
[WAWANCARA] Wawancara Jokowi (2) – Ir. Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi menegaskan bahwa membangun mall (pusat belanja) atau pasar harus dengan strategi produksi, bukan strategi komsumsi. Menurut Calon Gubernur DKI Jakarta tersebut, yang harus dihidupkan di Jakarta bukan mall dengan pola konsumtif, tapi harus pola produktif dan kreatif.
Perihal pembangunan mall yang menjamur di Jakarta, Jokowi menegaskan bahwa dia bukan anti mall. Pengusaha (eksportir) mebel yang kini masih menjabat Walikota Solo tersebut mengatakan pembangunan mall asal tidak merusak tata ruang, tidak apa-apa. Tetapi kalau mall sudah merusak tata ruang, sudah tidak benar. Itu syarat pertama. Kemudian, syarat kedua, membangun mall atau pasar harus dengan strategi produksi, bukan strategi komsumsi.
Artinya yang dibangun, menurutnya, adalah mall industri kreatif. “Sehingga nantinya akan memberikan efek usaha-usaha produksi, bukan usaha-usaha konsumtif, tapi tempat-tempat produktif. Mall jangan malah menjadi pusat penjualan produk asing, tapi harus menjadi pusat belanja produk kita sendiri,” jelasnya.
Jokowi sependapat bahwa Jakarta bisa dikembangkan menjadi pusat belanja dunia. Namun untuk tujuan itu, yang dibangun adalah mall yang mendorong tumpuhnya produk kreatif sendiri, bukan malah menjadi pusat belanja produk asing. Dia pun melihat sangat perlunya dibangun pusat belanja PKL (pedagang kaki lima) di beberapa tempat di Jakarta.
Jokowi berkeyakinan hal itu bisa di wujudkan. “Kenapa tidak, misalnya, buat saja kampung batik di Jakarta, pasti bisa. Kampung perak, emas di Jakarta, bisa. Lihat saja di Thailand, ada mall di situ yang khusus berproduksi perak. Kalau kita masuk ke situ, mau tidak mau harus beli. Kenapa tidak seperti itu. Jadi pusat belanja dengan strategi produksi, bukan strategi komsumsi,” jelas Jokowi dalam percakapan dengan Wartawan TokohIndonesia.com Ch. Robin Simanullang, Muchlas Santoso dan Bantu Hotsan di Rumah Dinas Walikota Solo Loji Gandrung. Percakapan ini berlangsung satu bulan sebelum Jokowi secara resmi diusung PDIP dan Gerindra sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Jokowi yang pernah menolak pembangunan mall di Solo, sependapat bahwa Jakarta bisa dikembangkan menjadi pusat belanja dunia. Namun untuk tujuan itu, yang dibangun adalah mall yang mendorong tumpuhnya produk kreatif sendiri, bukan malah menjadi pusat belanja produk asing. Dia pun melihat sangat perlunya dibangun pusat belanja PKL (pedagang kaki lima) di beberapa tempat di Jakarta. Selengkapnya, berikut petikan percakapan (wawancara) tersebut.
TokohIndonesia.com (TI): Kalau mengorientasikan ke depan, Anda itu terpilih menjadi gubernur di DKI Jakarta. Kalaupun Anda sendiri secara pribadi tidak berobsesi ke sana, Tapi banyak orang melihat potensi Anda ke arah itu. Jika menjadi pemimpin DKI, apa kira-kira yang Anda lakukan?
Joko Widodo (JW): Di sana biar yang pintar-pintar saja, saya tidak pintar.
TI: Tapi terlepas dari pencalonan itu, Jakarta itu seharusnya dipimpin seperti apa?
JW: Kalau Jakarta ketemu orang yang punya leadership, berbagai masalah akan selesai. Karena apa? Jakarta punya resource yang besar sekali, APBD besar sekali. Dan itu bisa menyelesaikan masalah. Antara leadership dan manajerial harus berbarengan.
TI: Anda juga mengenal Jakarta. Problem Jakarta itu menurut Anda apa kira-kira?
JW: Tiga menurut saya, macet, banjir dan tata ruang. Itu saja menurut saya.
TI: Kalau masalah macet, apa solusinya?
