‘Saya Tidak Mengejar Jabatan’

 
0
124
'Saya Tidak Mengejar Jabatan'
e-ti | seputaraindonesia

[WAWANCARA] – Sarjana ekonomi yang kini menjabat Menteri Sosial ini telah makan asam garam dalam dunia politik. Kepiawaiannya memimpin Pansus Bulog (2000-2001) telah mengantarkannya ke jenjang karir politik sebagai nakhoda Departemen Sosial yang sarat dengan berbagai masalah.

Kebehasilannya menjaga integritas dan moralitas Pansus Bulog telah menjadi semacam garansi kemampu-annya untuk memimpin sebuah departemen. Presiden Megawati dinilai sangat jeli memilihnya untuk memimpin Departemen Sosial yang semasa pemerintahan Gus Dur dibubarkan karena dianggap tidak perlu dan telah menjadi sarang korupsi, kolusi dan nepotisme.

Bachtiar Chamsyah yang berlatar belakang pendidikan akuntansi dan selama di DPR juga bergelut dengan bidang ekonomi dihadapkan pada perubahan harus menangani masalah sosial yang sangat kompleks serta harus memperbaiki citra buruk yang disandang departemen itu. Bayangkan suatu institusi yang telah dibubarkan, kemudian diturunkan statusnya menjadi sebuah badan, lalu setelah menjadi badan dilebur dengan Depkes, setelah itu kembali lagi menjadi departemen.

Dalam wawancara dengan Wartawan Tokoh Indonesia DotCom pada Kamis siang 19 Juni 2003 di ruang kerjanya Jalan Salemba Jakarta, ia mengungkap beberbagai hal sehubungan dengan bidang tugasnya sebaga Menteri Sosial dan kiprahnya sebagai seorang politisi. Berikut petikannya.

MTI: Bagaimana Anda mengadaptasi perubahan-perubahan dari suatu bidang ke bidang lain dan dari legislatif menjadi eksekutif untuk mengatasi masalah sosial yang sangat kompleks?

Bachtiar:Ketika di DPR, saya di komisi V dan VI yang membidangi industri dan perdagangan, pertam-bangan, energi, investasi dan ekonomi. Kemudian beralih ke hal-hal yang bersifat sosial. Tetapi bagi saya, yang terutama menghayatinya. Apalagi persoalan sosial adalah kasat mata. Maka karena dihayati pekerjaan ini bisa saya kerjakan. Saya masuk kantor jam tujuh pagi dan pulang rata-rata jam setengah delapan malam.

MTI: Kesulitan yang paling menonjol dalam membenahi departemen ini?

<

Bachtiar: Yang namanya mempimpin tentu ada persoalan. Tetapi kita kan dilatih mencari solusi dalam hal-hal itu. Berpikir sistematis. Itu fungsi bersekolah yaitu memecah-kan persoalan dengan kerangka yang sitemastis. Orang banyak berpikir masuk perguruan tinggi hanya untuk menjadi pegawai. Tetapi sesungguh-nya hakikat bersekolah itu adalah agar kita dapat memecahkan persolan secara sistematis.

Saya merasa berbahagia. Bayangkan, waktu awal-awal saya menjadi menteri, saya harus membangun struktur organisasi. Kemudian, saya harus bisa meyakinkan DPR bahwa budget departemen ini harus baik. Lalu dari anggaran yang ada harus menata departemen ini menjadi nyaman. Setelah itu menghadapi berbagai persoalan sosial.

Persoalan sosial yang paling berat adalah pengungsi. Karena pengunsi itu hampir 2 juta orang yang terserak di 16 propinsi. Itu yang harus diselesaikan dan memakan waktu yang panjang serta penanganan yang tidak sama. Salah satu kasus pengungsi yang masih belum selesai saat ini adalah pengungsi transmigrasi Madura yang diusir dari Kalimantan Tengah. Sekarang sebagian masih berada di Madura.

MTI: Apakah Depsos tetap juga memfasilitasi mereka untuk kembali?

Bachtiar:Tentu, kita tetap membantu mereka.

Advertisement

MTI: Ketika Depsos dilikuidasi, tentu dengan pertimbangan tertentu. Dan ketika departemen ini dihidupkan kembali, menurut Anda, apa yang menjadi ugensinya?

<

Bachtiar: Tidak pernah masuk dalam pikiran saya jika departemen ini akan dibubarkan waktu itu. Kalau saya tanya, jika departemen ini tidak ada, pertama, siapa-kah yang akan mengurusi urusan pengungsi? Kedua, bagaimana dengan nasib panti-panti itu? Ketiga, bagaimana dengan orang ca-cat yang banyak itu? Belum lagi persoalan anak jalanan dan fakir miskin. Itu semua bukan persoalan yang kecil.

Jadi saya pikir, keliru jika departemen ini dibubarkan. Sebab belum mungkin sepe-nuhnya permasalahan sosial kita serahkan kepada masyarakat. Apalagi dalam masyarakat kita yang sedang dalam tahap membangun, kemudian mengalami perubahan, di mana orang menginterpretasikan kebebasan semaunya. Di dunia saat ini Indonesia yang paling bebas. Orang bisa maki-maki seenaknya, boleh demonstrasi sebebasnya. Bahkan ketika saya masih di DPR, pada masa Gus Dur, saya mendengar ada sekumpulan orang berdemontrasi di Jakarta untuk mendeklarasikan kemerdekaan negara baru dan tidak apa-apa. Saya tidak mengerti, koq seperti itu.

Orang Aceh berkumpul minta Aceh merdeka. Lalu orang Papua minta Papua merdeka. Waktu itu negara kita, istilah saya di DPR seakan-akan, masih ada nggak pemerintahnya?” Kadang-kadang terasa ada, kadang-kadang tidak ada.

Kita mengalami suatu proses sosial yang luar biasa. Coba bayangkan kejadian orang Dayak memotong kepala orang Madura. Dia tenteng dan dipertunjukan di jalan-jalan. Kalau saya mempuyai waktu, saya mau menulis bagaimana hebatnya masalah sosial itu di dalam kasat mata.

Sehingga saya berpikir kenapa ibu ini (seraya menunjuk foto Presiden Megawati) memilih saya. Karena tidak sembarang orang bisa menyelesaikan masalah sosial seperti ini. Ada ciri-ciri tertentu, yang kebetulan saya ini orang Medan.

MTI: Tentu ada pengalaman menarik atau menantang saat menangani masalah pengungsi?

Bachtiar:Salah satu contohnya, seperti ketika saya berbicara di depan pengungsi di Poso yang ber-ada di camp-camp di tempat penampungan yang sudah menahun. Sebagian mereka sudah merasa tidak nyaman tinggal di penampungan itu karena rindu kampung hala-man. Padahal tiap hari kita berikan 400 gram beras dan Rp.1.500 uang lauk-pauk. Jadi kalau dalam satu KK terdiri dari lima orang, kelu-arga itu mendapatkan 1 Kg beras dan uang Rp.7.500.

Tetapi dampaknya, membuat sebagian lagi mereka jadi pemalas dan membuat lingkungan sekitar marah. Karena sekian lama pengungsi itu tidak bekerja tetapi mendapat makanan. Tetapi bagi mereka yang berjiwa baik, dia ingin kembali ke rumahnya. Maka karena itu, kita putuskan dari budget yang seperti tadi, diubah menjadi setiap KK diberikan sebesar Rp.8.750.000 untuk modal mereka kembali. Yakni Rp 5 juta untuk memperbaiki rumah, Rp.1.250.000 untuk kebutuhan hidup selama 3 bulan, Rp.1.250.000 untuk transpor dan Rp.1.250.000 untuk stimulan usaha.

Tapi masih saja ada pe-ngungsi yang protes. Lalu kita jelaskan secara transpa-ran. Saya yang telah lama di DPR, tentu bisa saya jelas-kan tentang anggaran belanja negara kita. Saya jelaskan bahwa negara kita ini defisit, kita berutang. Saya ceritakan juga kepada mereka seperti sebuah perusahaan, negara kita ini sedang bangkrut. Anggaran Departemen Sosial sendiri untuk mengurusi orang-orang seperti saudara-saudara ada dua juta orang.

“Saudara dengar itu?”
“Dengar, Pak”.

Kalau namanya orang dari seribu orang kan pasti ada saja yang tidak setuju, protes. Itu saya alami. Dia berkata, “Itu tidak cukup.”

Secara psikologis, kalau saya di depan massa, tidak bisa meyakinkan, saya akan hancur. Setelah saya jelaskan, lalu saya tanyakan, “Sudah kau dengar tadi saya bicara?”
“Sudah Pak,” jawabnya.
“Kau tahu negara kita ini punya banyak utang?”
“Tahu Pak”.
“Kalau kau sudah tahu kemampuan negara seperti itu, kau terima saja, jangan protes lagi. Kalau negara ini kaya bukan Rp.8.750.000 kalian dikasih. Karena tidak ada lagilah maka hanya bisa dikasih segini.”

Baru dia tertegun.
“Supaya kalian tahu, ada istilah keras batu lebih keras tidak ada. Kalau keras seperti batu masih bisa kita hadapi, tetapi kalau keras tidak ada, apa yang bisa.”
Lalu orang itu mahfum. “Ya, Pak!”

Jadi yang terpenting adalah keterbukaan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat mengetahui bahwa inilah keadaan kita yang sebenarnya. Itu kunci saya sukses dalam menyelesaikan masalah pengungsi itu.

Dengan keterbukaan dan berbagai penjelasan itu, tidak ada tuduhan korupsi. Tidak ada. Sebab kepada masyarakat dijelaskan secara terbuka berbagai permasalahan dan kesulitan anggaran. Dijelaskan pula bahwa tidak ada menteri (pemerintahan) yang tak ingin rakyatnya kaya. Gila menteri seperti itu. Jadi di situ butuh keterbukaan. Itulah gaya saya dalam meyelesaikan pengungsi.

MTI: Bagaimana Anda dengan begitu yakin mengatakan di Depsos tidak korupsi lagi, sedangkan korupsi itu sudah menjadi semacam budaya?

Bachtiar:Kita objektif saja. Umpama ia membeli barang, kita kan tahu ada aturan-aturan bisnis. Dan kita ijinkan saja harga barang itu naik 5-10 persen. Tidak apa-apa, karena itu kan memotong pajak. Jadi kita fair-fair saja, nggak usah kita berlagak tetapkan harga. Di depan muka kita, bisa saja ia katakan ya, tetapi di belakang kita entah apa. Dulu orang menganggap kalau di sini ada uang SDSB, waktu saya masuk tidak ada lagi.

MTI: Bagaimana tang-gapan Anda terhadap pernyataan, makin banyak pengungsi makin banyak korupsinya?

<

Bachtiar: Itu bisa saja, tetapi tidak pernah berani terang-terangan. Karena itu sekarang saya menantang, jika ada aparat saya korupsi, kasih tahu, supaya saya tindak, yang penting jangan difitnah. Jadi enak kan?

Saya bisa maklum kebebasan pers saat ini. Walaupun seyogianya koran jangan hanya memberitakan yang buruk tetapi sebaiknya juga hal-hal yang bagus. Sebelum jadi menteri, saya di Medan sempat memimpin surat kabar. Saya paham soal anggapan, kalau berita tidak menyudutkan (mengkritik) dianggap tidak enak. Sama dengan ketika saya memberhentikan tim ahli. Dia keberatan dan bilang dipecat. Seorang men-teri boleh saja mengangkat tim ahlinya, dan boleh saja memberhentikan dengan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya.

MTI: Apa cara Depsos dalam mengatasi pengungsi yang saat ini begitu besar di Aceh?

Bachtiar: Jangan dipandang pengungsi yang ada di Aceh sama dengan pengungsi yang ada di tem-pat lain. Pertama, pengungsi di Aceh tidak jauh dari rumahnya. Kedua, mereka mengungsi untuk menghin-dari operasi keamanan. Jangan sampai mereka terkena, maka mereka mengungsi. Jika keamanan sudah normal mereka kembali, dan biasanya itu tidak sampai dua minggu atau dua bulan.

Begitu diumumkan daru-rat militer, kita langsung mengirimkan bantuan barang-barang. Kita belanja di Jakarta dan Medan. Kita disimpan di gudang-gudang dan kemudian distribusikan. Kita atur struktur organisasi, ada tim Satgas yang dikordinasikan dengan pemerintah daerah dan penguasa darurat militer daerah.

Semua kegiatan itu di bawah komando penguasa darurat militer daerah. Kita yang beberapa hari sempat kewalahan hanya soal Birun. Birun itu bukan tidak makan, hanya soal sanitasi. Karena di Cergapu, prediksi kita bersama penguasa darurat militer sekitar 7000 pengungsi, maka kita siapkan kebutuhan untuk 7000. Tahu-tahu yang masuk 14.000, dua kali lipat. Maka timbul problem dan yang paling berat sanitasi.

Mula pertama kita pasang tenda antara 70-56, tetapi karena masuk 14 ribu sehingga harus memasang 128 tenda pleton. Itu luar bisa sekali. Tetapi akhirnya dapat teratasi. Sementara, sanitasi itu bukan tanggung-jawab Depsos melainkan Kimpraswil. Tetapi karena kita, leading sector operation, maka banyak langkah yang kita lakukan. Contohnya, mengenai kurang tersedianya tong-tong besar penampungan air. Yang ada hanya 15 buah sedangkan yang dibutuhkan 25 buah. Lalu, saya perintahkan kepada Bupati Birun, “Cari akal. Ambil papan buat jadi tong, tutup pakai plastik.”

MTI: Bagaimana ke-yakinan Anda mengenai sistem distribusi dapat berjalan baik?

Bachtiar:Distribusi kita terhambatnya kadang-kadang kendaraan sulit. Sebenarnya kita punya 3 gudang besar di Medan, Lhoksemawe dan Banda Aceh. Birun itu dekat dengan Banda Aceh, jadi sebenarnya tidak ada kesulitan. Ada kemampuan mendorong barang-barang itu dari Loksumawe.

Namun demikian untuk kabupaten-kabupaten yang jauh, itu sudah sekitar 4 hari kita kirim 6 mobil box. Sekarang pertanyaannya, kenapa mengirim 6 mobil box? Karena kita tidak mungkin menyewa di sana. Sebab jika kita menyewa mobil dari Si A, dan ketika kelompok GAM mengetahuinya, Si A akan takut.

Soal Aceh ini saya sangat paham, sebab saya sudah berkali-kali pergi ke sana. Jadi kalau orang cerita tentang Aceh, saya tahu. Dan saya ke Aceh bukan saja ke Banda Aceh, tetapi ke Tapaktuan, Meulaboh dan lain-lain. Saya dialog dengan pengungsi. Saya ke Lhoksemawe ke kabupaten-kabupaten daerah hitam, bahkan saya ke pulau Nasi.

MTI: Pendapat Anda tentang Hamzah Haz sebagai calon presiden?

<

Bachtiar: Saya kira Muktamar belum memutuskan akan hal itu, karena segala sesuatu itu harus ada aturan mainnya.

MTI: Sekarang Anda berada di luar DPP PPP, bagaimana cara agar visi Anda terakomodir dalam partai?

Bachtiar: Tentu saja kita tidak bisa memaksakan visi dan misi kita ke depan. Visi mereka-lah yang digunakan.

MTI: Jadi, saat ini Anda dalam posisi wait and see?

Bachtiar: Ya, kita harus betul-betul menjadi kader yang baik saja. Nggak usah kita gerasak-gerusuklah.

MTI: Saat ini ada suara-suara yang menginginkan diadakannya muktamar luar biasa?

Bachtiar:Oh, itu tidak kapasitas saya. Tidak mau saya memberikan komentar. Karena kalau saya berko-mentar tentang hal itu, nanti akan ada rumor bahwa saya yang mendorong hal itu. Yang saya sarankan adalah harus selalu menjadi kader partai yang terbaik.

MTI: Apa yang menjadi obsesi Anda dalam karir politik?

<

Bachtiar: Yang pertama bagi saya adalah tetap menjaga hubungan yang baik dengan teman- teman, baik yang ada di lingkungan PPP maupun yang di luar PPP. Kedua, dengan hubungan-hubungan yang baik tadi saya bisa memberikan kontribusi pemikiran untuk meghadapi persoalan bangsa dan negara ini.

Saya menyadari benar ada teman-teman yang ingin sekali bertukar pikiran. Bahkan banyak mengajak masuk parati A,B dan C. Tetapi saya ingat, saya kader PPP. Kader PPP yang bukan mengejar jabatan saja. Dan jika saya hanya mengejar jabatan, kenapa Sekretaris Jendaral tidak saya ambil?

Pada saat ini posisi saya sebagai anggota biasa. Tetapi gerakan saya adalah harus tetap menjalin hubungan dengan teman-teman saya. Teman saya banyak. Dan waktu saya, banyak saya gunakan untuk melakukan tugas-tugas kenegaraan yang berhubungan sosial, dan jika itu diselesaikan dengan baik, alhamdulillah.

MTI: Tetapi banyak juga yang kecewa terha-dap hasil muktamar PPP yang lalu, bagaimana Anda mengatasi kekecewaan ini

Bachtiar:Saya meng-ingatkan, bahwa mereka harus tetap di dalam PPP. Walaupun banyak yang menginginkan mendirikan partai baru, saya bilang, jangan. Itu membuat kita mundur, dan menghasilkan partai baru itu repot.

MTI: Sudah adakah pendekatan atau silahturahmi dari DPP PPP yang sekarang ini?

<

Bachtiar: Ya, Sekjen menemui saya. Saya diminta untuk memberikan beberapa masukan dan saran serta pengalaman. Saya berikan. Antara lain, jangan DPP menganggap kader di luar DPP itu sebagai lawan.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tokoh Terkait: Bachtiar Chamsyah, | Kategori: Wawancara | Tags: bulog, depsos, Pansus

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini