
[WAWANCARA] – Juwono Sudarsono, sipil profesional pertama menjabat Menteri Pertahanan (Menhan), sejak terakhir dijabat Ir. Djuanda (1957-1959), berhasil mengoptimalkan kepemimpinan yang serasi dan efektif dengan jajaran Dephan dan TNI. Mantan Wakil Gubernur Lemhannas ini diwawancarai Wartawan Tokoh Indonesia tentang perjalanan hidup dan kinerjanya sebagai Menhan.
Berikut ini petikan wawancara Wartawan Tokoh Indonesia dengan Guru Besar hubungan internasional Universitas Indonesia yang sangat memahami masalah pertahanan dan keamanan itu, yang berlangsung efektif lebih dua jam (10:00-12:04 WIB), Rabu 12 Agustus 2009 di ruang kerja Menhan, Jalan Medan Merdeka Barat No.13-14, Jakarta.
Hasil wawancara itu, juga kami bagi dalam dua bagian. Bagian pertama tentang perjalanan hidupnya hingga menjadi Menhan. Bagian Kedua tentang kinerjanya sebagai Menhan hingga mendapat penghargaan Bintang Yudadharma Utama, saat masih menjabat.
Tokoh Indonesia (TI): Kita mulai dari jejak rekam Anda, mulai sejak kecil hingga menjadi Menteri Pertahanan saat ini. Apa hal-hal yang menarik di dalam perjalanan hidup Anda, mulai dari pengasuhan orangtua sampai menjadi seorang tokoh seperti sekarang ini?
Juwono Sudarsono (JS): Saya kira singkatnya, sederhana saja. Saya kebetulan beruntung lahir pada zaman Jepang, antara 1942 dan 1945. Dan, kebetulan ayah saya sudah dokter dari fakultas kedokteran di Salemba, zaman Belanda (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat ini). Sehingga, keberuntungan waktu lahir, dan kebetulan putera dari seorang dokter yang waktu itu sudah cukup beruntung. Ini adalah keberuntungan pertama.
Saya kira yang paling besar adalah faktor keberutungan. Karena beliau dokter, kemudian ikut dalam perjuangan gerakan di bawah tanah. Oleh almarhum Sutan Syahrir, kemudian ayah saya menjadi anggota kabinet Syahrir I, II dan III. Pertama sebagai Menteri Sosial, lalu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara antara 1946-1948. Kemudian beliau dikirim sebagai Duta Besar RI pertama ke India, meneruskan perjuangan untuk mendapat pengakuan Indonesia, antara lain melalui diplomasi.
Kebetulan, saya ikut menyusul ayah ke India, Otober 1948 – Mei 1953. Jadi saya bersekolah SD di New Delhi, India. SMP di Jakarta dan SMA di Inggris. Itu keberuntungan kedua. Dapat kesempatan sebagai anak diplomat, sekolah di luar negeri, berbahasa Inggris di bekas negara jajahan Inggris, India.
Saya kira setelah itu, jadi garis tangan saja semuanya. Karena keberuntungan saya sebagai anak pejuang, sebagai anak diplomat, memungkinkan keberuntungan saya jauh dari atas rata-rata teman-teman seusia saya, terutama yang di luar daerah, luar Jawa.
Setelah itu, berbagai pengalaman sekolah termasuk sekolah di UI, kemudian di luar negeri, beasiswa ke Belanda, beasisawa ke Amerika Serikat dan beasisawa ke Inggris. Juga membuat keberuntungan saya bertambah banyak.
Jadi kebanyakan garis tanganlah. Garis tangan, kalau buah tangan sendiri tidak banyak. Ada campur tangan dari banyak pihak, mungkin 70% keberuntungan saya. Itu saja.
TI: Sebagai putera dari seorang pejuang dan diplomat, apa kira-kira yang paling berkesan dari pengasuhan orang tua yang membentuk pribadi Anda?
JS: Salah satu yang dipesan oleh almarhum ayah adalah supaya bersyukur akan keberuntungan itu dan harus punya hati nurani. Itu saja pesannya. Dari ibu, lebih banyak pesan-pesan tentang agama dan pesan-pesan tentang pentingnya ibu sebagai pendidik abadi. Lebih dari pada sekolah. Saya kira pendidikan paling penting adalah ibu, gitu.
TI: Kemudian dalam pusat data kami, Anda sarjana publisistik dari Universitas Indonesia. Kenapa memilih itu, dulu?
JS: Karena dulu tidak ada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Waktu saya masuk, September 1960, yang baru ada adalah jurusan publisistik dari Fakultas Hukum dan Penataan Masyarakat. FISIP baru berdiri di UI tahun 1968. Jadi sebelumnya, untuk sarjana muda, sebenarnya saya memegang pendidikan sarjana muda hukum dengan spesialisasi publisistik yang kemudian namanya menjadi Ilmu Komunikasi.
TI: Sesudah itu, mendapat beasiswa. Untuk mendapat beasiswa, tentu harus melalui suatu proses seleksi, bukan semata-mata keberuntungan, walaupun mungkin hanya 30% tadi?
JS: Seleksi, betul. Tetapi ada keberuntungan, karena saya pernah tinggal dan mendapat pendidikan di luar negeri itu, tentu untuk tes bahasa asing, baik ke Belanda maupun ke Amerika, maupun ke Inggris, ada start yang lebih menguntungkan daripada rata-rata seusia saya.
TI: Ketika menjalani proses pendidikan formal itu, tentu ada juga yang membentuk pribadi Anda, pengalaman-pengalaman tertentu, baik semasa kuliah. Apa kira-kira, beberapa hal yang sangat berkesan sehingga Anda terbentuk seperti pribadi hari ini?
JS: Ya, saya beruntung karena selama kuliah itu, antara tahun 1960 sampai 1965 itu adalah tahun-tahun Bung Karno. Dan untuk seorang pemuda usia sekitar 18 sampai sekitar 24 tahun, tahun-tahun itu adalah tahun-tahun pembentukan watak dan sikap politik yang penting. Karena waktu itu Indonesia dipimpin oleh seorang yang mendirikan republik, seorang proklamator, dan beliau sangat dihargai dalam menggalang rasa kebersamaan melalui retorika politiknya. Dan saya kira, generasi saya, generasi 1966, generasi Cosmas Batubara, Fahmi Idris, David Napitupulu dan lain-lain, semuanya dibentuk oleh kurun waktu itu.
Termasuk pergolakan di sekitar Kampus UI Salemba. Karena di situ permulaan dari pergolakan pergantian pemeritah. Pergantian kepresidenan dari Bung Karno kepada Pak Harto. Kampus UI disebut sebagai kampus berdirinya Orde Baru. Ada papannya dulu, tapi sesudah reformasi sudah dihilangkan. Tapi dulu, terus terang sampai sekarang, saya pun masih bangga, kalau kampus itu kampus berdirinya Orde Baru. Meskipun sekarang, dari kacamata sekarang, angkatan 2009, makna itu sudah surut artinya.
Termasuk jaket kuning yang menurut kita ‘dirampas’ oleh Golkar sampai sekarang. Itu sebetulnya jaketnya UI, tapi diambil oleh Golkar. Setelah 10 Januari 66, setelah Tritura, tiga tuntutan rakyat, sampai sekarang. Kalau saya rektor UI, saya akan gugat itu. Minta supaya Golkar ganti, karena kuning itu jaket UI.
TI: Paling tidak sebagai catatan sejarah?
JS: Catatan sejarah. Karena Arif Rachman Hakim yang tertembak di depan gedung Mahkamah Agung yang sekarang, Merdeka Utara, itu pemicu utama dari simbol ‘jaket kuning berdarah’, 24 Februari 66. Dan kemudian lebih meningkatkan momentum ke arah pergantian pemerintahan itu sendiri, bulan Maret 1968. Jadi transisi 1966 – 1968 itu saya alami, dan itu merupakan tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia. Sampai sekarang masih kontroversial. Bahkan seluruh Orde Baru, termasuk kedudukan dan peranan Pak Harto masih menjadi kontroversi. Termasuk debat sekarang, apakah beliau layak diangkat sebagai pahlawan nasional.
Saya ingat dulu, ada ramalan oleh seorang purnawirawan tentang Pak Harto yang mengatakan, dia paling lama dua bulan, ternyata lebih dari 30 tahun. SBY pun waktu terpilih tahun 2004, ada yang mengatakan, paling lama dua minggu, dua bulan. Jadi jangan percaya pada tokoh-tokoh lama yang merasa tahu persis tentang ramalan politik. Dua-duanya oleh orang yang sama.
TI: Siapa orangnya. Apakah Suhardiman?
JS: Bukan. Sudah almarhum juga sekarang.
TI: Kemudian di jenjang itu, Anda tidak langsung menjadi seperti sekarang, tapi lebih dulu singgah di kampus, jadi dosen, bagaimana ceritanya?
JS: Ya, tahun 1967, terus terang waktu saya baru lulus, setelah bekerja untuk Kolonel Syarif Tayeb sebagai Rektor UI waktu itu, saya melamar ke Departemen Luar Negeri (Deplu) untuk mencoba menggantikan ayah saya, sebagai diplomat. Tapi waktu itu, ada pembekuan lamaran karena ada litsus tentang calon pegawai Deplu agar jangan sampai kemasukan orang-orang PKI. Sehingga waktu itu ada pembekuan penerimaan baru karena Menlu yang dulu, Pak Bandrio (Subandrio) dianggap terlalu dekat dengan PKI. Bahkan sebagai Ketua Badan Pusat Intelijen, Pak Bandrio dianggap kurang waspada terhadap penyusupan PKI ke Deplu. Jadi semua penerimaan baru, 1966-1967 ditutup. Saya lulus dari UI Januari 1966.
TI: Jadi, sebenarnya cita-cita Anda, menjadi diplomat?
JS: Tadinya mau ke sana. Karena tertutup di sana, kemudian saya diangkat menjadi asisten dosen. Kala itu, sebenarnya saya menunggu waktu sampai penerimaan baru dibuka kembali. Tapi setelah terbuka lagi kesempatan dua tahun kemudian, sekitar tahun 1969-1970, saya sebagai asisten dosen sudah terlanjur berangkat ke Belanda untuk mendapat beasiswa enam bulan di Akademi Perdamaian, Akademi Internasional tentang hukum, Institute of Social Studies, yang pusatnya ada di Den Haag. Dari situ, langsung mendapat beasiswa untuk tahun 1969-1970 ke University of California (1971), satu tahun.
Jadi semuanya beasiswa. Tapi beasiswa juga dapatnya karena saya mendapat keberuntungan, mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan karena penguasaan bahasa asing.
TI: Sampai mendapatkan doktor, dari London School of Economics and Political Science, Inggris?
JS: Itu baru kemudian, tahun 1975-1978.
TI: Desertasi Anda tentang “Politik Luar Negeri Indonesia 1965-1975: Studi Kasus Hubungan Indonesia-Amerika Serikat”. Kenapa tertarik?
JS: Karena waktu membuat desertasi itu, saya mengkaji hubungan Amerika dan Indonesia, antara 1965 dan 1975. Itu jadi materi kajian desertasi, dan saya ajukan tahun 1968 akhir. Kemudian dinyatakan lulus awal tahun 1979. Awal tahun 79 saya kembali.
TI: Ada dua gelar doktor Anda?
JS: Ndak, yang satu lagi salah itu. Yang di Universitas Georgetown, Inggris itu, hanya sebagai peneliti tamu, tahun 1985-1986.
TI: Pernah guru besar tamu juga ini di Columbia University, New York. Bagaimana ceritanya?
JS: Ya, tahun 1986-1987, kebetulan salah seorang guru besar di Columbia University, waktu itu pernah menjadi kepala Ford Foundation di sini, antara 1969 dan 1974. Dia membaca tulisan-tulisan saya. Kemudian tahun 1985 datang kemari, menawarkan untuk mengajar di sana, antara 1986-1987. Kurang lebih Agustus 1986 sampai Maret 1987.
TI: Kalau kami amati perjalanan Anda, selain sebagai seorang menteri, peran sebagai seorang guru besar itu masih sangat kuat?
JS: Guru besar, gaji kecil. Kalau guru kecil, baru gaji besar.
TI: Mungkin bisa jadi guru bagi jajaran Departemen Pertahan juga?
JS: Kebetulan, kebetulan. Tahun 1994, saya selesai sebagai dekan di FISIP, kemudian seorang staf ahli dari Menhankam waktu itu, Pak Laksamada Muda Sunardi, staf ahli bidang politik luar negeri, mengajak saya untuk menjadi Wagub Lemhannas. Waktu itu, gubernurnya masih tentara.
TI: Itu juga yang mau kami tanya. Waktu itu kan zamannya kekuasaan militer, tapi Anda sudah memegang peranan penting di sana yang dalam pengamatan kami, sebenarnya, konsep-konsep Lemhannas itu juga dari Anda kali ya?
JS: Ndak, ndak.
TI: Kalau begitu, bagaimana ceritanya?
JS: Lemhannas ‘kan berdiri bulan Mei 1965 oleh Bung Karno. Beliau berpidato tentang perlunya didirikan sekolah pertahanan, namanya Lembaga Pertahanan Nasional. Ada pidato yang bagus ketika beliau membuka kuliah pertama di Istana Negara tentang geopolitik Indonesia. Kemudian diteruskan oleh Pak Harto. Entah bagaimana, saya diusulkan jadi Wagub Lemhanas oleh Pak Nardi melalui Pak Edi Sudrajat, waktu itu Menhankam.
TI: Sebagai Wagub Lemhannas dari sipil, kalau menurut pengamatan kami, Anda mempunyai kedekatan hubungan juga dengan Presiden Soeharto. Karena menjadi Wakil Gubernur Lemhannas ketika itu, berarti Anda sudah sangat memiliki peranan dalam dinamika kepemimpinan nasional?
JS: Tapi saya bukan Wagub yang pertama dari sipil. Ada dari Depdagri sebelumnya, ada dari Deplu. Yang penting, empat wagub sipil petama di Lemhanas. Bukan saya yang pertama.
TI: Tapi nama-nama yang lain tidak begitu kita tahu perannya?
JS: Pak Pamuji dari LIPI, itu pendahulu saya. Tapi ada juga dari Deplu, itu mertuanya Eros Djarot yang terkenal sebagai diplomat, sangat-sangat pandai. Sebelumnya lagi, sipil juga, yang pernah di Polkam. Lupa saya namanya. Sudah pelupa.
TI: Sudah berhak lupa?
JS: Ya, sebagai guru besar. Sudah berhak pikun.
TI: Lemhannas boleh kita bilang sebagai tempat orang ditempa sebagai pemimpin, dan Anda di situ sebagai motor penggeraknya?
JS: Sebagai anggota korps, leher namanya kalau di tentara.
TI: Waktu itu, kalau Anda seorang jenderal, barangkali bukan wakil gubernur. Walaupun peranan melebihi gubernur, walaupun Anda hanya wakil. Apa kesan-kesan Anda di Lemhannas, tentang kepemimpinan negeri ini?
JS: Terus terang, itu wadah pemantapan pimpinan nasional, betul. Dan saya kira, satu-satunya sekolah yang waktu itu dan sampai sekarang masih mempertemukan orang-orang dari berbagai kalangan profesi. Termasuk anggota DPR, wartawan, pengusaha dan tentara, menjadi sekolah pemantapan pimpinan nasional yang melengkapi peran lembaga administrasi negara. Kebetulan juga tahun 1994 sampai 1998 itu, Januari 1995 sampai Maret 1998, ada tiga angkatan kursus reguler maupun kursus senior singkat, sehingga saya mengenal sekitar 500 pamen-pamen ketiga angkatan yang pernah lewat Lemhannas, plus sejumlah orang dari kampus maupun birokrasi sipil yang waktu itu sedang di eselon dua, calon eselon satu.
TI: Penilaian Anda sendiri tentang keberadaan Lemhannas dalam rangka kepemimpinan bangsa ini?
JS: Sekarang masih penting dalam banyak hal, karena masih menjadi tempat untuk mempertemukan orang-orang dari lintas profesi, sipil, militer, polisi, parlemen, mass media. Sampai sekarang masih penting.
Hanya belakangan, presiden meminta didirikan di Dephan UNHAN, Universitas Pertahanan, karena di Lemhannas tidak banyak diberikan materi tentang pertahanan negara. Lebih kepada ketahanan, sesuai dengan namanya sejak tahun 1994 menjadi Lembaga Ketahanan Nasional. Sedangkan UNHAN, benar-benar fokusnya pada defens, pertahanan.
TI: Kapan direalisasi UNHAN itu?
JS: Sudah diluncurkan 11 Maret 2009 yang lalu, dan sekarang sudah berjalan. UNHAN sebetulnya sudah mewadahi sekolah-sekolah pendidikan militer yang sudah ada, termasuk Sesko TNI, Seskoad, Seskoal dan Seskoau, mulai dari Akademi Militer. Sekarang di Akademi Militer sedang disiapkan (sudah berjalan dua tahun), pendidikan empat tahun, dengan pengakuan S1 kalau lulus.
TI: Sebagai mantan Wakil Gubernur Lemhannas, pribadi seperti apa, atau kepemimpinan seperti apa yang paling ideal memimpin bangsa ini?
JS: Kalau dasar-dasarnya sudah dimantapkan oleh ideologi naional, Pancasila. Setiap putera Indonsia itu harus berwawasan nasional meskipun dia berasal dari suku, agama, atau daerah tertentu. Apalagi yang kelahiran setelah tahun 1945, bukan seperti saya kelahiran pra 45. Kalau orang lahir, di mana pun Indonesia, itu harus kuat identitas kebangsaannya meskipun dia tetap menghormati asal-usul suku, adat, agama dan kedaerahannya.
Dan sekarang, kedua perwira yang ada di sini (menunjuk Laksma TNI Agus Purnomo dan Brigjen TNI Slamet Hariyanto, yang mendampinginya saat wawancara), di Akademi Angkatan Laut dan Akademi Militer Magelang, musti ditempa wawasan kebangsaan itu dari awal. Anda dilantik sudah mengikat diri sebagai perwira Tentara Nasional Indonesia, bukan tentara Jawa, bukan tentara Batak, bukan tentara Minang.
TI: Kalau di kalangan militer, itu sudah pasti kuat. Kepemimpinan bangsa ini kan bukan hanya dari jajaran militer. Sudahkah tertularkan juga di partai politik atau di lembaga-lembaga sipil lainnya?
JS: Ya. Saya mengalami banyak kurun waktu dimana penempaan kebangsaan ini berjalan. Pada Zaman Bung Karno, ada tujuh bahan pokok indoktrinasi, termasuk Pancasila, pidato presiden, manifesto politik, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, sosialisme Indonesia, kepribadian Indonesia. Banyak sekali. Rumus-rumus dasarnya sudah dilaksanakan Bung Karno sebetulnya. Waktu Pak Harto membuat P4, itu sebetulnya kelanjutan dan perbaikan.
Tapi saya rasa, kedua beliau punya pemikiran yang mantap tentang bagaimana menjadi orang Indonesia itu dari segi idealnya. Lintas hukum, lintas agama, dan lintas kedaerahan, walaupun kita tetap menghormati dan membanggakan asal-usul suku, agama dan kedaerahan kita.
TI: Kenapa sulit dimasyarakatkan?
JS: Saya kira nggak sulit. Hanya, memompa rasa kebangsaan yang lintas agama, lintas suku itu juga harus didukung oleh kenyataan sosial ekonomi yang makin baik. Kita tidak bisa memberi slogan-slogan terus dengan perut kosong. Orang harus dikasih isi perutnya, dikasih pekerjaan. Baru punya bunyi itu.
TI: Kemudian ke karir Anda selanjutnya. Kalau yang kami tulis di Web Site TokohIndonesia.com, Anda itu seorang yang hebat karena bisa dipercaya oleh lima presiden dalam jabatan-jabatan yang strategis. Kemarin waktu Megawati, sebagai duta besar, selebihnya menjadi menteri. Tentu ini menandakan seorang profesional?
JS: Ndak, orang beruntung saja. Nggak tahu kenapa.
TI: Kelima presiden itu berbeda aliran. Dari segi politik, mereka itu pada bersaing, tapi selalu Anda dipercaya di tengah persaingan mereka. Maka kita tulis, “Dia orang hebat”. Itu kalimat pertamanya?
JS: Saya kira salah itu. Dia orang beruntung, mestinya.
TI: Menurut Anda, hanya faktor keberuntungan. Tapi menurut kami, Anda orang hebat. Tapi yang kita tanya bukan soal orang hebatnya. Apa sih yang Anda lakukan sehingga kelima presiden itu bisa begitu yakin, sangat memercayai Anda sebagai orang yang bisa membantu tugasnya?
JS: Barangkali saja, waktu menjelang ke Lemhannas itu, saya di UI banyak memberikan pemikiran tentang bagaimana Indonesia pasca-Pak Harto, tanpa mengeritik beliau langsung. Itu saya kira. Waktu tahun 1986, saya ingat, baru satu setengah tahun saya menjadi anggota Golkar di UI, saya bersama-sama dengan Pak Din Syamsuddin di Departemen Organisasi dan Pengembangan Kader DPP Partai Golkar, sudah mengusulkan supaya ada rencana peremajaan Golkar, oleh karena Golkar pada 1986 itu sudah berkuasa 20 tahun. Dan 20 tahun itu, menurut hemat saya, sudah waktunya untuk mengkaji ulang bagaimana persiapan pergantian pimpinan.
Pak Harmoko sudah memberi isyarat, menerima sebagian dari saran itu dan rupanya itu disampaikan kepada Pak Harto, sehingga waktu diusulkan sebagai Wakil Gubernur Lemhannas, Pak Harto juga menerima saran itu karena saran itu tidak langsung mengeritik tentang berapa lama beliau telah berkuasa. Tetapi bicara tentang kelembagaan Golkar.
Karena waktu itu, saya bersama Pak Din Syamsuddin melihat beberapa partai dominan, Partai Kongres di India, Partai LDP di Jepang, Partai PRI di Meksiko, ini semuanya partai-partai yang praktis dominan sejak kelahiran negara maing-masing. Bahkan Meksiko yang paling lama, dari tahun 1912. Partido Revolucionario Institucional (PRI) itu mirip-mirip Golkar, ada petani, ada golongan menengah, ada kaum bisnis, termasuk perbankan. Sangat mirip dengan Golkar.
Dibuat korporasi, dimana unsur kino-kino Golkar untuk mendirikan golongan karya, Sekber Golkar, menghadapi PKI tahun 1964, satu tahun sebelum kejadian G-30S/PKI. (Setelah melalui Rakornas I, Desember 1965 dan Rakornas II, Nopember 1967, dilakukan pengelompokan organisasi berdasarkan kekaryannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu: Kino Kosgoro, Kino Soksi, Kino MKGR, Kino Profesi, Kino Ormas Hankam, Kino Gakari dan Kino Gerakan Pembangunan).
Sehingga 20 tahun setelah itu, kita rasakan perlu ada peremajaan, termasuk pergantian kader-kader Golkar. Kemudian tahun 1988, Pak Sarwono Kusumaatmaja pertama kali menjadi Sekjen Golkar dari kalangan nontentara, bukan Kosgoro, bukan Soksi, bukan MKGR.
Jadi kita lihat ini, LDP di Jepang dominan, menang terus-terusan. Kongres di India, kecuali tahun 77. Golkar di depan, saya lihat harus direncanakan.
TI: Berarti sebelum Anda jadi Wagub Lemhanas ya?
JS: Ya, sebelum.
TI: Sebenarnya, itu yang menghantar Anda jadi Wagub Lemhanas kali. Sebab pikiran itu sampai pada Pak Harto?
JS: Kemungkinan, tapi itu baru kemudian. Baru empat tahun kemudian, saya kira diperhatikan. Waktu itu sangat kencang suara perlunya direncanakan pemekaran desentralisasi. Antara lain dari Pak Dariatmo dulu dari kino Kosgoro, ya?
Yang penting, sudah waktunya direncanakan pemekaran desentralisasi. Kemudian dibicarakan waktu itu di Lemhanas tahun 1994. Saya masih ingat waktu di Lemhnas 1995 itu, Pak Harto sudah bicara tentang desentralisasi tingkat dua. Belum sampai seluruhnya, tapi dimulai bertahap. Beliau sudah memikirkan bahwa sukses stabilitas politik 20 tahun pertama itu harus dibarengi dengan perencanaan-perencanaan bertahap ke arah pasca 20 tahun sejak Oktober 1986.
TI: Tapi itu, dalam pelaksanaannya tidak dilakukan?
JS: Ya, karena beliau sendiri ‘kan sudah dua tiga kali mengatakan untuk tidak dipilih lagi jadi presiden, termasuk menjelang sidang MPR yang terakhir. Tapi selalu ada orang yang mengelu-elukan beliau supaya terpilih lagi.
TI: Bukan sandiwara Pak Harto itu?
JS: Bukan. Bahkan tahun 1993 itu, kalau saja beliau mau berhenti, sudah bagus namanya. Tapi karena Golkar dan orang malah mendoakan rame-rame supaya beliau mau kembali. Kebulatan tekad dan macam-macam.
TI: Tapi belakangan, mereka-mereka ikut juga mengkhianati Pak Harto?
JS: Ya, itulah. Tapi saya ingat, di Lemhanas 1996, pernah kita membuat suatu kajian terbatas yang mengusulkan pada Pak Harto supaya beliau mau menolak, kalau diusulkan lagi tahun 1998. Karena dua tahun menjelang sidang umum MPR 1998, saya bersama beberapa perwira tinggi di Lemhannas mulai mengusulkan ada baiknya Pak Harto memikirkan untuk tidak mau lagi dipilih kembali.
TI: Pikiran itu disampakan kepada Pak Harto?
JS: Tidak. Tidak ada yang berani menyampaikan. Kita sampaikan kepada Wapres Tri Sutrisno, kepada Menhankam Edi Sudrajat.
TI: Ada monitor, apakah Pak Tri atau Pak Edi Sudrajat menyampaikan kepada Pak Harto?
JS: Ndak. Itu hanya terbatas. Tapi ada satu syarat waktu itu. Supaya berhenti tapi kita jamin bahwa keluarga dan hartanya tidak akan digugat. Itu salah satu yang kita mencoba. Barangkali yang itu yang susah dijamin. Demi Pak Harto sendiri dan keluarganya kita katakan, lebih baik berhenti 1998 tapi kita akan jamin.
TI: Pertanyaan ini mungkin agak melenceng, tapi ada kaitan dengan Anda sebagai seorang pelaku politik waktu tergulingnya Pak Harto. Dan kader Golkar menurut catatan kami adalah yang pertama menyerukan supaya Pak Harto ditahan.
JS: Ditahan?
TI: Ya, ditahan.
JS: Tapi saya sudah bukan Golkar lagi waktu itu.
TI: Golkar hasil pemilu legislatif 1997. Semasih Golkar sekitar 70 persen di DPR dan MPR. Sebelum Pemilu reformasi. Sesudah Pak Harto lengser 1998. Arus reformasi menuntut. Kader Golkar sendiri, yang pertama yang berseru supaya Pak Harto ditahan?
JS: Diperiksa saya kira. Diadili.
TI: Diadili dan ditahan rumah. Sebagai sebuah partai yang demikian lama dibina dengan sistem pengkaderan yang sedemikian rupa, telalu mudah mengatakan itu. Bagaimana menurut Anda, ada titik sambungnya nggak, Golkar yang sekarang dengan Golkar yang lama itu lagi? Karena itu masih hasil sidang umum MPR?
JS: Itu baru 1999. Sidang istimewa MPR 1999. Saya sudah berhenti sebagai orang Golkar, karena waktu itu saya diangkat oleh Pak Habibie, saya harus berhenti dari partai. Karena hanya pegawai negeri yang boleh jadi Mendiknas.
TI: Bagaimana mengenai ketetapan MPR 1999 tentang pemberantasan korupsi, yang menyebut, “mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya”, bukan “mantan presiden dan kroni-kroninya”. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal itu?
JS: Ya, tahun 1999.
TI: Ketetapan MPR itu masih produk DPR/MPR hasil pemilu Orde Baru, 1997. Itu barangkali yang melukai hati Pak Harto sama Pak Habibie, sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Golkar dan sebagai Presiden kala itu?
JS: Bulan apa keluarnya itu? 1998 November atau yang 1999?
TI: Itu masa Pak Habibie jadi presiden, Anda Menteri Pendidikan. Saat itu Sidang Istimewa MPR. Yang salah satu ketetapannya mengenai pemberantasan korupsi, dan salah satu pasalnya itu menekankan bahwa ketetapan itu solah-olah hanya berlaku untuk Pak Harto, tidak berlaku bagi mantan presiden lainnya?
JS: Kalau itu, November 1998. Saya sudah bukan Golkar lagi.
TI: Tapi itu masih produknya Golkar, karena 70% di DPR itu masih Golkar?
JS: Waktu itu, pertama, menyelamatkan diri. Memang perdebatan cukup seru saya kira. Walaupun saya tidak di Golkar lagi, tapi dilema yang dihadapi oleh Pak Habibie (Presiden) dengan Andi Ghalib (Jaksa Agung).
TI: Bukankah itu salah satu indikasi, Golkar sangat sulit dipercaya. Orang yang membesarkannya pun bisa dikhinatinya dengan serta-merta. Tapi pembicaraan ini sudah agak melenceng. Kita masuk lagi ke topik Anda dipercaya oleh lima presiden selain sebagai Wakil Gubernur Lemhannas. Sempat menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup. Koq bisa menjadi Menteri Lingkungan Hidup?
JS: Saya juga tidak tahu itu kenapa. Mungkin waktu itu, saya di Lemhannas, semua pos-pos sudah diisi oleh orang-orang yang berminat ke sana. Saya sendiri juga bingung, tidak ada latar belakang lingkungan hidup, kecuali kalau lingkungan hidup itu memang suatu masalah hubungn internasional. Tapi dua setengah bulan di kabinet Pak Harto terakhir itu, saya juga hanya mengurusi soal asap. Termasuk gugatan Singapura sama Malaysia yang sampai sekarang masih berjalan.
TI: Tapi paling tidak waktu itu, sesudah ditempatkan, ada satu hal yang Anda pikirkan atau programkan. Tentu Anda tidak hanya mau duduk di kursi empuk Menteri Lingkungan Hidup itu. Tentu ada sesuatu yang Anda pikirkan dan programkan, walaupun mungkin belum sempat terlaksana?
JS: Ada satu hal yang menurut saya sampai sekarang belum bisa diatasi tentang lingkungan. Tentang perubahan iklim. Bagaimana menghadirkan rasa genting yang nyata bahwa untuk hari depan yang lebih baik itu, sekarang harus dikurangi penggunaan energi yang boros, masalah perusakan lingkungan. Itu lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Sampai sekarang saya rasa tugas Menteri Lingkungan Hidup adalah bagaimana menghadirkan kegentingan itu, sehingga orang mau bertindak sekarang betul-betul untuk menyelamatkan lingkungan bagi anak cucunya.
TI: Dengan demikian, sebenarnya tidak salah Pak Harto memilih Anda sebagai Menteri Lingkungan Hidup, karena seorang menteri ‘kan tidak harus mengetahui dan melaksanakan teknisnya?
JS: Jatahnya sudah terhuni yang lain sih.
TI: Tapi, barangkali Pak Harto sudah tahu, di mana Anda ditempatkan pasti menjadi mutiara?
JS: Terus terang waktu Oktober 1997 sampai Maret 1998, itu bulan-bulan yang kritis. Pertama karena El Nino Oktober 1997, itu dirasakan. Dan saya di Lemhannas sudah merasakan bahwa pegangan Pak Harto atas menteri-menteri dan gubernurnya sudah mulai kendor. Karena krisis itu, El Nino 1997, rapat gubernur seluruh Indonesia di Istana diadakan, waktu itu saya hadir, tetapi saya merasakan wibawa Pak Harto sudah mulai lepas, Oktober – November 97. Kemudian menggelinding dengan krisis perbankan. Dimulai Juli-Agustus 1997 krisis di Thailand, kemudian merambat kemana-mana, termasuk Indonesia.
TI: Pada saat suasana genting itu, suasana kabinet sendiri menurut Anda bagaimana. Selain tadi, daya cengkeram Pak Harto itu pada kabinetnya sudah mulai berkurang, lalu di kalangan anggota kabinetnya gimana sebenarnya suasananya?
JS: Suasana itu baru terasa setelah Januari 1998, ketika krisis kuangan mulai mencuat dengan diajukannya RAPBN yang tidak realistis. Kemudian ada peristiwa 4 Januari 98, penandatanganan dengan IMF yang ada fotonya Michel Camdessus, Direktur Eksekutif IMF (Camdessus berpangku tangan menyaksikan Pak Harto menandatangani nota kesepakatan dengan IMF). Kemudian, terjadi rush uang dan orang mulai rame-rame memborong makanan dan minuman di Jakarta. Nah, itu yang menambah lepas kendalinya dan mulai surutnya wibawa Pak Harto terhadap seluruh anggota kabinet.
Kemudian dimulai dengan penginjak-injakan foto beliau bulan April di televisi, tanpa ada tindakan yang tegas, sehingga makin terkais wibawa beliau. Tapi itupun, waktu krisis terjadi Mei 98, menjelang krisis, beberapa rekan menteri, termasuk menteri yang dari kampus mengajak saya untuk mengundurkan diri. Saya katakan, “Saya ndak”. Saya tidak mau, karena toh sudah diangkat oleh seorang presiden, siapa pun dia, kita harus berhenti sampai di akhir. Kecuali kita yang dipecat.
TI: Anda juga diajak?
JS: Ya, 14 menteri, yang di Bappenas. Saya diajak, tapi saya nggak datang.
TI: Yang mengajak Anda, siapa waktu itu?
JS: Pak Ginanjar Kartasasmita kalau nggak salah, sebagai Menko Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri merangkap Kepala Bappenas. Ada 14 menteri yang ikut menandatangani, menganjurkan supaya dibentuk kabinet reformasi. Pak Harto harus membuat reshufle.
TI: Kenapa Anda tidak mau, bukankah Pak Harto sudah mau terguling?
JS: Karena masih menghormati. Orang yang mengangkat kita sebagai menteri harus kita hormati. Saya hanya mau berhenti kalau diberhentikan. Hal yang sama terjadi waktu Pak Habibie. Sama-sama orang kampus, juga kirim faks sama saya, rame-rame menjelang Oktober 1998 untuk mengundurkan diri. Saya bilang, “ndak, biar saja”. Biar nanti MPR mempertanggungjawabkan, menerima tidak Pak Habibie? Kalau tidak diterima, kita sama-sama berhenti. Tapi jangan di tengah jalan ditinggal.
TI: Apa alasan teman Anda itu untuk mengajak berhenti?
JS: Ndak tahu. Tapi saya tidak mau menyebut orang-orangnya.
TI: Ya, nama orang-orangnya. Tapi alasannya, masa diajak tanpa alasan tertentu?
JS: Mungkin mengulangi peristiwa Pak Harto itu. Kalau saat mau tenggelam, rame-rame mau loncat.
TI: Terus, sepengetahuan Anda, 14 menteri yang mengundurkan diri atau menolak bergabung lagi dengan kabinetnya Pak Harto, apakah itu sepengetahuan Pak Habibie waktu itu?
JS: Saya kira ndak.
TI: Siapa tahu konspirasi. Pak Ginanjar, berambisi nggak jadi presiden dalam pengamatan Anda pada waktu itu?
JS: Saya kira ndak.
TI: Kan ada juga informasinya begitu ya?
JS: Informasi atau spekulasi?
TI: Spekulasi kali ya?
JS: Wajar spekulasi tentang mengapa Pak Harto marah sama pak Habibie kan? Kita nggak tahu mana yang benar.
TI: Kalau menurut Anda?
JS: Saya ndak tahu persis. Saya belum tanya Pak Habibie langsung. Ada yang mengatakan, Pak Harto sebenarnya mengharapkan beliau menyerahkan kembali mandatnya itu. Jadi Pak Habibie, sementara jadi presiden, tetapi diharapkan kembali.
TI: Tapi informasi yang kami dapat, Pak Harto itu marah, karena ketetapan MPR itu. Ketetapan MPR, pemberantasan korupsi terhadap mantan Presiden Soeharto. Tidak berhenti pada mantan presiden. Itu dia yang tidak bisa terima. Dari Probosutedjo kami terima informasi itu. Beberapa kali Pak Habibie minta ijin bertemu Pak Harto tetapi selalu ditolak?
JS: Saya kira tiga orang itu yang menyakiti hati Pak Harto. Pak Habibie, Pak Ginandjar, Pak Harmoko. Akbar Tanjung tapi tidak terlalu.
TI:
Tapi menurut Anda, kembali dulu, ke situasi politik yang sangat menarik di Indonesia, dimana Anda juga dalam jajaran kabinet pada masa Pak Harto. Sebagai anggota kabinetnya, kalau sepengetahuan Anda sendiri, ketika Pak Harto ke Kairo saat mengikuti KTT Non Blok kalau nggak salah, dia disarankan untuk tidak pulang. Benar nggak itu?
JS: Saya kira ndak benar.
TI: Katanya, karena Bandara Halim Perdanakesuma akan dikepung oleh demontrasi mahasiswa jika Pak Harto pulang. Tapi Pak Harto sendiri bilang saya harus pulang dan malah mempercepat?
JS: Tapi kalau yang saya ketahui Pak Harto bukan orang yang takut. Karena waktu pengalaman dia di Sarajevo, Bosnia-Herzegovina, tidak begitu.
TI: Maksud kami, benar nggak ada yang menyarankan agar beliau tidak pulang lagi, setahu Anda?
JS: Saya tidak mendengar. Saya tidak cukup dalam lingkaran pertama dari Pak Harto untuk itu.
TI: Tapi orang di Lemhannas bisa tahu kali?
JS: Mungkin, ya.
TI: Kemudian kita masuk ke masa Presiden BJ Habibie. Anda sebagai Menteri Pendidikan Nasional, walaupun tidak terlalu lama. Apa yang sempat Anda pikirkan dan lakukan tentang masalah pendidikan nasional?
JS: Yang pertama adalah memanggil Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) untuk merumuskan kembali penulisan sejarah Indonesia untuk SD dan SMP. Karena waktu itu, ada upaya untuk menempatkan kembali Bung Karno setelah berpuluh-puluh tahun dihilangkan dari kurikulum sejarah nasional. Sebaliknya, dengan itu ada keinginan untuk menghitamkan peranan Pak Harto.
Jadi, saya katakan pada Anhar Gonggong dari Direktorat Seni dan Sejarah Tradisional bersama beberapa teman dari MSI, untuk merumuskan kurikulum tingkat SD dan SMP, satu sejarah nasional yang berimbang. Supaya tokoh-tokoh nasional ini tidak saling menenggelamkan. Jadi kalau Pak Harto ditenggelamkan untuk mengimbangi munculnya kembali kedudukan dan peranan Bung Karno, kita coba untuk berimbang.
TI: Menurut Anda, apa yang kurang pas dari kebijakan pendidikan Indonesia hingga saat ini?
JS: Salah satu yang ingin saya sampaikan adalah tidak ada hubungan langsung antara tambahan anggaran dengan kenaikan mutu pendidikan. Sekarang pun di negara-negara maju ada keinginan supaya pendidikan tidak mengarahkan pada peningkatan mutu akademik di perguruan tinggi. Justru meningkatkan bantuan-bantuan pada golongan-golongan yang begitu tidak cemerlang.
Jadi jangan bikin sekolah-sekolah elit tambah elit sehingga mutunya tinggi, tapi tidak produktif. Tapi lebih baik diarahkan pada orang-orang biasa-biasa saja. Karena mereka jumlahnya banyak. Mereka tertolong dan mereka ini yang kebetulan nyata-nyata menghadapi masalah digerakkannya ekonomi sektor riil.
Karena itu, sekarang pun saya kira, lebih baik seperti perguruan tinggi UI, ITB, dan UGM tidak menggebu-gebu tentang menghendaki perguruan tinggi kelas dunia. Cukup word class saja, nggak usah World Class. Word class saja yang bisa dokumen, itu saja konsentrasinya pada orang-orang banyak. Yang tidak terlalu brilian pikirannya, tapi lebih praktis memberi data. Karena orang-orang ini, menengah ke bawah, yang menjadi pemicu dari pergerakan dari sektor riil. Dan untuk itu tidak perlu gelar-gelar akademik yang terlalu canggih, seperti professor, doktor. Saya juga agak segan memakai gelar akademik, karena sekarang banyak, profesor, doktor yang gadungan.
TI: Kembali ke habitat Anda, walaupun bidang pendidikan juga habitat Anda, multi dimensi. Pandangan Anda tentang Dwi Fungsi ABRI. Apa yang salah di dwi fungsi ABRI?
JS: Ndak ada yang salah waktu itu. Karena pada waktu itu dwi fungsi diperlukan untuk memantapkan dan memungkinkan stabilitas yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang cepat di atas 6% setahun selama 30 tahun. Dan menjamin Golkar selalu menang di atas 60% tiap lima tahun. Tapi waktu itu diperlukan sesuai dengan zamannya. Tanpa stabilitas politik, tidak mungkin ada pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat. Sehingga Indonesia, PDB perkapitanya naik dari 250 dolar tahun 1966 menjadi hampir 1700 dolar pada tahun 1996. Dan itu suatu prestasi yang termasuk berhasil di seluruh dunia sedang berkembang, termasuk Brazil, Meksiko dan India.
TI: Lengsernya Pak Harto juga berimplikasi runtuhnya dwi fungsi ABRI, berarti dwi fungsi juga gagal dalam kacamata (arti) kesinambungan?
JS: Waktu saya dengan Pak SBY ketemu 1996/1997, sudah dipikirkan waktu itu, harus ada perubahan yang terarah, terukur dan teratur. Ini tentang paradigma baru TNI, era menjelang pasca Pak Harto. Dua tahun sebelum Pak Harto lengser, Pak SBY sudah mengumpulkan 12 Pati di Mabes TNI, Mabes ABRI waktu itu, untuk memikirkan bagaimana paradigma politik Indonesia setelah Pak Harto.
Dimana secara terukur dan terarah harus ada pentahapan membangun pemberdayaan kemampuan aparat sipil termasuk pimpinan sipil, termasuk partai-partai politik. Karena keberhasilan Indonesia di bawah Pak Harto sudah membuat transformasi masyarakat Indonesia yang baru. Yang jauh lebih kompleks yang tidak bisa ditangani oleh cara-cara paradigma tahun 70-an.
Jadi di sini, penglihatan depan dari Pak SBY sebagai Kasospol dan Kaster waktu itu, sudah mendahului zamannya. Dan waktu itu, Kasad Edy Sudrajat, yang pertama sekali mengatakan back to basic. Itu tahun 1994. Saya kira juga itu ada masukan dari Pak SBY. Jadi sekarang bukan dwi fungsi tapi pemberdayaan wilayah. Tugas TNI adalah untuk membangun capacity building, polisi dan jaksa.
