
[OPINI] Implikasi Tantangan Ekonomi – Oleh Ch. Robin Simanullang SIB 11-10-1988: Kehadiran futurolog Dr. Alvin Toffler ke Indonesia menarik perhatian banyak kalangan. Alfin Toffler penulis buku terkenal Future Shock, The Third Wave dan Premises itu mengemukakan bahwa dunia sekarang ini sudah menuju gelombang ketiga (zaman informasi). Sehingga semua proses pembangunan sudah mengarah kepada era itu. Bila tidak, negara berkembang yang bersangkutan akan terus ketinggalan dan semakin jauh ketinggalan karena proses gelombang ketiga itu berlangsung amat cepat meninggalkan gelombang kedua yakni masa industrialisasi.
Alvin Toffler mengemukakan banyak ‘nasehat’ mengenai strategi pembangunan negara-negara sedang berkembang. Ia berbicara soal tenaga kerja murah yang tidak berperan (relevan) lagi pada zaman informasi ini. Upah murah sudah ketinggalan zaman. Ia bilang, negara berkembang harus menganalisa sendiri kekuatannya sendiri, jangan hanya mencontoh proses kemajuan negara lain. Harus berani menentukan sendiri pola pembangunan yang disesuaikan dengan kemampuan sendiri dan perkembangan di masa depan.
Banyak hal yang dikemukakan Alvin Toffler, yang mungkin berguna bagi kita sebagai bahan kajian alternatif. Namun yang jelas, kita harus tegak dengan pola dan strategi pembangunan kita sendiri yang didasarkan pada sistem nilai dasar dan cita-cita bangsa, yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan perkembangan dan kondisi nyata.
Mungkin kita pun tidak luput dari kekeliruan dalam merencanakan dan melaksanakan pola dan strategi pembangunan yang setiap tahun disepakati dan ditetapkan dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Oleh karena itu, kita juga harus terbuka. Terbuka kepada kritik dan saran, termasuk saran Alvin Toffler tersebut.
Ditulis di Jakarta 10 September 1988 dan diterbitkan sebagai Tajuk Rencana Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Medan, 11 September 1988, di bawah judul Implikasi Tantangan Ekonomi.
Alvin Toffler memberi gambaran tentang ancaman ketertinggalan negara-negara sedang berkembang pada masa depan. Baiklah itu sebagai rangsangan agar kita memulai merenungkan kemungkinan ancaman itu dengan pemahaman kondisi nyata kita. Artinya, tidak hanya berpegang kepada teori dan gambaran Alvin Toffler tentang gelombang ketiganya.
Kondisi nyata pembangunan ekonomi kita saat ini, tidak terlalu menguntungkan bila kita lihat dari tekad tahapan sasaran lepas landas yang akan diraih setelah Repelita V dan VI. Benar, Pelita I sampai IV telah membuahkan hasil, antara lain, laju pertumbuhan ekonomi kita di atas 6% dan pendapatan perkapita kita naik. Namun masih ada suatu ancaman yang kita hadapi, sebagaimana juga dikemukakan Presiden Soeharto pada pidato kenegaraan 16 Agustus 1988, yakni ancaman atas semakin melebarnya jurang (gap) antara yang kaya dengan yang miskin.
Dalam pada itu, setelah kita menikmati dan melampaui zaman keemasan minyak 1970-1981 di mana kita bisa meraih laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun, kita pun berhadapan dengan situasi ekonomi dunia yang tidak menentu (resesi) serta anjloknya harga minyak dengan fluktuasinya yang sering tak terduga. Kita berhadapan dengan periode masa sulit. Dalam kondisi ini, amat terasa betapa kuatnya faktor eksternal memengaruhi perekonomian dan proses pembangunan kita.
Tantangan atau kesulitan itu, masih terpampang dan akan menghadang hingga jauh di hadapan pada Repelita V dan VI nanti. Belum jelas tampak keadaan yang makin membaik. Walaupun berbagai upaya untuk mengompensasi dan mengantisipasi sudah dilakukan. Karena memang faktor eksternal masih sangat memengaruhi, di samping faktor internal.
Dalam kondisi kuatnya gelombang tantangan ekonomi itu, suatu hal yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana tantangan kesulitan ekonomi itu tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik.
Kita, sebagaimana juga banyak kalangan menguatirkan, bahwa gejolak sosial politik mungkin bisa terjadi jika kesulitan itu semakin sulit dan berkepanjangan. Namun suatu hal yang sangat menarik perhatian adalah situasi Pemilu 1987 yang berjalan lebih tertib, lancar dan aman serta dilaporkan lebih baik. Kekuatiran akan hasil Pemilu yang diduga (prediksi) akan mengungkap rasa ketidakpuasan rakyat, ternyata tidak terbukti.
Keadaan ini memberi gambaran kepada kita bahwa masyarakat tampaknya sudah dapat memahami penyebab kesulitan itu adalah faktor eksternal, resesi ekonomi dunia. Juga menggambarkan bahwa tampaknya masyarakat optimis pemerintah akan mampu mengatasi kesulitan itu. Kemungkinan keyakinan itu timbul karena masyarakat melihat berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kesulitan itu. Seperti, langkah deregulasi dan debirokratisasi, langkah pengawasan yang semakin dimantapkan untuk mencegah segala bentuk penyelewengan, juga beberapa kebijakan moneter yang tidak terlalu memberatkan rakyat.
Hal yang kita sebut terakhir ini, perlu mendapat perhatian pemerintah dalam langkah-langkah kebijaksanaan berikutnya untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Kiranya untuk tidak sampai mengundang timbulnya gejolak sosial dan politik perlu menghindari suatu kebijakan, apalagi tindakan pragmatis, yang langsung memberatkan beban ekonomi masyarakat banyak. Misalnya, dengan menaikkan tarif listrik, mengurangi subsidi BBM (menaikkan harga BBM dalam negeri).
Masalah lapangan kerja juga suatu hal yang amat erat pengaruhnya dengan masalah ini. Maka perlindungan kepada sektor informal sebagaimana sudah pernah digagasi perlu dimantapkan realisasinya. Mengenai saran Alvin Toffler tentang tenaga kerja murah tidak zamannya lagi, baiklah itu mendapat perhatian baik dalam program jangka pendek maupun jangka panjang, yang secara bertahap, berangsur, juga harus kita mulai.
Ditulis di Jakarta 10 September 1988 dan diterbitkan sebagai Tajuk Rencana Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Medan, 11 September 1988, di bawah judul Implikasi Tantangan Ekonomi. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Arsip TokohIndonesia.com
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA