
[WAWANCARA] – Menteri anggota kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri yang paling banyak dipergunjingkan adalah Laksamana Sukardi. Di “tangan” menteri ini terdapat 160 badan usaha milik negara dengan ekuitas (2003) senilai Rp 270 triliun. Reformasi BUMN yang dijalankannya menuai kontroversi, nyaris tiada henti dengan bumbu cerita yang kurang sedap. Berikut wawancara Kompas dengan Laksamana beberapa waktu lalu.
Bagaimana menanggapi omongan miring itu?
Kalau semua pengamat melihat secara akademis dan independen, mungkin itu tidak terjadi. Saya lihat hikmahnya. Sebelum bergerak, orang ribut, ya peringatan dan kita jadi hati- hati. Masalahnya, banyak orang yang hanya melihat satu cukilan. Ibarat menonton film, kalau lihat satu adegan saja lalu mengambil kesimpulan, kan beda kalau lihat dari awal sampai akhir.
Katanya, BUMN tidak ada kemajuan?
Mereka punya haklah untuk lihat seperti itu, tetapi saya juga punya hak untuk menjelaskan apa yang sebenarnya menurut visi kami. Hasilnya, BUMN mulai efisiensi, pajak, dividen, privatisasi, pengembalian Rekening Dana Investasi meningkat. Kontribusi kita ke APBN lebih dari Rp 50 triliun tahun lalu. Privatisasi cuma sekitar Rp 7 triliun. Itu lho, jangan gedebuk-gedebuk.
Mengapa reformasi BUMN identik dengan jual?
Bayangkan kalau Anda pemerintah dan harus membiayai anggaran dengan utang begitu besar, dari mana, pinjam uang lagi? Tidak mungkin, akhirnya divestasi aset. Perusahaan bangkrut tidak apa-apa asal jangan bank. Makanya divestasi bank itu diutamakan, kita putuskan institusi kuat yang harus masuk menjadi pemegang saham. Modal dan risiko mereka tanggung, pemerintah pajakin saja. Mereka bawa kultur manajemen yang baik. Supaya mereka masuk, strategic sale (jual gelondongan) dulu. Membangun pasar modal kan begitu. Pasarnya dulu yang dibangun, bukan modalnya di dalam negeri. Itu yang namanya strategis. Pasar modal mulai bangkit, baru kita public offering (tawarkan ke publik).
Ada desakan tunda sementara divestasi?
Yang penting alasannya dulu. Bersikap sih semua bisa. Pertanyaannya, apakah kita mau cepat menyelesaikan, membasmi four in one (pemerintah sebagai pemilik, pengelola, pengawas dan regulator bank dan BUMN) yang merusak kita dulu? Apalagi kan multipartai gawat lagi. Direksinya nyantol lagi ke partai-partai. Itu akan membuat BUMN menjadi breeding ground korupsi lagi seperti dulu. Yang kritik itu tidak konsisten. Di satu pihak dibilang BUMN kita sakit, gawat, busuk. Di pihak lain kami mau beresin, eh disuruh tunda. Mereka suka bilang jual-jual negara. Memang lebih mudah memprovokasi rakyat yang kurang mengerti ketimbang mendidik dan menjelaskannya.
Upaya mempercepat privatisasi tahun ini memunculkan kecurigaan demi komisi untuk partai Anda?
Ini kan mau pemilu, APBN harus dibuat. Kalau pemerintah baru nanti masuk Oktober, mana sempat ngurusin. Masalah ketepatan waktu (timing) juga kan tergantung pasar. Saya juga fleksibel, yang namanya timing kan bukan berarti mumpung kita masih berkuasa. Tetapi saya punya kesimpulan. Ada dua kategori orang vokal, ribut terus. Ada orang yang memang percaya terhadap idealismenya dan berani mati memperjuangkan idealismenya. Kedua, yang tidak kebagian dan belum kebagian. Mayoritas yang kedua, Pak…!
Restrukturisasi yang membuat BUMN untung tak terdengar….
Saya kasih contoh. Bank Mandiri rencananya sudah tiga tahun. Penasihat keuangan kita bilang jual sahamnya pada harga 0,6 nilai buku. Saya bilang, aduh, enggak deh, bisa digorok kepala saya. Kita perbaiki kondisi keuangannya, setahun baru masuk bursa.
Indosat dan Satelindo itu kita restrukturisasi, tidak sembarang jual. Indosat yang bisnisnya IDD itu, orang semua ribut ketika saya bilang kedaluwarsa. Setelah itu lihat Satelindo. Potensinya besar, tetapi karena persyaratan kreditor tidak bisa berkembang, makanya utangnya kita restrukturisasi. Sahamnya yang dimiliki perusahaan lain, yang dulu beli 650 juta dollar AS, kita beli 200 juta dollar AS lebih sehingga kita miliki semua. Satelindo ditaruh di bawah Indosat. Di DPR saya dibilang menterinya bego karena yang dijual induknya, katanya. Saya bilang, kalau Satelindo-nya dijual, induknya mati karena bisnisnya kedaluwarsa. Saya ketawa saja, kadang-kadang ada gap, kesenjangan.
Mengapa menjelang pemilu, gencar ganti pengurus BUMN?
Tidak ada niat khusus. Ada yang sudah waktunya, ada yang bermasalah, tidak bisa kita buka di luar. Tapi memang kelemahannya karena dianggap strategis untuk menempatkan orang. Koinsiden dengan pemilu. Ada yang bilang yang diangkat teman-teman Pak Laks sendiri. Emang saya mau angkat musuh saya? Teman juga yang profesional. Kalau bego tidak diangkat.
Anda dinilai memanfaatkan betul BUMN untuk kepentingan PDI-P?
Manajemen BUMN harus nonpartisan. Tidak boleh ada bantuan kepada partai. Kalau dicek, mungkin justru partai lain yang merongrong BUMN. Terlalu kasatmata kalau saya melakukan itu. Kalau saya punya niat seperti itu, enggak mau saya privatisasi. Itu kan kekuasaan saya untuk memanggil, meminta segala macam tanpa ada kontrol. Sekarang saya privatisasi, buat transparan supaya tidak terjadi seperti dulu lagi. Logikanya jangan dibalik-balik dong!
Orang PDI-P sendiri tak kurang tajam mengkritik?
Itulah, wawasan! Seolah-olah saya ini manusia paling jahat di republik ini. Tidak apa-apa, ada hikmah tersembunyi, sebelum saya bergerak orang sudah ribut, saya juga lihat langkah saya ini, benar enggak?
Yakin langkah Anda benar?
Katakan benar! Karena sebelum mengambil keputusan, kita godok dulu, enggak asal jalan. Semuanya kan ada aturannya. Dulu mereka bilang jangan privatisasi sebelum ada UU, sekarang ada UU, toh masih ribut lagi. Sekarang, enggak gampang jadi menteri dibanding zamannya Pak Harto.
Kapok jadi menteri?
Pengalaman paling berharga selama dua tahun ini memberesi ekonomi, BUMN, BPPN, capek sih capek, tapi namanya kerjaan itu amanah. Bukannya tanpa kelemahan, ada juga. Saya kan bukan superman. (dis, Kompas 15 Maret 2004)