TI: Sebelum ke situ, kita mau kembali dulu. Nanti kita membahas yang terakhir Anda kemukakan. Diangkat, mesti dipercaya oleh yang mengangkat, paling tidak dapat dikenal baik secara pribadi atau pikirannya. Yang membuat Anda dipercaya oleh lima presiden itu, menurut Anda, apakah karena kedekatan pribadi atau secara pikiran.
JS: Ndak tahu, (ketawa)
TI: Apa kira-kira, atau punya hubungan kedekatan atau karena sekadar sopan santun. Karena kesopansantun bisa menjadi menteri?
JS: Itu harus ditanya pada masing-masing presiden, saya nggak tahu persis. Tapi saya tidak pernah dekat-dekat dengan Pak Harto, apalagi keluarganya. Dan Pak Habibie malah aneh, pada waktu September 1997, saya mengatakan bahwa sipil belum siap menjadi presiden. Waktu itu beliau sedang dipersiapkan menjadi Wapres. Saya ingat beliau dan beberapa kalangan termasuk Pak Ginandjar marah pada saya. Sebagai Wagub Lemhanas, tidak patut meragukan bahwa sipil itu tidak siap jadi pimpinan nasional.
TI: Tapi oleh Pak Habibie malah diangkat jadi Menteri Pendidikan Nasional?
JS: Ya, saya jadi heran itu.
TI: Mungkin karena kapasitas Anda. Dengan Gus Dur, bagaimana kedekatannya sehingga diangkat menjadi Menteri Pertahanan?
JS: Kalau dengan Gus Dur, tahun 1980-an, sempat saya beberapa kali bertemu dalam berbagai seminar. Termasuk seminar tentang Australia di mana saya pernah satu panel dengan beliau. Tapi saya tidak terlalu dekat dengan beliau. Tidak pernah ikut Fordem (Forum Demokrasi) yang beliau gelar.
TI: Kalau saat mau diangkat apa dialognya?
JS: Waktu diangkat tidak ada dialog apa-apa.
TI: Tidak lebih dulu diberitahu atau bagaimana?
JS: Saya hanya diberitahu oleh Pak Habibie bahwa beliau telah bertemu dengan Gus Dur yang sudah terpilih jadi presiden, dan sedang menyarankan supaya saya diangkat sebagai Menteri Pertahanan.
TI: Jadi, justru Pak Habibie yang menyarankan. Lalu, ketika diangkat menjadi Menteri Pertahanan, pada waktu pertama kali, apa yang ada dalam perasaan atau pikiran Anda? Mungkin, ini sudah habitat saya atau apa kira-kira yang ada dalam benak Anda?
JS: Jadi saya jadi berpikir, nah ini ada kesempatan baik untuk ikut mendorong institusi yang paling penting di Indonesia yang namanya TNI. Menurut saya, apapun sistem politik di Indonesia ini, kalau kita lihat intinya memang harus diamankan oleh satu-satunya institusi yang punya wawasan kebangsaan adalah TNI.
TI: Dan untuk pertama kali sipil menjadi Menteri Pertahanan?
JS: Ndak, sejak tahun 1957 kan ada. Pak Djuanda kan Menteri Pertahanan.
TI: Maksud kami sejak terakh Ir Djuanda 1957-59 sampai masa Orde Baru. Biasanya dirangkap oleh Panglima atau dijabat oleh jenderal?
JS: Ya. Tapi terus terang, Pak Habibie, waktu Februari 1999 pernah mengatakan kepada saya, kalau saya terpilih kembali dalam sidang MPR, kalau pertanggung jawaban beliau diterima, saya akan diminta menjadi Menteri Pertahanan. Jadi waktu beliau kalah di sidang MPR, pesan disampaikan kepada Gus Dur. Nampaknya dalam benak Gus Dur, dipikir ada juga baiknya.
TI: Tapi sayang, waktu itu Anda sakit, sesudah diangkat jadi Menteri Pertahanan?
JS: Ya, Desember 1999.
TI: Terlalu banyak beban atau kenapa sampai sakit?
JS: Ndak, karena saya tidak banyak olah raga pada saat Menteri Pendidikan. Terlalu banyak minum kopi. Saya stroke ringan.
TI: Biasanya orang stroke tidak kembali secerdas Anda lagi? Kenapa Anda bisa?
JS: Saya dibantu oleh kenyataan. Bahwa saya ditangani di bawah tiga jam, sudah masuk rumah sakit, langsung dikasih tabung, dan ternyata tidak begitu parah. Alhamdulillah.
TI: Dan sekarang tampak lebih fit dibanding tahun 2004, menurut pengamatan kami?
JS: Masa… (ketawa). Karena saya diasuh oleh para perwira ini. (Melirik dua perwira tinggi yang mendampinginya, Laksma TNI Agus Purwoto, Sekretaris Menteri dan Kepala Biro Tata Usaha Dephan serta Brigjen TNI Slamet Hariyanto, Kepala Biro Humas Dephan).
TI: Terus, Anda sempat duta besar, pada masa pemerintahan Megawati. Sebagai duta besar, itu jabatan hiburan atau sebagai apa?
JS: Terus terang waktu itu, Ibu Mega meminta saya untuk menjadi duta besar di Inggris. Sebahagian, katanya, supaya bisa menyembuhkan, terus supaya bisa istirahat sebagai duta besar.
TI: Dikasih tugas yang lebih ringan sebagai proses pemulihan. Begitu sayang Ibu Mega pada Anda?
JS: Kalau Ibu Mega dengan saya cukup dekat, ketika masa Pak Harto ataupun menjelang Pak Harto selesai, beberapa kali ketemu. Pertama beliau datang ke Lemhannas. Tiap kali ada pendidikan akhir di Lemhannas, beliau datang. Beliau sangat peduli pada Lemhannas karena sifatnya yang berwawasan kebangsaan. Jadi selalu hadir dia.
Kedua, dua kali dalam berbagai pertemuan seminar, termasuk seminar tentang hubungan India dan Indonesia. Beliau hadir, saya juga hadir diundang oleh kedutaan India, waktu saya menjadi Menteri Pendidikan dan ada titik temu. Dalam arti, bahwa Bung Karno dengan ayah saya itu kenal baik. Walaupun mereka seteru dalam politik, Bung Karno lebih ke PNI, ayah saya ke PSI. Tapi karena mereka dulu dalam ring yang kecil, di lingkungan perjuangan ’45. Dulu lebih baik itu, hubungan pribadi itu bisa melintas perbedaan pandangan ekonomi dan politik.
TI: Karena Anda singgung tentang Ibu Megawati, bagaimana penilaian Anda tentang beliau, atau apa yang menarik dari Ibu Megawati, Pak Habibie, Gus Dur dan Pak Harto? Bisa dikasih kesan-kesan satu persatu, bekas presiden, dimana Anda sebagai pembantu. Dimulai dari pribadi Pak Harto, apa yang paling berkesan?
JS: Pak Harto itu paling efektif kalau diam. Dalam kepadatan beliau sebagai orang yang diam itu keluar dan memancar wibawanya yang dirasakan di seluruh kabinet. Dan dirasakan di seluruh lapisan birokrasi. Itu sesuatu yang luar biasa. Kekuatan dari beliau adalah kepadatan dari keheningannya. Dan wibawanya itu terpancar terutama melalui matanya. Kalau matanya itu sudah mengisyaratkan sesuatu, anggota kabinet, anggota bawahannya sudah mendapat isyarat. Cukup memahami.
TI: Kalau dengan Pak Habibie?
