
[WAWANCARA] – Dalam 100 hari pertama program transformasi Ari Soemarno, Pertamina mampu menghasilkan tambahan revenue US$15 juta cash dan penghematan Rp2,7 triliun. Ke depan, Ari berharap Pertamina masuk jajaran Fortune 350 atau 400. Bagaimana ia sebagai “orang dalam” Pertamina mengubah pola pikir, budaya kerja, dan kemampuan karyawannya yang 45% di antaranya berusia di atas 50 tahun? Kepada Yudit Marendra dan Fadjar Adrianto dari Warta Ekonomi, Jumat (6/7) petang, di ruang kerjanya, Ari memaparkan. Petikannya:
Apa bedanya Pertamina dulu dan sekarang?Dulu, Pertamina adalah institusi pemerintah yang ditugaskan memproduksi migas milik pemerintah, mengolah jadi BBM, dan mendistribusikan. Untuk itu Pertamina diberi fee dan ganti biaya. Setelah menjadi persero, sistemnya berubah. Minyak yang diproduksi milik Pertamina atau kami beli dari pemerintah, diolah di kilang kami. Kami juga mengimpor minyak atas nama Pertamina. Jadi, minyaknya punya Pertamina, diolah di kilang Pertamina, dan BBM-nya punya Pertamina.
Sesuai dengan UU tentang BUMN, Pertamina sebagai distributor BBM?sebagai barang public service obligation (PSO)? tetap berhak atas margin. Pola tersebut full diterapkan per 1 Januari 2006. Untuk kegiatan hulu mulainya lebih awal, tetapi hilir baru 1 Januari 2006. Untuk mengelolanya, perhitungannya adalah berdasarkan harga pasar plus biaya dan margin. Jadi, kalau Pertamina diminta menjual BBM di bawah harga pasar (harga keekonomian kami adalah harga BBM Singapura MOPS plus 15%), setelah melalui negosiasi, pemerintah dan DPR setuju MOPS plus 14,1%. Dalam 14,1% sudah ada margin Pertamina. Jadi, ini pola bisnis yang sama sekali berbeda dengan pola lama.
Apa lagi?
Misalnya, cara menghadapi stakeholder. Dulu, sebagai institusi pemerintah, kami menghadapi klien dengan posisi, “Anda mau, bagus. Kalau enggak mau, ya sudah.” Sekarang tidak lagi. Dulu orang melobi Pertamina, sekarang Pertamina yang melobi orang. Itu bukan main perubahannya. Pertamina melakukan restrukturisasi reformasi kegiatan bisnis. Kami sudah identifikasi reformasi core business kami di hulu, dan hilir, yaitu pemasaran dan niaga, pengolahan, LNG, dan energi alternatif, seperti geothermal dan biofuel. Kami juga melakukan reformasi di kantor pusat. Kami membuat dua program dalam satu tahun. Pertama, mengubah pola pikir. Kedua, pembenahan sektor paling hilir, yaitu pemasaran dan niaga. Mengapa? Sebab, selain bersentuhan langsung dengan masyarakat, sektor hilir juga merupakan pusat revenue Pertamina guna mendapatkan cash flow.
Hasil yang sudah dicapai?
Untuk 100 hari pertama, September-November, kami ciptakan 27 proyek terobosan. Ternyata dalam 100 hari kami bisa banyak menghemat. Mulai dari mengurangi waktu berlabuhnya kapal, perubahan pengolahan?pertukaran feed stock antara Cilacap dan Balongan. Di lapangan hulu Pondok Tengah, kami bisa majukan produksi dalam tiga bulan. Dengan semua itu kami berhasil menciptakan revenue tambahan US$15 juta cash , dan saving Rp2,7 triliun dari operasi.
Perubahan Pertamina juga sampai ke hal yang sederhana, seperti perjalanan dinas. Kalau dulu dari perjalanan dinas orang cari duit tambahan, sekarang tidak lagi. Semua manajer dan asisten manajer kami beri corporate credit card. Semua ada expenses report.
Berapa perbandingan pendapatan hulu dan hilir Pertamina?
Pendapatan dari hilir mencapai dua pertiganya, cuma keuntungannya 10%–20%. Sementara itu, keuntungan dari kegiatan hulu 80%–90%. Bisnis hilir marginnya yang tetap, sementara bisnis hulu adalah bisnis tabungan, yaitu kekayaan alam, yang kalau dapat, kami untung, kalau tidak dapat, kami rugi. Perbandingan ini belum ideal. Seharusnya seimbang. Namun, kegiatan hilir memang bukan value creator bagi perusahaan migas. Penciptaan value, revenue, dan profit ada di hulu.
Keuntungan hilir Pertamina masih 10%?
Sebab, cost-nya masih terlalu tinggi. Operasi Pertamina masih tidak efisien. Ini bisa karena attitude, banyak kebocoran, loss, atau infrastruktur tidak memadai. Itu semua harus dioptimalkan, tetapi saya mulai dari yang paling hilir.
Bagaimana Pertamina menghadapi persaingan bisnis ritel BBM?
Di pemasaran dan niaga kami maju luar biasa. Anda bisa lihat di SPBU dengan program Pertamina Way. Sekarang SPBU hanya membayar apa yang dia terima. Dulu tidak. Dia tanggung jawab sendiri sampai di depot, sementara transporter atau driver-nya dari Pertamina. Kalau transporternya nakal, mengangkut 10.000 liter dan “kencing” 500–1.000 liter, pengusaha SPBU tidak berani. Maka, dia mainkan meteran. Sekarang kami pasang meteran di SPBU-SPBU Pertamina Way. Jadi, tak ada alasan melakukan penyelewengan.
Lalu kami luncurkan kelanjutannya, program Pasti Pas. Di sini kami pakai pihak ketiga untuk menyertifikasi secara berkala. Ternyata, SPBU dengan model ini lebih diminati. Ini menggugah SPBU lain, sehingga terjadi internal competition. Apa boleh buat, daripada pasar kami diambil pesaing, seperti Shell dan Petronas.
***
Ari lahir pada 14 Desember 1948. Menyelesaikan studi Teknik Kimia dari Aachen University, Jerman. Ia memulai karier sebagai teknisi pengolahan liquefied natural gas (LNG) Pertamina Badak di Bontang, Kalimantan Timur, selama 16 tahun. Ia pernah menjadi kepala Divisi Gas dan Petrokimia Pertamina, sebelum akhirnya diangkat sebagai direktur Pemasaran dan Niaga. Puncaknya, Maret 2006 Ari diminta memimpin Pertamina.
Sebetulnya, kapan mulai dirancang perubahan di Pertamina?
Semasa dirut Martiono Hadianto. Sebelumnya, program perubahan dirintis pada 1995–1997. Ketika menjadi anggota tim restrukturisasi pertama yang dibentuk bekerja sama dengan Boston Consulting Group, saya katakan, restrukturisasi tak mungkin bisa diimplementasikan karena status Pertamina masih badan pemerintah. Status ini memengaruhi cara kerja kami. Tahun 1999 dibuat program dan saya ketua timnya. Namun, belum sempat dilaksanakan, Martiono diganti. Pada 2001 saya tidak mendapat jabatan di Pertamina.
Anda sakit hati?
Untuk apa sakit hati? Jabatan saya waktu itu adalah kepala Divisi Gas dan Petrokimia, satu level di bawah direktur. Saya diberhentikan Baihaki Hakim, dirut Pertamina saat itu. Kalau sudah nggak cocok, mau apa? Mungkin waktu itu ia punya pemikiran lain. Ia membuat program zero growth personalia. Saya katakan, itu tidak benar. Akibatnya, we are aging organization. Problem terbesar saya sekarang adalah 45% karyawan Pertamina usianya di atas 50 tahun!
Kondisi Pertamina saat Anda menjadi dirut?
Waktu menjadi direktur Pemasaran dan Niaga mulai Agustus 2004, saya kemukakan kepada pimpinan bahwa Pertamina harus berubah. Namun, dirut waktu itu dari luar menyatakan masih perlu waktu belajar, sehingga tak terlaksana. Ketika saya menjadi dirut, Maret 2006, saya katakan kepada Presiden, saya ingin Pertamina berubah. Tanpa mandat dari Presiden, lebih baik tak usah menjadi dirut.
Sebetulnya, apa pola kepemimpinan Anda?
Pertama, mendengar. Kedua, aksi, dan konsisten. Saya dengarkan semua pihak, tetapi saat harus mengambil keputusan, saya harus konsisten dengan keputusan tersebut. Itu prinsip saya. Kalau ada sesuatu yang kurang, cepat perbaiki, jangan digantung. Segera dijawab, ya atau tidak. I’m action oriented, but in the end of the day decision is mine. I have to take the decision. Syaratnya, ikhlas, good faith, dan terbuka.
Untuk leadership, saya kagum kepada Bung Karno dan Jenderal A.H. Nasution dengan integritasnya, kejujuran, konsistensi, meski mereka disingkirkan. Mereka berprinsip jabatan bukan segalanya. Kalau sudah tidak menjabat, ya sudah. Berbuat sebaik mungkin sesuai keyakinan. Saya juga seperti itu. Selain mendengarkan orang lain, saya punya prinsip berani cepat memperbaiki kesalahan sendiri. Tidak dogmatis dan terus bertahan dengan kesalahan, tetapi harus diluruskan.
Bagaimana penegakan disiplin di Pertamina?
Pertamina punya dewan pertimbangan kepangkatan dan jabatan. Kalau ada karyawan yang melanggar, tak ada maaf. Dalam hal pecat-memecat memang ada yang menuntut balik, tetapi itu semua biasa. Sudah ada lima karyawan senior yang saya pecat karena manipulasi biaya perjalanan dinas sampai miliaran rupiah. Saya heran masih saja hal itu terjadi. Primitif banget.
Omong-omong, apa rencana Pertamina ke depan?
Meningkatkan keuntungan. Selama setahun ini, saya belum membuat rencana jangka panjang yang firmed karena ingin menciptakan fundamentalnya dulu, yaitu pola pikir.
Setelah itu?
Menyusun rencana jangka menengah dan panjang sampai 2012. Ini sudah kami mulai, dan September ini akan selesai dengan target spesifik, yaitu penjabaran visi yang lebih detail. Visi Pertamina bukan sekadar as a world class standard, melainkan operate as world class company. Misalnya, target hulu sampai 2012 harus 120.000 barel per hari. Kalau tidak tercapai, ada konsekuensinya.
***
Ari Soemarno adalah putra tertua mantan Gubernur DKI Jakarta Soemarno. Kakak sulung mantan Menperindag Rini Soewandi ini sebenarnya suka bermain tenis. Namun, sejak lututnya cedera, Ari tak lagi bermain tenis. Sebagai gantinya, ia memilih olahraga jalan kaki 5–6 kilometer per jam selama tiga kali seminggu di kompleks perumahannya. Ia juga main golf.
Siapa tokoh dan CEO migas yang menjadi inspirasi Anda?
Saya suka Lord John Brown, CEO British Petroleum (BP) yang agresif melakukan perubahan, sampai akhirnya harus berhenti. Orientasinya profit dan efisiensi. Dia lupa efisiensi juga ditentukan oleh individu di masing-masing bagian. Akibatnya, kilang-kilang tidak diperhatikan dan meledak. Brown menghadapi banyak kasus. Klaim BP mencapai US$15 miliar, mulai dari kilang meledak, retaknya pipa di Alaska, sampai kerusakan lingkungan hidup. Sistem trading-nya juga kacau. Saya belajar dari Brown bahwa dalam melakukan perubahan harus ada keseimbangan.
Saya juga sangat menghargai rekan saya Tan Sri Hassan Merican, CEO Petronas Malaysia. Dia konsisten, sederhana, lembut tutur katanya, melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebentar lagi dia pensiun. Dia berhasil membawa Petronas sesuai dengan keyakinannya. Saya juga mengagumi Prasert Bunsumpun, presiden PTT, perusahaan migas Thailand. Sekarang ia masuk ke dunia politik.
Pertamina bisa semaju Petronas?
Cita-cita ada. Petronas tahun 1974 meniru Pertamina, cuma mereka konsisten melaksanakannya, lebih jujur, tidak seambisius Ibnu Sutowo (alm.), dan tak banyak KKN. Bentuk Petronas pun persis seperti Pertamina. Membuat Production Sharing Contract juga pinjam dari kami draf kontraknya. Namun, mereka konsisten, jujur, dan mempunyai itikad baik. Di situ menangnya mereka.
Sejak awal Petronas dikelola sebagai institusi bisnis. Semua pendapatan Petronas direfleksikan dalam bentuk pajak dan dividen, dengan neraca dan audit yang terbuka. Pertamina di zaman Ibnu Sutowo tidak demikian. Oleh karena begitu berkuasa dan berani, sampai-sampai pendapatan untuk negara pun ditahan… hahaha.
Aset Petronas US$71 miliar, sementara Pertamina hanya US$15 miliar. Bisa mengejar?
Dalam tempo dekat ini susah. Produksi Petronas tak lebih dari 600.000 barel, sementara kami pernah 1,6 juta barel. Saya pernah hitung pendapatan negara dari migas tahun 1971 s/d 2000 mungkin US$350–400 miliar. Masa aset kami cuma US$15 miliar? Jadi, berapa uang yang kembali untuk mengembangkan industri migas? Sebaliknya, uang Petronas digunakan untuk mengembangkan usahanya sendiri, sehingga tidak heran sekarang aset mereka US$71 miliar.
Anda punya investment policy dan dividend policy tertentu?
Saya ditargetkan menyerahkan 50% dividen ke pemerintah. Saya minta dikurangi, karena Pertamina perlu investasi. Eksplorasi tak bisa dibiayai dengan pinjaman bank karena risikonya sangat tinggi. Keuntungan dari hulu, sementara cash flow dari hilir.
Apa target Pertamina ke depan?
Pertamina bisa masuk Fortune 350 atau 400. Dengan omzet US$40 miliar dan net profit US$2 miliar, mungkin Pertamina masuk Fortune 350 atau 400. Target kami, Pertamina masuk Fortune 100 dalam sepuluh tahun ke depan. (Kamis, 23 Agustus 2007 10:23 WIB – warta ekonomi.com) e-ti