JW: Kalau macetnya, semua orang harus sama-sama ngerti. Saya nggak pintar sih, ha-ha-ha. Kalau macetnya mau subway, monorail, train juga bisa. Kuncinya di situ saja, tetapi harus dibarengi dengan policy (kebijakan). Misalnya: ongkos parkir dimahalin, sistim electronic road pricing (ERP), jalani semuanya. Memang harus dipaksa.
TI: Memang konsepnya (Pola Transportasi Makro) sudah bagus di Jakarta?
JW: Tinggal mengeksekusi saja.
TI: Jadi sisi leadershipnya, karena program pola tranportasi makro Jakarta sudah demikian bagus?
JW: Ada semua perencanaannya, tapi nggak terlaksana. Karena kurang keberanian mengeksekusi.
TI: Bagaimana melaksanakannnya (mengeksekusinya), itu yang menjadi problem?
JW: Masalahnya, kalau menurut saya (ini hanya omong kosong, hahaha). Duitnya sudah ada. Misalnya, Mass Rapid Transit (MRT) tiga tahun rampung. Monorail dua tahun rampung. Saya akan panggil Kepala PU sama Dinas Perhubungan, saya minta ini dua tahun rampung. Duitnya saya yang menyiapin, tapi jangan main-main ya. Ini program khusus saya, jangan dimain-mainin. Sudah tiap hari saya lihatin, saya ke situ saja. Tiap hari saya harus di proyek. Itu pasti rampung tiga tahun. Ini saja, nggak usah ngurus administrasi. Kita tungguin, itu saja sudah.
Tapi seperti yang saya katakan, yang pintar-pintar saja di sana.
TI: Tapi kepemimpinan yang berani mengeksekusi itu dibutuhkan?
JW: Iya, yang pintar-pintar.
TI: Seorang gubernur belum tentu jadi pemimpin. Jadi gubernur saja, karena kekuasaan. Kalau melihat kepemimpinan Anda di Solo dengan pendekatan langsung kepada masyarakat, apakah hal yang sama bisa diterapkan di Jakarta?
JW: Problem (permasalahan) Solo dengan Jakarta relatif sama, hanya skalanya yang berbeda. Buktinya apa, di Solo juga plural. Manusianya juga sama. Nggak ada bedanya Solo sama Jakarta. Nggak jauh beda, persis sama. Manajemen dan manusianya juga sama.
TI: Selain itu, Jakarta juga sangat berkaitan dengan daerah hinterland-nya. Jakarta itu hidup tidak hanya untuk wilayahnya tapi hinterlandnya juga sangat berpengaruh. Bagaimana mengkoordinasi dengan kekuasaan masing-masing daerah?
JW: Di sini (Solo) sama juga. Intinya, semuanya bisa diajak bicara. Hanya cara berkomunikasinya saja. Kalau semuanya mau duduk satu meja. Yang penting itu, satu, jangan mentang-mentang saya walikota kamu harus datang ke tempat saya ya! Kadang-kadang saya juga mau rapat dengan RT, mau rapat di kelurahan juga nggak apa-apa. Artinya yang di Jakarta itu, rapatnya tidak harus di Jakarta.
TI: PKL Jakarta itu, bagaimana karakternya dibanding dengan di Solo?
JW: Sama saja. PKL yah, kayak begitu itu, kumuh dimana-mana sampai menjengkelin. Tapi, bagaimanapun mereka adalah warga kita. Sehingga kalau menurut saya, dibuatin pasar PKL di Jakarta. Dibangun mall khusus PKL.
TI: Jakarta itu diproyeksikan, mau tidak mau, harus menjadi pusat belanja dunia. Tidak hanya belanja lokal. Itu berarti pembangunan mall malah penting dalam rangka tujuan menjadi pusat belanja dunia. Bagaimana pendapat Anda dan bagaimana caranya agar Jakarta menjadi pusat belanja dunia?