JS: Pak Habibie itu pribadi yang lugas dan sangat terbuka, sangat ilmiah. Tapi saya kira, tidak punya bobot politik untuk dirasakan sebagai pemimpin nasional. Jadi beliau itu korban dari suatu pergantian antara sistem yang sangat ketat dan padat dengan wibawa, dengan iklim yang mempersoalkan seluruh keadaan lama. Jadi beliau menghadapi turbulensi yang tidak bisa beliau kendalikan. Tapi dalam konteks itu, 18 bulan sebagai presiden, cukup mengantar pada proses demokrasi.
TI: Walau 18 bulan, sebenarnya beliau mempunyai masa yang sangat kritis dan sangat mempunyai peran yang membuat Indonesia meloncat, gitu ya? Kalau dengan Gus Dur?
JS: Kalau dengan Gus Dur. Kridensial beliau sebagai pemimpin sosial, itu sangat bagus. Sebagai pemimpin sosial bangsa, bagus. Tapi sebagai pimpinan negara agak kurang baik, karena terlalu idealis dan terlalu demokratis. Sedangkan kalau menjadi pemimpin negara, itu harus ada bobot wibawa kenegarawanan yang tidak bisa langsung ditransformasi dari pemimpin LSM menjadi seorang pemimpin pemerintah. Ada sesuatu yang beliau tidak bisa kuasai di situ. Tapi juga karena pilihan beliau adalah untuk menjadi presiden yang sangat informal, sangat demokratis, sangat pluralistik, dan itu bagus untuk kebangsaan. Tapi untuk kenegaraan, mengorbankan efektitivitas pemerintahan.
TI: Dengan Ibu Mega sendiri selain wawasan kebangsaan itu tadi?
JS: Ibu Mega itu membawa beban nama ayahnya. Dan teja ayahnya itu, mau diteruskan melalui beliau seperti halnya Indira Gandhi mau meneruskan ayahnya. Seperti Benazir Buttho yang mau meneruskan ayahnya. Jadi, sebagai anak putri dari tokoh-tokoh besar di masing-masing bangsanya. Setiap putri ini membawa beban teja ayahnya, tetapi harus mentransformasi dalam keadaan yang lain. Situasi yang konteks kulturnya lain, ekonominya lain. Jadi itu bebannya beliau sampai sekarang.
TI: Berani nggak menilai Pak SBY?
JS: Pak SBY? Berani. (ketawa).
TI: Kalau dalam pandangan Anda, Pak SBY itu bagaimana?
JS: Ini, orang yang mencoba untuk menyeimbangkan keterbukaan dan efektivitas. Antara demokrasi dan birokrasi. Beliau ‘kan terpilih karena pada tahun 2004 itu orang sudah capek dengan kegaduhan 1998-2004 sehingga mencari figur yang bisa mengisi kekosongan harapan antara demokrasi dan pemerintahan yang jalan.
Sebagai presiden, beliau menjadi orang yang mengombinasikan dua hal. Pertama, sebagai rekonsiliator, mau merangkul semua pihak, terutama setelah gaduh 1998 itu. Pada sisi lain, beliau juga mulai mengisi tentang perlunya ketegasan. Tidak cukup keterbukaan dan merangkul ini dari rekonsiliator menjadi enforcer. Dan sekarang saya kira 2009-2014 adalah kesempatan yang baik karena dengan kedudukan partainya 21 persen, tiga kali lipat dari 2004, dan mandat 60,8 persen suara pilihan langsung. Ini kombinasi yang baik.
TI: Jadi, Anda yakin Pak SBY akan mampu menerapkan apa yang Anda bilang tadi?
JS: Saya yakin dengan mandat politik di DPR maupun di kepresidenan. Karena beliau adalah presiden yang pertama kali terpilih langsung, terpilih kembali. Kalau dulu, pertama kali terpilih langsung. Sekarang terpilih kembali secara langsung. Itu juga satu fenomena tersendiri.
TI: Sebelum Pak SBY mengangkat Anda jadi Menteri Pertahanan, apakah dipanggil dulu ke Cikeas?
JS: Dulu? Ndak, saya hanya mendapat SMS saja, dari Pak Widodo AS.
TI: Jadi tidak disamakanlah dengan barisan yang lain, gitu ya. Dipanggil dulu ke Cikeas, dan diuji dulu layak atau tidak?
JS: Saya waktu di London, saya cuma dapat berita-berita selentingan.
TI: Dari beliau langsung atau bagaimana?
JS: Tidak langsung dari beliau, tapi saya pernah baca bahwa Menhan itu akan ditempati seorang ahli hubungan internasional, itu saja. Kemudian saya dapat SMS dari Pak Widodo dan telepon dari Pak Sudi Silalahi, bulan Oktober 2004.
TI: Presiden meminta Anda untuk bersedia menjadi Menteri Pertahanan?
JS: Untuk datang ke Cikeas, 16 Oktober.
TI: Ketika ketemu Pak SBY pertama kali di Cikeas, konon ada yang ditandatangani segala macam?
JS: Kontrak, ya beliau memberi kontrak politik. Tapi kontrak politiknya sama buat semuanya. Harus kerja keras, jujur, dan kalau terdakwa secara hukum harus bersedia mengundurkan diri. Tapi ada tiga pesan beliau, pertama adalah menjaga netralitas TNI. Kedua adalah menertibkan pengadaan alutsista di Dephan, Mabes TNI, Mabes angkatan, supaya penggelembungan itu ditertibkan. Ketiga adalah untuk mengembangkan kerjasama regional supaya para perwira TNI generasi baru lebih berwawasan, baik regional dan global. Karena sebagai negara yang punya dampak tidak hanya regional tetapi global, beliau ingin para perwira generasi baru ini punya wawasan yang luas bagaimana tempat Indonesia di ASEAN, di Asia Pasifik maupun di seluruh dunia.
TI: Tidak dikemukakan alasan mengapa memilih Anda. Atau mungkin disampaikan, saya memilih karena pertimbangan ini?
JS: Ndak. Barangkali, karena kita pernah bertemu beberapa kali, termasuk dua tiga kali seminar di Seskoad waktu beliau Panglima Sriwijaya, sebagai Kaster. Termasuk di Hotel Mulia tahun 1997, waktu beliau bicara tentang paradigma baru TNI. Kita sama-sama sepakat bahwa ada pentahapan yang harus dilakukan dimana berangsur-angsur pemberdayaan sipil akan makin menguat dan TNI akan berkurang.
Tapi sisi lain dari pengurangan peranan militer adalah pemberdayan sipil harus betul-betul bagus. Saya kira akan sepakat walaupun beliau tidak akan mengatakan secara terbuka. Kekecewaan yang terbesar adalah pimpinan sipil itu tidak melakukan konsolidasi. Konsolidasi organisasi untuk menciptakan kader-kader pengganti. Kebanyakan parpol ini terlalu mengandalkan satu dua tokoh, tanpa tokoh itu, parpol itu akan pudar, gitu. Dan mungkin ini adalah salah satu pesan beliau yang saya baca hari ini (12/8/2009), bahwa Partai Demokrat 2014 harus melintas masa jabatan beliau.
TI: Tentang keluarga, bagaimana perkenalan Anda dengan Ibu?
JS: Di kampus. Daripada jadi mahasiswa, ikut tenaga kerja saja, di rumah. Lebih murah kuliahnya. (Tersenyum). mti | marjuka – hotsan
***TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)