
[WAWANCARA] – Muhammad Nazar ingin memperkuat kualitas SDM masyarakat dan memelihara perdamaian di Aceh sehingga dapat berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia yang lebih luas. Pendiri Partai SIRA ini juga ingin membawa Aceh menjadi laboratorium dunia untuk studi kebencanaan, gempa, dan studi perdamaian.
Dalam percakapan panjang dengan Wartawan TokohIndonesia.com di Kantor Perwakilan Aceh, Jl. Indramayu No. 1 Jakarta Pusat (2/2/2012), Muhammad Nazar mantan wakil gubernur Aceh yang maju memperebutkan kursi gubernur Aceh untuk periode 2012-2017, menjelaskan banyak hal. Mulai dari kesiapannya jika terpilih sebagai gubernur, serta keberhasilan Aceh mempertahankan perdamaian pasca rekonsiliasi. Berikut ini petikan wawancara Majalah Tokoh Indonesia dan TokohIndonesia.com dengan Calon Gubernur Muhammad Nazar.
Sejauh ini bagaimana perkembangan Aceh?
Bagus. Secara umum wilayah Aceh tumbuh dengan pesat. Satu kekurangan mendasar di Aceh, kita belum berhasil menumbuhkan industri. Baik industri prosesing besar, dan industri yang lainnya. Selama ini masih tergantung kepada Medan. Sedangkan Aceh penghasil raw material (bahan mentah) yang paling besar. Sekarang masalahnya mengapa selama ini industri belum terbangun? Karena konflik yang terlalu lama, membuat orang menjadi takut. Maka seperti yang saya sebutkan tadi, damai menjadi modal utama dan damai sekarang saya pikir sudah ada, tinggal dipertahankan.
Makanya dalam kampanye pun saya tidak banyak meminta masyarakat untuk memilih saya. Saya lebih banyak berkampanye damai. Mengkampanyekan bagaimana membangun diri, membangun dengan baik. Mereka yang menilai saya, bisa mereka pilih. Terserah mereka. Kalaupun mereka bersumpah untuk memilih saya, nanti di TPS (Tempat Pemungutan Suara), kita tidak tahu, benar apa nggak. Biarkan saja mereka yang menilai dan memilih. Nanti kalau saya terpilih tanpa money politik, tanpa kekerasan berarti. Menurut saya, mereka sudah menilai dengan benar, yang memilih saya.
Makanya dalam kampanye pun saya tidak banyak meminta masyarakat untuk memilih saya. Saya lebih banyak berkampanye damai. Mengkampanyekan bagaimana membangun diri, membangun dengan baik. Mereka yang menilai saya, bisa mereka pilih. Terserah mereka. Kalaupun mereka bersumpah untuk memilih saya, nanti di TPS (Tempat Pemungutan Suara), kita tidak tahu, benar apa nggak. Biarkan saja mereka yang menilai dan memilih. Nanti kalau saya terpilih tanpa money politik, tanpa kekerasan berarti. Menurut saya, mereka sudah menilai dengan benar, yang memilih saya.
Setelah terjadi rekonsiliasi perdamaian di Aceh, bagaimana Anda melihat hubungan pemerintah daerah Aceh dengan pemerintah pusat selama ini?
Bagus. Selama ini yang paling banyak membangun komunikasi dengan pusat, saya. Dengan pengalaman yang saya miliki sebagai wakil gubernur. Tentu saya nanti sebagai gubernur akan lebih mudah lagi. Apalagi wakil saya, anggota DPR RI yang juga punya koneksi khusus dan dari partai nasional. Secara prinsip nasional sama saja. Hanya saja mungkin mereka beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kearifan lokal Aceh. Itu saja yang menjadi perbedaan sedikit.
Hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat tidak mungkin dikurangi, justru harus ditingkatkan. Karena dana Otonomi Khusus (Otsus) juga dari APBN. Semua dana dari APBN. Jadi tidak mungkinlah kita merusak hubungan dengan pusat. Aceh juga Bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Induknya masih tetap nasional. Dan Otsus itu sendiri, UU Indonesia terhadap Aceh, bukan undang-undang Aceh, undang-undang Indonesia tentang Aceh No. 11 Tahun 2006.