JW: Pembangunan mall asal tidak merusak tata ruang saja, tidak apa-apa. Tetapi kalau mall sudah merusak tata ruang, sudah tidak benar. Kemudian yang kedua, saya kira yang harus dihidupkan di Jakarta bukan pola konsumtif dengan mall. Tapi pola-pola produktif. Artinya yang dibangun, menurut saya adalah industri kreatif yang ada di sana. Sehingga nantinya akan memberikan efek usaha-usaha produksi, bukan usaha-usaha konsumtif tapi tempat-tempat produktif. Yang itu bisa dipakai belanja, seperti kampung batik.
TI: Jadi bukan malah pusat penjualan produk asing ya?
JW: Iya, produk kita sendiri. Kenapa tidak, misalnya, buat saja kampung batik di Jakarta, pasti bisa. Kampung perak, emas di Jakarta, bisa. Lihat saja di Thailand, ada mall di situ yang khusus berproduksi perak. Kalau kita masuk ke situ, mau tidak mau harus beli. Kenapa tidak seperti itu. Itu yang saya maksud tadi. Bangun mall atau pasar dengan strategi produksi, bukan strategi komsumsi.
Mall itu menurut saya, bukan saya anti mall atau tidak senang dengan mall. Beda loh ya, anti sama tidak senang, ha-ha-ha. Dari dulu saya tidak senang, sih. Apalagi yang dijual barang-barang impor lebih tidak senang lagi saya.
TI: Atau paling tidak yang dijual adalah prodak dalam negeri ya?
JW: Iya. Dan prodaknya jelas yang membuatnya orang kita.
TI: Jadi saya kira itu yang paling menarik, karena Jakarta sudah menjadi tempat penjualan produk asing?
JW: Iya. Jangan sampai kemasukan produk sama mereka. Jadi contoh-contoh tempat produksi yang benar, itu Tanah Abang. Strageginya, strategi produksi kalau itu. Mestinya yang lain-lain juga begitu, kalau itu pemasaran kain. Bisa saja, di Jakarta ada pasar khusus untuk perak, paling besar di dunia, kenapa tidak.
TI: Kami kira ada yang bagus dari pemerintah DKI era Sutiyoso. Pasar induk Kramat Jati yang dibangun modern, pusat belanja sayur dan buah-buahan untuk tingkat Asia?
JW: Pasar induk sayur se-Asia, kenapa tidak. Pasar emas se-Asia. Kita punya pengrajin-pengrajin. Kalau kita ke Dubai, ada pusat emasnya. Kayak gitu saja, ngak akan ada apa-apanya dengan kita, kalau bisa bikin seperti itu. Ada pengrajinnya yang nata, kemudian ada penjualnya.
TI: Di Jakarta, pemerintah daerah dari dulu sampai sekarang untuk memindahkan penduduk dari tempat kumuh, terutama bantaran sungai, itu selalu kesulitan. Walaupun rusun sudah dibangun, mereka tidak mau tempatin. Bagaimana mengatasi masalah ini?
JW: Iya, karena tidak ada komunikasi. Kalau ada komunikasi, ditanya dong, bapak mau saya pindah. Pengennya ke utara atau mau ke selatan. Kalau mau ke utara, carikan jalan ke utara. Ada tiga alternatif, bapak pilih yang mana. Satu, dua atau tiga. Kalau dia pilih alternatif tiga, baru bangun. Pasti akan ditempati. Kalau tidak demikian, akan kosong semua. Di sini (Solo) membuat rusun antri. Karena kita selalu tanya kepada rakyat, pingin rusun ditempatkan di mana. Ditanya dulu mereka yang akan menempati itu. Itu program namanya, kalau itu namanya proyek, beda orientasinya.
TI: Kalau Provinsi Jawa Tengah, apa problemnya kalau dari segi tingkat kepemimpinan?
JW: Saya nggak tahu. Dari Jakarta di bawa ke Jateng (ha-ha-ha). Kalau menurut saya, Jawa Tengah, itu memang problemnya lebih luas karena menyangkut 35 kabupaten kota. Setiap kabupaten, itu produknya sendiri-sendiri. Sehingga menurut saya, perlu realisasi besar untuk menyelesaikan persoalan ini dari Kota Kabupaten, ngak mudah.
TI: Punya kepedulian nggak membangun Jawa Tengah?
JW: Nda (ha-ha-ha). Jakarta nggak, Jawa Tengah juga nggak, hahaha. Biar yang pintar-pintar saja.
TI: Kembali ke Jakarta lagi. Sebagai Ibu Kota, Jakarta milik kita bersama yang dimana setiap orang terutama pemimpin, harus memiliki kepedulian. Jadi ini bukan soal ambisi apalagi obsesi. Dimana kepeduliaannya?
JW: Jawa Tengah nggak mau, bawa balik ke Jakarta lagi, hahaha. Memang Jakarta ‘kan etalasenya Negara dan sebetulnya Jakarta, itu bisa menjadi pusat percontohan dari apapun di daerah-daerah. “Ini loh, infrastrukturnya, jalannya bagus.”
TI: Belajar PKL harusnya di Jakarta ya?
JW: Belajar PKL itu loh di Jakarta. Belajar tentang tata ruang dan jalan yang baik, ituloh di Sudirman. Dulu yang saya baca, Bung Karno, ingin seperti itu. Ingin membuat Thamrin-Sudirman itu menjadi contoh jalan se-Indonesia. Bung Karno juga ingin membuat Jakarta dengan tata ruang yang terbaik di dunia. Senayan ada hijauan, ada kampungnya, ada foldernya, semuanya. Bung Karno punya dari yang saya baca, seperti itu.
TI: Dan itu baik untuk diterapkan?
JW: Baik diterapkan, tapi itu sekarang sudah hilang. Hilang tanahnya. Harusnya seperti itu. Semua daerah-daerah itu ‘kan berkacanya ke Jakarta. Cari ilmunya ke sana.
TI: Jadi heterogenitas dan dinamikanya Jakarta, itu apa Anda nggak takut?
JW: Kalau nggak takut, yang saya takuti apaan saja (ha-ha-ha).
TI: Siapa tahu nyalinya jadi kecut?
JW: Nggak.
TI: Kenapa nyalinya nggak takut, kalau misalkan terpilih memimpin Jakarta?
JW: Dimanapun nggak takut. Kenapa? Karena kita tidak ada kepentingan. Nothing to lose saja. Wong, sekarang Joko tidak jadi walikota juga tidak apa-apa. Santai saja, kursi itu nggak usah di guberin. Nanti kalau diguberin kursi itu, kita bisa jadi memberatkan. Menjadi penakut nanti kita.
TI: Karena di Jakarta ‘kan tidak hanya memerlukan pemimpin yang tidak hanya lembut, tapi juga harus berani. Anda berani nggak, jadi pemimpin, bukan sekadar gubernur?. Sebenarnya tadi sudah diucapkan, hanya mempertegas saja. Paling tidak berani mengatakan ya atau tidak?
JW: Kalau orang tidak punya beban apa-apa, itu berani mengatakan tidak. Tapi kalau orang sudah punya kepentingan, itu mikir-mikir.
TI: Tapi tentu ada azasnya untuk mengatakan ya atau tidak. Kalau menurut Anda, seorang pemimpin apa itu Presiden atau Gubernur untuk mengatakan ya atau tidak, azas utamanya apa kira-kira sebagai pemimpin yang hidup di negara dalam satu sistem politik yang modern?
JW: Harus oriented, orientasinya ke masyarakat. Bermanfaat nggak itu kepada masyarakat. Kalau bermanfaat, lakukan. Kalau tidak ya tidak.
TI: Tapi ada sekarang ini dalam demokratisasi sebelum menempati relnya itu, terus tidak selalu dalam (taat) azas jalur hukum. Kadang ada permintaan massa dengan keras, itu kalau dilaksanakan malah bertentangan dengan tujuan bernegara. Apa sikap Anda?
JW: Bedanya itu orang, kalau saya digrutuk berapa ribu orang. Kalau aturannya tidak boleh, tidak dong. Harus berani mengatakan tidak.
TI: Jadi tidak hanya sekadar aspirasi kelompok massa?
JW: Oh, itu soal azas yang sudah digariskan dalam dasar negara, nggak ada aspirasi atau tekanan massa, gimana.
TI: Kalau kemana angin bergerak ke situ pemimpin bergerak. Mengikut saja tuntutan sekelompok massa saja, kalau begitu?
JW: Iya bubar Negara ini. Nggak bisa itu. Saya kalau sudah sesuai aturan, didemo berapa ribu orangpun, saya tidak keluar dari rel. Saya akan datangi yang demo itu, saya akan katakan tidak. “Kalau saya sih sering datangi yang demo, bukan didatangi demo. Jadi kagak.” Dulu supir becak di Purwosari mau demo, saya datangi dulu, kaget mereka. Karena yang mau didemo sudah datang.
TI: Kalau menurut Anda, soal pengertian ini, bukan soal penerapan. Pengertian pemimpin yang negarawan, itu seperti apa?
JW: Seperti yang sudah saya bilang, kalau ada persoalan, ada rintangan, dia (pemimpin) ada di depan. Tapi kalau ada kemakmuran, dia ada di tempat yang paling belakang. Kalau pas ada yang mengikat, dia ada di dalamnya. Dia harus kelihatan bahwa dia harus bekerja.
TI: Membangun Indonesia ‘kan tidak hanya oleh Presiden, itu juga di Solo dan diberbagai daerah lainnya, Indonesia dibangun. Bangunan Indonesia, itu seperti apa dalam visi Anda. Anda juga sedang membangun Indonesia dari Solo. Kalau nggak salah visi kota Solo itu Pembukaan UUD 1945. Kami sependapat Visi Pemimpin itu harus itu. Apa kira impian Anda untuk Indonesia?
JW: Iya. Visi pemimpin itu hanya itu. Kalau visi membuat sendiri, itu bagaimana? Saya kira semua orang punya mimpi, Indonesia yang adil dan makmur. Hanya untuk mencapai ke sana, lewat cara, atau strategi apa. Baik strategi kebudayaannya, produksi, sosial, ekonominya seperti apa. Itu yang harus dipersiapkan. Kalau yang sekarang ini saya nggak mengerti.
Kalau saya konsentrasinya hanya dua saja. Industri pangan dan maritim, karena kekuatan kita besar sekali dalam dua hal ini. Kemudian kalau mau tambah lagi di industri energi. Kita punya semua itu yang negara lain tidak punya. Semuanya kita kunci di situ. Artinya apa, batu bara yang berkaitan dengan semua itu jangan dijual. Pangan juga sama, nggak usah impor-impor, entah dengan ilmu apa, dimana, industri pangan itu harus betul-betul dikuasai, tidak hanya import seperti sekarang. Kalau logika dalam otak saya, sangat bisa. Menjadi negara pangan terbesar, itu kita bisa. Di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, munculkan di sana. Jadi strategi produksi ke sana harus terdesain.
TI: Anda hidup bersahaja, sampai-sampai yang kami baca itu, walaupun seorang pengusaha yang sudah mapan dari tingkat ekonomi, tidak menerima gajinya walaupun tanda tangan untuk ini. Tapi, itu tanpa dukungan keluarga ‘kan tidak sekuat itu barangkali. Apa kekuatan keluarga dalam dukungan kepemimpinan Anda?
JW: Keluarga saya, tidak pernah ikut-ikutan dalam…, kalau saya ada apa-apa. Nggak mendukung saya jadi walikota. Nggak ada yang mendukung. Benar, bisa ditanya sama anak-anak saya. Nggak ada yang senang saya jadi walikota. Istri saya ditanya saja, nggak ada yang senang. Pertama dulu (pemilukada), apalagi yang kedua malah tidak senang.
TI: Dalam sanubari Anda itu ada ketentaraman nggak kalau berlawanan seperti itu?
JW: Iya mereka diberi tahu, kita ini baru bernegara. “Nggak dukung nggak apa-apa, tapi jangan ganggu, gitu loh.!”
TI: Itu berarti dukungan juga?
JW: Betul. Nggak senang saya jadi walikota, tapi tetap di support (didukung) juga.
TI: Kemudian hidup bersahaja tanpa dukungan kecerdasan religius, kami kira itu agak mustahil dengan kehidupan seorang Joko Wi yang sekarang. Bagaimana proses pengasuhan keagamaan dari sejak kecil?
JW: Biasa saja. Nggak ada yang istemewa. Seperti orang lain, kalau sholat ya sholat dengan khusuk.
***
TI: Siapa Jokowi sebenarnya sampai bisa seperti ini. Itu dalam kaitan kepemimpinan, integritas pribadinya, proses pengasuhannya dari kecil. Kan nggak mungkin Joko Wi yang sekarang tanpa melalui satu proses. Maka, kita ingin tahu lebih dalam, siapa Joko Wi sehingga memiliki pribadi seperti yang sekarang, mulai dari proses awal?
JW: Prosesnya lahir di bantaran sungai. Dari TK hingga SD juga mainnya di bantaran sungai. Kalau di bantaran sungai bisa dibayangi, siapa mereka.
TI: Terus proses pengasuhan dari orangtua itu?
JW: Namanya orangtua juga sulit, proses-proses seperti itulah.
TI: Profesi orang tua?
JW: Profesinya jualan.
TI: Pedagang?
JW: Pedagang, itu mikirnya gedek sekali. Namanya orang kecil ya, bapak/ibu saya pernah jualan. Bapak pernah jadi sopir juga, dan macam-macam. Kira-kira orang bantaran, itu tidak mungkin jadi pedagang terus, bolak-bolak hidup kita itu.
TI: Dari proses pengasuhan itu yang paling berkesan membentuk pribadi Anda itu apa?
JW: Saya lihat kedua orangtua saya bekerja mati-matian untuk hidup, itu saja.
TI: Anda anak ke berapa?
JW: Saya anak pertama dari empat bersaudara.
TI: Bisa lebih di refresh, apa kira-kira ada pesan atau keteledanan dari proses pengasuah orangtua itu?
JW: Saya lihat pengasuhan orangtua itu dari dulu biasa saja, hidup pontang-panting. Dan saya melihat itu.
TI: Dari SD masih di tempat kelahiran, SMP dan SMA?
JW: Iya, pindah-pindah di Solo ada berapa kali, namanya sewa-sewa. Ada lima kali pindah rumah, pindah sekolah. Tapi di Solo terus.
TI: Perguruan tinggi?
JW: Perguruan tinggi di UGM di teknologi kayu.
TI: Ada pengalaman mahasiswa bidang organisasi mahasiswa?
JW: Nggak ikut.
TI: Atau sudah berusaha berdagang waktu mahasiswa?
JW: Nggak, masih full kuliah.
TI: Kenapa tidak menjadi pegawai negeri?
JW: Saya pernah dua tahun di BUMN.
TI: Kenapa dua tahun?
JW: Nggak kuat. Saya itu memang ngak pernah dagang sendiri, tapi membantu orangtua.
TI: Sampai terus membentuk perusahaan ekspor/impor?
JW: Dulu juga ekspornya dari minus. Dulu 23 tahun yang lalu jualannya juga masih hanya di Solo saja. Terus dinaikin kedaraan, kemudian bawa keliling. Jualan kursi, meja. Setelah itu, tiga tahun bisa ekspor.
TI: Kenapa bisa tiga tahun sudah sukses. Apa yang Anda lakukan?
JW: Membangun networking, jaringan.
TI: Bagaimana mulanya bisa eskpor?
JW: Ada. Saya ada kenal dengan eskportir bule, saya belajar dari situ. Belajarnya sebentar, sehari dua hari. Kita buat, langsung kita ekspor. Saya dulu ekspor pertama tahun pertama, tiga bulan itu baru bisa ekspor satu container. Pada tahun kedua saya ikut pameran di Singapura. Saya itu orangya nekad. Tiga bulan pertama tadi saya bisa kirim satu container. Setelah saya pameran di sana, karena barang saya pas betul (cocok dengan pasar), dengan saya pasar waktu itu di Eropa, saya dapat satu bulan, itu 18 kontainer. Dan saya ambil semuanya, coba.
TI: Karena produksi belum tentu waktu itu?
JW: Belum bisa. Tiga bulan satu container kok. Dapat pesanan satu bulan 18 kontainer.
TI: Terus bagaimana mau mengambil…?
JW: Saya ambil sudah.
TI: Memenuhi pesanan bagaimana caranya?
JW: Iya terlambat. Tapi terlambatnya tidak lama, saya bagi sama teman-teman, selesai. Setelah itu saya banyak mengkoordinir teman-teman, baru bisa-bisa. Bisa 120-130 kontainer. Saya juga heran, tiga tahun sudah bisa.
TI: Kemudian kenapa tertarik politik?
JW: Kecelakaan.
TI: Kok kecalakaan?
JW: Kecelakaan, karena awalnya ngak niat-niat amat. Dipilih masyarakat, yang lain terkenal malah milih yang tidak terkenal, kecelakaan berarti.
TI: Jadi sesudah berada pada proses pencalonan walikota baru masuk kegiatan politik?
JW: Iya.
TI: Sesudah masuk politik, apa dinamikanya?
JW: Biasa saja.
TI: Politik kita ini agak rumit. Namun dalam dinamikanya politik itu, seperti Anda konsisten membawa misi yang sesuai pembukaan UUD?
JW: Iya, orang itu ‘kan lupa, sebenarnya politik itu baik, tapi sekarang ini politikus kita lupa bahwa politik itu untuk mensejahterakan rakyat. Yang kelupaan banyaknya di situ. Sekarang yang banyak itu mensejahterakan dirinya sendiri. Hidup seperti ini pasti berakhir . Kalau menunjuk pemimpin yang benar, kita akan menjadi baik. Yakin saya.
TI: Siapakah sosok yang menjadi panutan Anda sehingga bisa berhasil?
JW: Yang pasti orangtua dong, secara genetisnya. Selain itu menurut saya, duapuluh tiga tahun saya di ekspor memengaruhi juga. Karena di eksport ada 3 hal penting: quality (jual barang itu harus baik mutunya); price (artinya harus efesien sehingga harga bersaing), on time delivery (kirim tepat waktu). Yang tiga ini penting sekali. Dan itu saya menghadapi itu selama 23 tahun. Saya nggak bisa toleransi, ini nggak apa-apa ini satu mili. Kalau saya bilang tidak, tidak. Terus masalah price, ini tentang penataan APBD kita, kenapa dengan APBD yang minim kita bisa membangun 15 pasar karena kita membuat APBD yang efisien. Karena banyak daerah yang mengatakan uang nggak cukup, karena manajemen keuangannya tidak diganti. Itu pengaruh juga, karena itu karakter juga. Saya itu, kalau memang ya, iya. Kalau tidak, iya tidak. Saya terbiasa itu dengan bule.
TI: Kalau ingin tahu tokoh inspirasi Anda siapa?
JW: Masyarakat. Karena ide dan gagasan itu semuanya ada di masyarakat. Karena kita bergaul tiap hari dengan masyarakat. Kita ini terbuka sekali, karena masyarakat, itu banyak sekali ide dan gagasannya. Yang menginspirasi hanya itu. Kemudian problem (permasalahan). Inspirasi itu problem. Contohnya kartu kesehatan ada yang gold dan silver kayak kartu kredit. Kenapa muncul kartu kesehatan ini, kartu kesehatan dulu yang kita anggarkan hanya 1,4 miliar, itu sebelum saya. Sekarang kita harus menganggarkan 23 miliar untuk kesehatan. Kenapa ini muncul, karena dulu 6,5 tahun yang lalu, setiap saya ke kantor itu ada 30-40 masyarakat yang menunggu saya. Ada anaknya sakit ngak bisa masuk rumah sakit, ada bapaknya tidak bisa ke rumah sakit. Ada ibunya sudah di rumah sakit tapi tidak bisa membawa pulang. Itu menginspirasikan otak kita untuk mencarikan jalan ke luar itu.
Inspirasinya apa, ya problem masyarakat. Masalahnya ada di masyarakat, terus lahir di masyarakat. Dan masyarakat itu, sering sangat pintar sekali. Pak ini saya punya masalah ini, solusinya apa. Mereka sudah punya solusi. Kita tinggal eksekusi saja. Masyarakat itu pintar, keliru, kalau yang pintar itu walikota. Ide gagasan dan inspirasi itu, muncul dari masyarakat. Karena kita tiap hari dengan mereka. Wawancara TokohIndonesia.com | rbh