena yang protes bukan hanya jemaah haji, tetapi juga orang-orang yang tidak berkepentingan langsung. Basyuni harus menghadap ke DPR dan DPD, di situ dia bahkan diminta mundur.
Mereka sebenarnya bukan tidak makan sama sekali, tetapi tetap merasa lapar karena tidak makan nasi. Hal seperti ini tidak hanya terjadi pada jemaah haji, tetapi pada siapa pun yang sedang berada di negeri asing di mana nasi sulit didapatkan. Meskipun makanan yang disantap kaya kandungan kalori, gizi dan protein, tetap saja merasa lapar, karena tidak makan nasi.
Jadi hubungan psikologis, magis dan kultural, antara orang Indonesia dan nasi, memang tidak bisa dipisahkan oleh makanan apa pun. Memang ada kekecualian, tetapi hanya menyangkut bagian sangat kecil dari 230 juta penduduk Indonesia yang mengonsumsi beras.
Ini apa artinya? Artinya, pemerintah tidak boleh main-main, karena beras merupakan kebutuhan pokok yang paling fundamental bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah harus menetapkan kebijakan perberasan yang jelas, konsisten, solid dan berketahanan dalam jangka panjang.
Negeri ini membutuhkan lebih kurang 30 juta ton beras setiap tahun. Angka ini bisa ditutup dengan produksi dalam negeri dan impor. Tahun 2007 ini, pemerintah merencanakan impor beras sebanyak 2 juta ton untuk memenuhi stok nasional. Semula jumlah ini diharapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditutup dengan tambahan produksi dalam negeri. Namun ini tidak mungkin, banyak sawah yang gagal panen karena kekeringan dan kebanjiran. Musim tanam tahun ini terlambat, sehingga panennya terlambat. Akibatnya, target produksi lebih kurang 58,4 juta ton gabah kering giling (GKG) tidak tercapai.
Dalam sejarahnya, hanya sekali Indonesia tidak mengimpor beras, yaitu tahun 1984, tatkala tercapai swasembada beras. Pemerintah dulu memang selalu mengimpor beras, tetapi hanya untuk menutup stok Bulog. Beras impor tidak segera dilepas ke pasar seperti sekarang, dilepas hanya untuk mengoreksi kenaikan harga. Atau Bulog akan membeli beras petani bilamana harga beras merosot. Jadi fungsi Bulog hanya untuk menjaga stabilitas harga, bukan menjadi pedagang beras resmi seperti sekarang.
Sudah berbulan-bulan, bahkan sejak tahun lalu, Indonesia menghadapi kemelut beras—krisis stok, sehingga harganya terus melonjak. Pemerintah harus terus mengimpor beras untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tetapi pemerintah tidak bisa selamanya melakukan hal itu. Pemerintah tak perlu ikut berdagang beras. Pemerintah mesti memiliki politik perberasan yang jelas, konsisten dan berketahanan. Kajian dan perhatian pemerintah menyangkut beras difokuskan pada keamanan di tingkat produksi, distribusi dan konsumsi. Artinya, produksi beras harus maksimal, distribusinya lancar dan tidak terjadi gejolak harga di tingkat konsumen. Inilah kondisi ideal perberasan nasional.
Susah juga jika masalah beras terabaikan. Sedikit saja terjadi krisis atau kemelut, seluruh masyarakat akan berteriak. Jadi soal stok dan pasokan beras, tidak bisa semata-mata bergantung pada negara lain. Sebab, jika terjadi krisis beras internasional, Indonesia akan menjadi negara yang menderita, bahkan lebih menderita dari negara produsen beras. Sebab, soal perut rakyat, apalagi dalam jumlah ratusan juta, tidak bisa main-main.
Bisa saja urusan impor beras diserahkan kepada pihak swasta, percayakan saja sepenuhnya pada mekanisme pasar. Beras yang ada di tangan pemerintah atau Bulog, benar-benar disiapsiagakan untuk mengatasi rawan pangan. Dan pemerintah atau Bulog hanya membeli beras dari petani agar mereka tidak dipermainkan oleh tengkulak atau juragan beras.
Dulu, masyarakat Indonesia, menempatkan beras pada posisi yang sangat strategis, karena menjamin ketahanan pangan keluarga dan seluruh warga desa. Masyarakat di setiap desa mempunyai lumbung padi keluarga dan lumbung desa. Sebab saat itu, beras memiliki nilai magis dan budaya. Beras bukanlah komoditi komersial seperti sekarang.
Dalam semangat seperti inilah, pemerintah perlu mempertahankan stok beras nasional, bisa disentralisasi atau didesentralisasi pada daerah-daerah. Beras, di mata pemerintah, hendaknya tidak dijadikan komoditi dagangan, tetapi sebagai stok pangan yang punya nilai strategis untuk menjamin ketahanan (pangan) bangsa.
Paradigma selama ini yang menjadikan beras sebagai komoditi komersial memang harus diubah. Karena dengan perubahan paradigma, pemerintah bisa menetapkan suatu kebijaksanaan dan langkah yang benar-benar menajam pada kestabilan dan ketahanan pangan untuk menjaga stabilitas dan ketahanan bangsa.
Hanya setelah ketahanan pangan tercapai, kita bisa memikirkan hal-hal lain, seperti meningkatkan produksi dan menghemat konsumsi beras. Kemudian menjajagi kemungkinan untuk memanfaatkan bahan pangan lain, seperti umbi-umbian, sebagai suplemen beras. Dengan demikian konsumsi beras bisa dihemat berlipat ganda.
Pemerintah tidak perlu panik karena kekurangan stok beras. Sebab kepanikan pemerintah memberikan dampak psikologis pada pasar. Kondisi inilah yang dikehendaki oleh para spekulan yang sekarang menguasai stok beras nasional. (red/BeritaIndonesia)
Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 34
Dari Redaksi
- Dari Redaksi – Hal. 4
Surat Komentar
- Surat Komentar – Hal. 5
Highlight/Karikatur Berita
- Highlight/Karikatur Berita – Hal. 7
Berita Terdepan
- Kursi Panas Dua Menteri – Hal. 12
Visi Berita
- Kemelut Beras – Hal. 13
Berita Utama
- Tak Bisa Hidup Tanpa Beras – Hal. 14
- Bulog Riwayatmu Kini – Hal. 19
- Jutaan Hektar Sawah Dikonversi – Hal. 22
- “Kita Harus Cerdas Melihat Persoalan” – Hal. 25
Berita Opini
Berita Khas
- Reshuffle: Langkah Mundur atau Maju? – Hal. 28
Berita Tokoh
- Rinaldi Firmansyah – Hal. 30
- Emirsyah Satar – Hal. 31
Berita Humaniora
- Bahasa Daerah Semakin Punah – Hal. 32
Lentera
- Kampus Al-Zaytun dan Ditjen PLS Depdiknas Bangun Kerjasama Pendidikan Nonformal – Hal. 34
- Wawancara Ace Suryadi: Konsisten Memajukan Pendidikan – Hal. 38
Berita Nasional
- Kalau DPR-Pemerintah Adu Kuat – Hal. 42
- SBY, Antara ‘Akan’ dan ‘Telah…’ – Hal. 43
- Garuda Tak Lebih Baik dari LCC – Hal. 44
- Presiden Mulai Kurang Sensitif – Hal. 45
Berita Daerah
- Menyoal Kasus Korupsi di Pemko Tarakan – Hal. 46
- Reformasi Agraria di Purwakarta – Hal. 48
Berita Ekonomi
- Bisnis Rente Perbankan – Hal. 49
- Badai Belum Berlalu – Hal. 50
- Anomali Belanja APBN 2007 Tanya Kenapa? – Hal. 51
- Banjir dan Kekeringan Datang Bersamaan – Hal. 52
Lintas Media
- Impor Duit dan Sapi Bermasalah – Hal. 53
Berita Hukum
- Duit Panas dari Paribas – Hal. 54
- Akibat Memo Untuk Pak Menteri – Hal. 55
Berita Politik
- PP itu akhirnya Direvisi – Hal. 56
- Partai Kecil Makin Khawatir – Hal. 56
- Layu Sebelum Berkembang? – Hal. 57
Lintas Tajuk
- Ayam Mati di Lumbung Padi – Hal. 58
Berita Mancanegara
- Iran dalam Teori Machiavelli – Hal. 59
Berita Lingkungan
- Tanah Gersang Demi Singapura – Hal. 60
Berita Kesehatan
- Ketika Gen Lemah Jadi Masalah – Hal. 61
- Disinfektan Anti Flu Burung – Hal. 61
Berita Iptek
- Memblokir Situs Porno – Hal. 62
Berita Olahraga
- Chris John Masih Ingin Istirahat Panjang – Hal. 63
- Ina Gagal di All England – Hal. 63
Berita Feature
- Jalan Pun Jadi Hijau – Hal. 64
Berita Budaya
- Filosofi dari Ki Dalang – Hal. 65
Berita Hankam
- Ambalat Kembali Menghangat – Hal. 66
- Kostrad Ikut Jaga Perdamaian Dunia – Hal. 66