Hanya saja diberikan beberapa kelebihan. Karena Aceh punya andil yang lebih besar dari provinsi manapun di dalam perjuangan mendirikan republik. Misalkan PP tentang Migas. Kemudian boleh mempunyai partai lokal dengan syarat juga bekerjasama dengan pusat. Kemudian boleh ada lembaga wali nanggroe nanti, boleh menaikkan bendera sendiri tapi harus ada bendera nasional Indonesia di sampingnya. Itu kan cuma simbol-simbol kebudayaan saja. Yang paling penting menurut saya adalah bagaimana menyejahterakan perut rakyat. Perut rakyat terisi semua dengan mantap.
Sejauh ini masih ada tuntutan-tuntutan masyarakat Aceh, bahwa sejauh ini pemerintah pusat belum maksimal?
Ada saja, tapi dalam arti positif. Misalnya, mendorong pemerintah pusat untuk cepat menyelesaikan sejumlah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden. Seperti PP Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi bersama. Kemudian Peraturan Presiden tentang Badan Pertanahan Aceh. Ini semua dipesan oleh undang-undang. Semestinya dua tahun setelah Undang-undang Otonomi Khusus, harus sudah selesai, dari tahun 2009. Tetapi tidak selesai.
Ini memang kewajiban pusat dan rakyat harus mengawasinya. Dan menjadi tugas DPR RI dan pemerintah pusat. Hal-hal seperti itu. Masyarakat Aceh itu, kritis, egaliter. Kalau ada kesalahan langsung bunyi. Tidak takut untuk komplain. Itu bagus dan saya kira menjadi potensi bagus. Maka menjadi gubernur dan wakil gubernur di Aceh itu, untuk menangani persoalan sosial tidak semudah di sini. Karena masyarakat merasakan juga dirinya pemimpin. Open society, egaliter dan Aceh tidak ada pribuminya. Semunya secara genetikal, Aceh merupakan keturunan dari berbagai bangsa besar di dunia yang menjadikan Aceh sebagai Melting Port berabad-abad yang lalu. Ada keturunan Arab, India, Eropa, China, Minang, Bugis, Jawa dan sebagainya. Sudah lama sekali, beratus-ratus tahun.
Itu sejak sebelum Islam apalagi setelah Islam. Semakin banyak. Karena memang Aceh merupakan area perdagagan paling ujung Asia Tenggara yang menghubungan dengan India dan Eropa. Jadi orang-orang yang terdamparpun, secara umum, di Aceh dulu. Orang terdampar sampai sekarang, dari Birma, India.
Dan dulu ‘kan tidak ada aturan main, sebelum ada PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), tidak ada Kartu Penduduk (KTP) pada jaman kerajaan, tidak ada apa-apa. Jadi dimana terdampar, bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun menjadi warga negara di sana. Bahkan mereka setelah sekian lama, ada yang menjadi raja setempat. Begitulah proses evolusi sosiopolitik manusia di seluruh dunia, hampir sama.
Bagaimana dengan stabilitas keamanan di Aceh?
Aceh paling aman, tidak ada konflik. Penembakan yang kadang terjadi itu kan dilakukan oleh satu pihak. Artinya polisi harus segera mengecek apa motifnya? Kriminal murni atau menakut-nakuti untuk tujuan politik. Kalau konflik kan ada benturan antar kelompok, sedangkan ini kan tidak. Selama ini, kuantitas kriminal di Aceh sedikit, terendah di Indonesia. Karena pengaruh penerapan syariat Islam, itu menurunkan tingkat kriminal. Selain itu, Aceh juga masyarakatnya cosmopolite egaliter, tidak ada konflik suku. Malah semua konflik Aceh mulai masa Portugis dan perang dengan luar itu, semuanya karena persoalan perekonomian, bukan karena etnografis dan agama.
Sementara itu, Aceh ini kan bebannya berbeda dengan provinsi lain. Kenapa beda? Karena, pertama Aceh sejarah konfliknya terlalu lama dan sekarang dalam masa transisisi. Kedua, Aceh mengalami bencana besar, gempa bumi dan tsunami yang sangat parah. Sehingga penanganannya betul-betul membutuhkan kearifan yang baik. Kita menghadapi persoalan-persoalan sosial apalagi tingkat kemiskinannya masih 19%. Memang waktu kami masih menjadi gubernur dan wagub dulu, kemiskinan 31% berhasil kita turunkan ke posisi 19% berdasarkan data badan statistik nasional maupun lokal.
Jadi banyak kemajuan yang kita capai. Kita berhasil mengisi dan mempertahankan perdamaian, bisa membangun infrastruktur, pendidikan, SDM dan kesehatan gratis. Juga banyak membangun pesantren-pesantren dengan manajemen yang kuat bahkan pembinaan perempuan juga menjadi prioritas selama ini, dan program-program tersebut akan dilanjutkan seperti program jaminan kesehatan Aceh, beasiswa anak yatim, S1, S2, S3 di dalam dan luar negeri, perumahan dhuafa, pembangunan ekonomi rakyat, infrastruktur dan energi dan ini harus menjadi prioritas.
Kalau Aceh aman dan damai terus saya pikir pembangunan nasional di Aceh akan lebih kuat. Banyak hal yang dapat dimanfaatkan di Aceh untuk kepentingan nasional, sumberdaya alam, letak geografisnya. Aceh punya pelabuhan bebas Sabang dengan sumber alam yang begitu kuat. Maka SDM menjadi prioritas kita supaya nanti lebih banyak keuntungan kepada rakyat.
Apa suka duka selama menjadi Wakil Gubernur Aceh?
Selama saya menjadi wagub tentu 3 tahun lebih, saya paling berperan. Karena dulu yang mengajak Pak Irwandi adalah saya. Dia bukan kandidat. Kandidat yang pertama saya mundur sehingga saya kehilangan pasangan. Saya pemenang konferensi GAM dan SIRA dan menang tiga kali konferensi sebagai Cawagub berpasangan dengan Tengku Nasrudin bin Amir. Kemudian beliau mundur. Akhirnya saya mengajak Pak Irwandi dan saya gunakan tangan orang lain agar beliau mau. Beliau sendiri tidak tahu saya kirim tokoh-tokoh agar beliau mau. Karena saya tidak terlalu berminat di gubernur, saya wagub saja.
Selain karena usia masih muda, organisasi saya SIRA memutuskan saya agar menjadi wagub aja. Kita mencari senior yang ada kaitan dengan GAM. Saya juga ada kaitan, tetapi perlu yang lebih senior dari saya. Waktu itu Pak Irwandi tidak mau, dia bilang tidak mampu dan berpengalaman dan bukan organisatoris. Dan dia bilang, Nazar saja yang bekerja. Oke saya bilang.
Makanya tiga tahun pertama saya paling dominan, dan baru tahun terakhir menjelang Pemilukada berbagai peran saya mulai terpotong. Karena mungkin beliau mengetahui saya tidak lagi maju bersama beliau. Tapi saya tidak pernah mempermasalahkan.
Misalnya foto dia saja di baliho atau spanduk, padahal itu program-program saya, seperti JKA (Jaminan Kesehatan Aceh), beasiswa. Beliau dalam membuat visi dan misi dan program pertama, hampir tidak terlibat dan komunikasi pembahasan anggaran juga saya, sampai pertanggungjawaban gubernur ke DPR juga saya. Tapi saya tidak pernah mempermasalahkan media. Karena saya menginginkan waktu naik baik, dan waktu turun pun juga baik-baik sajalah.
Bagaimana perkembangan pencalonan Anda sebagai calon Gubernur Aceh?
Insya Allah saya kali ini akan maju dan terpisah dengan Pak Irwandi Yusuf. Kalau 2006 dulu saya join dengan Pak Irwandi dan beliau dulu kandidat pengganti setelah kandidat yang pertama, mundur. Kemudian saya mengajak beliau, karena usia saya waktu itu masih terlalu muda 33 tahun, saya memilih menjadi wakil gubernur. Walau sebenarnya waktu itu bisa menjadi gubernur, tapi kali ini saya akan maju sebagai gubernur.
Saya memilih jalur partai dengan harapan agar dapat lebih mudah membangun. Membahas anggaran, merancang aturan-aturan lokal dan juga membangun komunikasi politik dengan parlemen. Karena pengalaman saya sebagai wagub 5 tahun dari jalur independen, itu lebih banyak mengalami kendalanya.
Saya juga sudah sampaikan ke Pak Irwandi bahwa saya maju dan beliau juga maju, tidak masalah. Bagi kita yang penting kalau cita-cita saya, selain bisa menang juga bagaimana memenangkan rakyat, memenangkan kualitas demokrasi peradaban politik, pembangunan dan agama. Jangan sampai kandidatnya menang, rakyatnya kalah. Kita ingin Pemilukada kali ini lebih berkualitas, aman damai, tanpa intimidasi seperti tahun 2009. Karena itulah, saya mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperpanjang pendaftaran, supaya semua pihak dapat mendaftar juga, dan legitimasi politiknya akan lebih kuat secara politik. Artinya ada partai independen, besar, kecil, semuanya bisa ikut berpartisipasi.
Anda begitu yakin akan menang, bagaimana respon masyarakat setempat?
Bagus. Memang dari berbagai survey yang dilakukan, baik dari survey independen maupun survey partai lain, saya termasuk yang paling tinggi, kuat dicalonkan. Saya kira ini kans kami’lah dan biarkan rakyat menilai sendiri.
Saya tidak berminat melakukan kecurangan, saya ingin menang dengan bersih, dengan baik. Sehingga saya bukan hanya menjadi penguasa tapi juga pemimpin, itu harapan saya. Sebagai seorang sarjana, santri dan aktivis, saya kira kita juga harus melakukan perubahan. Kalau Aceh bagus, kuat, nasional pun akan kuat. Karena standar polhukam, Aceh menentukan juga. Walaupun penduduknya sedikit tapi dia paling penting karena sumberdaya alamnya, perannya dalam kemerdekaan Indonesia dulu, letak geografisnya yang dekat dengan India, Timur Tengah dan Eropa ini, menentukan sekali untuk kepentingan nasional. Membangun Aceh dalam negara besar Indonesia, itu yang paling penting.
Para kandidat sulit dipegang janjinya, saat kampanye menebarkan janji setelah terpilih hanya lips service saja?
Kalau saya berkampanye yang realistis, yang memungkinkan saja, make sense. Dan saya ingat dulu seluruh yang kita kampanyekan semuanya terealisasi. Walaupun tidak ada yang berhasil 100%, ada 80%, tapi rata-rata di atas 60%. Misalnya menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, beasiswa, kesehatan gratis, kita berhasil penuh. Namun tidak dipungkiri, ada kekurangan dalam pelayanan, kan baru lima tahun dan baru kita terobos setelah konflik dan saya melihat sangat berhasil.
Transpransi juga akan menjadi tujuan dari pemerintahan Bapak jika terpilih jadi gubernur?
Karena itulah, saya selalu mengampanyekan perdamaian karena pengalaman saya, yang menjalani konflik jangan nanti orang ingin menjadi gubernur atau wakil gubernur, harus ke penjara dulu seperti saya. Jadi polanya harus dirubah, strategi SDM perekonomian dan politik yang harus menjadi prioritas. Masyakat Aceh dan bangsa Indonesia secara keseluruhan harus meninggalkan budaya kekerasan. Sama (di semua daerah), itu bukan hanya terjadi di Aceh, di Jawa pun juga terjadi kekerasan terutama ketika memperebutkan kekuasaan.
Kita harapkan ke depan tidak terjadi lagi. Jadi tugas besar kita, bangsa Indonesia untuk menjadikan bangsa benar-benar kuat, hebat, secara kualitatif. Bukan hanya sekadar jumlah penduduk yang besar yang kemudian menjadi pengangguran yang besar pula, menjadi TKI/TKW yang murah diekspor ke luar negeri. Ini yang harus diantisipasi.
Maka konsep saya yang pertama tentang SDM yang kuat baik ilmu umum maupun ilmu agama serta teknologi, manusia yang sehat, produktif dan pro pembangunan. Dosis demokrasi harus terukur, jangan sampai merusak pembangunan. Demokrasi hadir harus memberi manfaat. Maka saat Pilkada mau cekcok, ricuh, kita segera mengkampanyekan agar seluruh kandidat menahan diri. Selalu berkampanye dengan baik-baik, yang rasional. Saya selalu menyarankan itu.
Bagaimana dengan kampanye nanti, apakah akan bersih dari politik uang?
Saya selalu bilang mulai dari sekarang, kalau memilih saya jangan ada sogokan politik, kain sarung, uang dan itu tidak ada sama saya. Kalau nanti meminta itu, tidak lagi ada jalan, jembatan, gedung sekolah. Jadi bayarannya nanti dalam bentuk sekolah, pendidikan beasiswa, kesehatan gratis, jalan yang baik. Kalau minta sekarang, nanti tidak mendapat apa-apa lagi. Sekarang apakah mau memilih ratusan ribu atau pilih yang ratusan triliun untuk kebaikan Aceh. Kalau saya selalu bilang begitu, tidak punya uang. Saya hanya sediakan uang operasional tim sukses, untuk minyak mobil mereka, rapat-rapat, spanduk, kalender, itu saja.
Bila terpilih menjadi gubernur nanti, apakah partai SIRA akan tetap dibesarkan?
Partai Sira tahun 2009 juga mendapatkan banyak kursi namun banyak hilang di tengah jalan karena intimidasi dan kekerasan. Karena Partai Sira ini secara umum rata-rata adalah santri, tidak akan mungkin balas kekerasan dengan kekerasan, kita sabar saja bahwa ini semua pasti ada hikmahnya. Jadi Partai Sira ini adalah salah satu dari enam partai lokal.
Aceh dikenal sebagai daerah rawan gempa, bagaimana caranya menarik para investor?
Sebenarnya banyak para investor yang ingin menanamkan modalnya di Aceh. Kalau masalah tata ruang bencana, Aceh sudah teruji walaupun dengan gempa 9 skala richter, tapi ada bangunan yang selamat. Kalau di Jogja, 5.8 SR, semua hancur. Bayangkan kalau gempa Aceh terjadi di Jawa mungkin habis semua. Dan di Aceh banyak korban karena tsunami seperti di Jepang. Jepang daerah bencana, tetapi investor, ekonominya tetap maju.
Saya kira, sekarang kita memasukkan penanggulangan dan manajemen bencana dalam program prioritas. Standar bangunan tata ruangnya perlu diatur. Saya juga termasuk sangat memperhatikan itu karena saya sebagai wagub membawahi penanggulangan bencana juga. Di Aceh sudah kita buat pusat studi gempa dan tsunami yang dibantu juga oleh donor-donor asing. Kita bekerjasama dengan Kobe University dari Jepang. Kita juga punya pusat pengendali operasi bencana yang kita sebut dengan Crisis Center yang dibantu oleh Prancis.
Tinggal yang diperlukan pengaturan undang-undang harus tetap. Standar bangunan di Aceh, daerah gempa harus berbeda dengan nasional. Mulai dari bahan baku, harganya dan semuanya, tidak sulit. Yang kedua, mendorong pengambil kebijakan dan rakyat untuk patuh pada aturan UU bencana. Yang ketiga memanfaatkan kearifan lokal. Gempa dan tsunami di Aceh sudah terjadi berkali-kali, bukan hal yang baru. Masyarakat Aceh sudah berpengalaman. Ini yang penting tata ruangnya semuanya harus diatur dengan baik. Keempat, penggunaan teknologi informasi yang kuat dan juga menjadikan kurikulum kebencanaan itu masuk ke sekolah-sekolah, masuk dalam pendidikan dasar yang harus dipahami oleh masyarakat Aceh atau daerah lain rawan bencana. Dan kita sedang merintis itu tinggal melanjutkan. Jadi investor asing di Aceh itu banyak, ada Prancis, Amerika, Italia, Korea, justru lebih banyak asing daripada nasional, tidak masalah.
Aceh dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah, dapat dijadikan tujuan wisata Islami. Bagaimana mengolah ini semua bila terpilih menjadi gubernur nanti?
Itu sudah kita mulai terutama kita launching Banda Aceh sebagai Kota Wisata Bandar Islami. Aceh memiliki banyak pemandangan indah, pantai, gunung, ada arum jeram, diving, pemandangan bawah laut dan peninggalan-peninggalan bersejarah. Selain itu, ada museum tsunami termasuk efek bencana dijadikan sumber pengetahuan dan pariwisata. Artinya sekarang kita membuat konsep mengkapitalkan semuanya menjadi uang. Ini menjadi program ekonomi kita, sesuatu yang alami yang dianggap masalah harus kita kapitakan, dikomersilkan. Saya ada rencana, kalau berhasil (terpilih jadi gubernur) akan memperbaiki itu, akan benar-benar membungkusnya agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu, supaya orang-orang dapat belajar ke Aceh, harus menjadi laboratorium dunia untuk studi kebencanaan, gempa, dan studi perdamaian. Bagaimana orang Aceh bisa berdamai dengan konflik yang begitu lama. Dan bukan pertama kali, sudah beberapa kali konflik dengan pemerintah pusat ujungnya, ada perdamaian. Itu sesuatu yang luar biasa. Dan tidak pernah Aceh lepas ‘kan? Ujungnya damai artinya ‘kan target utamanya, untuk memperbaiki Indonesia. Negara-negara besar seperti Amerika dan Eropa juga mengalami konflik internal yang terjadi beratus-ratus tahun. Namun kemudian menjadi bangsa besar. Maka itu, pengalaman Aceh harus dijadikan oleh provinsi lain. Jadi kita anggaplah Aceh (sebagai contoh) sudah berkorban begitu besar untuk kebaikan kita bersama.
Nanti kalau Bapak meminpin Aceh, bagaimana dengan penerapan syariat Islam?
Itu undang-undang dan undang-undang tidak bisa dilanggar. Siapapun yang menjadi gubernur, itu tetap. Cuma, kita punya pemikiran, konsep akan kita buat dengan menyeluruh. Islam itu akan bermanfaat ketika dia bisa berjalan dengan Ka’fah. Secara menyeluruh kepada pejabat, pemimpin dan kepada rakyat. Bukan hanya menghukum rakyat. Hukum Islam itu ‘kan hukum yang pasti, baik black or white, tidak ada di awang-awang, jelas, tidak absurd. Sedangkan seorang kalifah dalam Islam diberikan kewenangan dalam agama untuk mentafsirkan hukum sesuai dengan kemampuan masyarakat, ketika itu. Misalnya, dalam keadaan miskin, hukum potong tangan tidak bisa diberlakukan, karena orang masih miskin. Tetapi kalau orang kaya merampok, bisa. Berartikan adil.
Karena itu hukum Islam tidak dapat dilihat sebagai suatu kekerasan. Ketika apa yang keras kemudian menjadi hukum, itu bukan kekerasan lagi. Dan syarat penerapannya juga tidak sembarangan. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan (dengan syariat), justru akan lebih selamat. Makanya seperti yang saya sebutkan tadi, kita akan memprioritaskan membangun kesadaran. Membangun kesadaran orang menegakkan syariatnya masing-masing, tapi terkontrol. Kemudian orang menghargai orang yang berbeda pandangan dan juga toleransi dengan agama lain.
Dan sejauh ini, saya pikir cuma di Aceh yang tidak ada kerusuhan agama dan membakar gereja. Cuma di Aceh. Kalau di Maluku, Surabaya, sering terjadi. Aceh itu, hampir 100 persen muslim jadi, minoritas super aman.
Dan Aceh itu dari dulu, kerajaannya berhubungan dengan bangsa-bangsa luar yang bukan muslim, seperti Portugis, Belanda, China. Karena dia (Aceh) kosmopolit, tidak masalah, tidak bicara pada agama lagi, kalau ekonomi, ya ekonomi. Hukum Islam itu hanya dipraktekkan untuk umat muslim, misalnya berjilbab. Dan itu untuk kebutuhan masyarakat setempat, orang-orang luar di sana (Aceh), tidak diperintahkan orang Aceh. Dan tidak ada kekerasan dalam praktek agama. Dan memang efek jera dari praktek hukum syariat itu lebih efektif, dibandingkan hukum positif dalam suatu negara.
Kalau kita lihat dari pengalaman Aceh. Kalau di dalam hukum Islam, itu tidak ada penukaran BAP (Berita Acara Perkara), karena dia pembuktian saksi yang melihat langsung. Dan tidak bisa ditukar. Kalau hukum positif mungkin, seorang pengedar narkoba, kemudian diturunkan menjadi pengomsumsi, supaya hukumannya tidak banyak. Itu terjadi dalam hukum positif, hukum pidana itu. Sedangkan dalam hukum Islam, tidak demikian, beda.
Makanya untuk memperoleh tersangka dalam hukum Islam itu, tidak mudah. Sangat rumit. Karena saksinya juga tidak boleh ada permusuhan dengan dia, tidak boleh fasik, orang-orang yang rusak. Harus benar-benar orang yang terpercaya. Tidak mudah. Makanya pada masa rasulullah, tidak banyak orang yang dihukum. Kecuali orang datang meminta dirinya dihukum. Ketika agama jalan, negara akan mudah. Tidak capek lagi, baik tentara, polisi, dan hakim tidak akan capek lagi. Karena kriminal pasti menurun.
Nanti, saya ingin syariat itu, kita transformasikan dalam bentuk kesadaran sehingga tidak perlu lagi punishment, sanksi fisik. Makanya kita dorong kesadaran melalui pendidikan. Dan itulah yang saya sebutkan akan menjadi peradaban pembangunan. Sehingga kita bisa membangun parawisata atau apapun. Tidak masalah.
Harapan Bapak jika terpilih jadi gubernur?
Saya ingin membangun dengan baik. Ingin impian saya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh. Walaupun itu, tidak bisa sekaligus, tetapi kita akan berupaya semaksimal mungkin. Memanfaatkan anggaran sebaik-baiknya, supaya tidak sia-sia uang yang banyak, otonomi khusus untuk Aceh. Termasuk mengisi dan menjaga damai. Kita juga ingin masyarakat Aceh SDM-nya kuat ke depan dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia lebih luas. Kalau saya, sekarang sekadar wagub atau nanti mudah-mudahan menjadi gubernur, generasi setelah saya, kita mengharapkan banyak yang menjadi menteri, bahkan menjadi presiden, wapres, paling tidak kandidat. Pokoknya menjadi Indonesia yang sebenarnya, yang lebih hakiki. Ini yang paling penting.
Seandainya Bapak gagal menjadi gubernur Aceh?
Tidak apa-apa, kita sudah siap. Apalagi saya pun banyak organisasi tetap aktif, tetap ada hubungan dengan daerah. Yang penting program saya, bisa diakomodir untuk kebaikan. Karena saya melihat program yang saya buat bagus. Hasil pengalaman saya sebagai wagub. Dan saya juga akan mengadopsi program-program yang lain jika saya berhasil (terpilih). Wawancara TokohIndonesia.com | ms